Mohon tunggu...
POSKO LEGNAS
POSKO LEGNAS Mohon Tunggu... Lainnya - Hukum dan Keadilan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hukum dan Keadilan Masyarakat Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Inkonstitusional Kenaikan Tarif BPJS

21 Mei 2020   06:52 Diperbarui: 21 Mei 2020   15:45 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Mohamad Anwar

Dosen Universitas Pamulang Tangerang Selatan

Di tengah hidup yang kian sulit akibat pandemi virus corona Covid-19 yang melanda, rakyat dikejutkan dengan kebijakan yang diambil pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Kebijakan kenaikan iuran tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Padahal, Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan putusan pada 31 Maret 2020 yang mengabulkan judicial review Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS yang berlaku mulai 1 Januari 2020.

Keputusan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I dan II di tengah pandemi virus corona dan resesi ekonomi, merupakan bentuk ketidakpekaan penyelenggara negara atas kondisi rakyatnya. Padahal, kesehatan merupakan hak rakyat, jadi sudah seharusnya akses rakyat mendapatkan jaminan kesehatan dipermudah, bukan malah dipersulit dengan menaikkan iuran melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Padahal, sudah jelas bahwa amanat konstitusi, UUD 45 merupakan implementasi dari dasar falsafah Pancasila. UUD 1945 pun mengamanatkan presiden, pemerintah, atau negara untuk mensejahterakan rakyat. Namun dengan dikeluarkannya kebijakan ini membuka ruang keraguan masyarakat dalam menilai keputusan pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.

Namun, yang perlu menjadi sorotan juga adalah penerbitan Perpres tersebut merupakan sebuah bentuk perbuatan abai terhadap hukum atau disobedience of law maupun constitution disobediance yang dilakukan oleh penyelenggara negara dalam hal ini Presiden. Seharusnya sebagai penyelenggara negara, Presiden tidak boleh mengabaikan putusan Mahkamah Agung dan tidak memaksakan keadaan. Karena hal ini akan menjadi preseden buruk dan mencederai hukum yang berlaku, dimana penyelenggara negara tidak menghormati putusan Mahkamah Agung yang bersifat inkraht. Putusan MA tersebut bersifat final dan mengikat terhadap semua orang, tidak terkecuali presiden sekalipun. Sifat putusan itu adalah “ergo omnes” yang pada dasarnya adalah mengikat lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan, sehingga tidak dapat ditafsirkan lain selain daripada yang telah ditentukan oleh MA dalam putusan itu.

Sehingga putusan MA itu telah menjadi hukum dan wajib dijalankan sebagaimana mestinya, tidak boleh membuat tafsiran lain. Dalam Pasal 31 Undang-Undang Mahkamah Agung dinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, maksudnya adalah peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat digunakan dan tidak bisa dibuat lagi. Oleh karenanya, penyelenggara negara dalam hal ini Presiden telah melanggar ketentuan Pasal 31 UU Mahkamah Agung dan juga asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12 Tahun 2011 dengan mereplikasi pengaturan yang telah dinyatakan tidak sah. Bahkan merupakan pelecehan terhadap prinsip dasar Negara Hukum dalam UUD 1945.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun