Di SMA Negeri II Padangsidimpuan pada awal tahun 1970-an, ada seorang guru yang sudah tua, yang mengajar Bahasa Belanda. Guru ini memiliki kebiasaan setiap minggu menyuruh beberapa pasang siswa maju berduaan di depan kelas melakukan suatu percakapan dalam Bahasa Belanda. Topik percakapan bebas, tergantung kreatifitas siswa, yang penting percakapan dilakukan dalam Bahasa Belanda.
Guru ini jarang menengok atau melihat ke arah siswa yang sedang melakukan percakapan, tetapi terbiasa menunduk dan menutup mata sambil serius mendengar percakapan yang sedang berlangsung. Kalau kurang tepat, guru kami ini membetulkan percakapan tersebut. Karena sang guru menunduk dan tutup mata, para siswa biasanya sudah lebih dulu mempersiapkan topik percakapan atau dialog tentang sesuatu di dalam Bahasa Belanda yang ditulis di tangan atau di selembar kertas kecil yang digenggam di dalam tangan. Ketika disuruh maju oleh Pak guru, siswa yang berpasangan ini tinggal membaca conversation yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Sesudah beberapa pasang siswa maju dan melakukan percakapan dengan benar, dari kursinya guru ini berkomentar: “Kalian pintar-pintar semua, ya”, sambil tersenyum ke arah siswa. Kami tersenyum mendengar komentar Pak guru yang sudah tua ini. Mungkin ia tidak sadar atas kecurangan para siswanya. Karena Pak guru puas atas semua percakapan dalam berbagai topik kehidupan dalam Bahasa Belanda yang ia ajarkan, umumnya semua siswa lulus mata pelajaran beliau dengan nilai baik.