Mohon tunggu...
POSKO LEGNAS
POSKO LEGNAS Mohon Tunggu... Lainnya - Hukum dan Keadilan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hukum dan Keadilan Masyarakat Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Asimilasi dan Peningkatan Kriminalitas di Tengah PSBB Pandemi Corona

4 Mei 2020   21:16 Diperbarui: 4 Mei 2020   21:13 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam upaya penanggulangan dan penanganan penyebaran Covid-19 di Indonesia berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar bukan hanya berdampak kepada pekerja formal dan informal. Hampir di semua aspek kehidupan terganggu. Memandang bahwa dari prespektif fenomena yang ada, masyarakat dihadapkan dengan kondisi kerawanan sosial dan kerawanan keamanan. Angka kejahatan selama penerapan status PSBB karena pandemi virus Corona atau Covid-19 di tanah air mengalami peningkatan, angka tersebut mencapai 11 persen. Ironisnya, fenomena kejahatan di tengah kondisi PSBB ini, para pelakunya kebanyakan merupakan eks napi program asimilasi yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM. Namun, sungguh miris karena alasan para eks napi yang kembali melakukan kejahatan tersebut justru terpaksa melakukan kejahatan kembali karena himpitan ekonomi di tengah kondisi PSBB.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan wabah Corona Virus atau Covid 19 sebagai bencana nasional sejak tanggal 14 Maret 2020, yang diumumkan oleh Presiden melalui Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 (bnpb.go.id). Desakan terhadap pemerintah untuk segera mengambil langkah strategis guna memberikan perlindungan terhadap rakyat Indonesia pada umumnya dan tenaga medis pada khususnya dari ganasnya pandemi Corona Virus atau Covid 19 terus bergulir. Sampai saat ini, pemerintah terus bekerja keras dalam memberikan jaminan perlindungan kesehatan dari pandemi Corona Virus atau Covid 19. Dalam rangka memberikan jaminan tersebut, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam menekan laju penularan Corona Virus atau Covid 19 yaitu mengeluarkan kebijakan berupa pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana dan anak melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 19/PK/01/04/2020. Kebijakan tersebut diambil dengan pertimbangan yang matang bahwa hampir semua lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di tanah air kelebihan kapasitas, sehingga rentan dengan ancaman pandemi Corona Virus atau Covid 19 dan sesuai dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Kebijakan pembebasan narapidana dalam upaya menekan laju penyebaran virus corona adalah wewenang Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal tersebut didasar atas kekhawatiran pemerintah akan penyebaran virus corona di dalam lapas. Overcrowded atau kelebihan kapasitas dalam lapas memperlihatkan kekhawatiran tersebut bukan hal yang main-main. Jumlah lapas dan rutan yang terdapat di seluruh Indonesia mencapai 528 dengan kapasitas sebanyak 130.512 orang. Sedangkan jumlah penghuni lapas mencapai 269.846 orang. Hal tersebut mengakibatkan overcrowded hingga 107%. Bahkan Occupancy rate 23 negara di benua Asia pada tahun 2014-2017 menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu dari delapan negara yang mengalami extreme overcrowding bersama-sama dengan negara Afghanistan, Bangladesh, Kamboja, Iran, Nepal, Pakistan dan Filipina.

Namun, kebijakan tersebut justru menuai kontroversi di kalangan akdemisi maupun masyarakat. Bagaimana tidak, kebijakan tersebut dianggap dapat menimbulkan kerawanan keamanan dite ngah masyarakat dalam kondisi saat ini yang tengah panik dengan kerawanan sosial bahkan sampai dianggap merupakan akal-akalan pemerintah guna meloloskan narapidana korupsi. Pasalnya, sudah hampir empat kali dalam kurun waktu 2015-2019 pemerintah ingin merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mana peraturan pemerintah tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sehingga program pemberian asimilasi kepada narapidana dianggap memanfaatkan situasi krisis dalam penanggulangan bencana pandemi corona virus atau Covid-19. Namun, akhirnya ditegaskan oleh pemerintah bahwa program asimilasi dan integrasi tersebut tidak berlaku bagi pelaku kejahatan tindak pidana luar biasa seperti teroris dan korupsi sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang mengatur pengetatan remisi.

Sejauh ini total narapidana yang telah dibebaskan karena program asimilasi dan hak integrasi lebih dari 35.000 orang. Namun hal tersebut, menjadi sebuah pertanyaan di tengah masyarakat bahwa apakah para narapidana yang telah dibebaskan melalui program asimilasi dan integrasi telah melalui tahap penilaian perilaku dengan benar. Pertanyaan lainnya adalah apakah program tersebut justru berpotensi menimbulkan permasalahan baru. Sehingga, pembebasan narapidana tersebut justru menjadi keresahan di tengah masyarakat, dimana sekarang ini masyarakat dipertontonkan sederet kasus kejahatan yang dilakukan kembali oleh beberapa napi yang baru saja diberikan kebebasaan melalui kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut justru berpotensi menimbulkan permasalahan baru karena saat para napi dibebaskan, mereka akan kesulitan mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di tengah pandemic corona virus atau Covid-19, yang tentu saja hal tersebut berdampak terhadap aspek sosial, ekonomi, serta keamanan.

Dari sederet kasus, misalnya seorang napi yang mendapat asimilasi pada 6 April Lapas Kelas IIA Pontianak. Dia bersama dua tersangka lainnya mencuri ponsel, napi yang mendapat asimilasi tersebut tak hanya sekali melakukan aksinya, tetapi setidaknya sudah empat kali setelah bebas. Setidaknya menurut Kabareskrim POLRI, tercatat ada 27 napi yang kembali melakukan kejahatan (www.tirto.id).

Saat ini masyarakat tak hanya dirisaukan dengan penyebaran Covid-19, masyarakat juga harus mawas diri dari aksi kriminalitas. Hal tersebut dikarenakan kondisi ekonomi saat ini yang carut-marut di tengah pandemic corona virus atau Covid-19, pengangguran yang banyak, hidup susah sehingga menjadikan potensi kriminologinya besar sekali. Maka tak heran sejumlah napi nekat berulah kembali. Oleh karenanya, dapat dinilai dari beberapa kejadian tersebut merupakan buah dari kebijakan yang konyol.

Program asimilasi memang perlu kajian mendalam, karena kondisi napi yang terisolasi dari dunia luar seharusnya lebih aman ketimbang harus berinteraksi dengan banyak orang di luar lapas. Memang perlu memikirkan aspek kemanusiaan terhadap narapidana, tapi apa yang dilakukan residivis justru tak manusiawi. Seharusnya pemerintah juga melihat faktor keamanan yang dirasakan masyarakat. Jangan sampai kebijakan ini berbuah masalah baru menjadi tingginya kriminalitas di tengah-tengah masyarakat. Sehingga solusi pembebasan napi adalah solusi tambal sulam dimana program asimilasi tersebut tidak dibarengi dengan sistem kontrol para napi, hanya sekedar pembebasan untuk melepas tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan warga binaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun