Mohon tunggu...
Christianto DM
Christianto DM Mohon Tunggu... wiraswasta -

Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintahNya.. (Pkh 12:13a)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nenek Saya Menyoal Pilpres 2014

17 Mei 2014   10:01 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:26 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usianya sudah senja layaknya seorang nenek pada umumnya. Usia yang menceritakan banyaknya pengalaman yang tertempuh. Usia yang menunjukkan kematangan dan kebijaksanaannya  menjalani berbagai macam peristiwa hidup dan kehidupan. Usia yang juga terpahat di keriput keningnya, legam tangannya, hingga ayunan langkahnya. Ya, segala pengalaman yang telah membentuk dirinya hingga kini telah tercatat di dalam sejarah pula mengisahkan sejarah itu kepada generasi-generasi kini dan mendatang. Bagiku, si nenek bukanlah bagian dari sejarah, melainkan adalah sejarah itu sendiri.

Lantas apa hubungannya dengan geliatan panggung perpolitikan yang sedang gelisah di negara tercinta ini, khususnya fokus bursa capres dan cawapres yang akan dipilih oleh rakyat Indonesia 9 Juli 2014 mendatang?

Sang nenek bukanlah konstituen salah satu parpol pengusung capres dan cawapres itu. Sikapnya netral, dan tidak berkepentingan untuk mendukung salah satu calon pasangan R1 1 dan RI 2 itu. Beliau hanya selalu berusaha mengisahkan sejarah apa adanya dengan sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya, meski terkadang jawaban atas pertanyaan tertentu disimpannya hingga waktu sendiri yang menguaknya. Namun, dari beliaulah, saya terpikir pentingnya mengenal SIAPA para calon tersebut dengan melihat peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi, dan bukan sebaliknya terbuai dengan stigma-stigma tertentu yang dibangun sedemikian rupa untuk menggambarkan apa, siapa, dan bagaimana mereka, yang kadang bertolak belakang dengan apa yang sudah mereka, para capres/cawapres itu, lakukan di masa-masa sebelumnya. Kata nenek, "Coba tengok ke belakang. Mungkin jawaban itu ada di sana."

Ya. Itu tidak sulit untuk dilakukan. Cukup memutar badan sedikit. Apalagi di masa kini, dengan teknologi yang semakin maju. Menengok ke belakang bisa dengan kaca spion, layar kaca, kacamata, atau remote yang membuat kursi kita bisa berputar 360 derajat. So easy. Kita tidak perlu lagi capek-capek belajar bahasa Sansekerta pula membolak-balik batu-batu bertulis untuk melihat catatan sejarah tentang masa lalu. Tinggal klik, apa yang dibutuhkan mungkin tampil di depan mata dalam sekejap.

Nenekku juga berkata jika DULU, KINI, dan NANTI itu saudara kandung. Dengan mengenal siapa dan bagaimana sang Kakak bisa membantu mengenal yang lebih muda. Bahwa ketiganya bisa saja dipengaruhi oleh lingkungan yang berbeda, namun tetap saja ada yang identik bahkan sama antara mereka. Benarkah sang capres itu tegas? Ketegasan yang dimaksud, jika sekedar berbicara lantang, memang tidak meragukan lagi. Tegas itu bisa juga dikategorikan sebagai sikap tunduk pada perintah atasan untuk melakukan perbuatan yang mengingkari hati nurani kemanusiaan? Ataukah tegas untuk menolak dikatakan sebagai pelaku kejahatan dengan mengatakan hanya mengikuti perintah? Entahlah bagi orang lain. Tapi menurutku, siapa yang bisa melakukan tindakan semacam dimaksud itu, adalah kisah masa lalu tentang butanya nurani seseorang. Dan ketegasan itu, bagaimanapun dia dimaknai, tidaklah berguna bagi bangsa ini bila tidak mampu menghargai hidup dan kehidupan orang lain. Bagaimana mungkin ada kejujuran tanpa ada hati nurani yang bersih? Berprinsip pun tidak berarti sama sekali ketika prinsip yang dipertahankannya justru merugikan banyak orang.

Tegas itu, menurut wejangan nenek saya, tidak harus dikoar-koarkan dengan suara lantang. Yang terpenting adalah perkataan sejalan dengan perbuatan. Tegas itu juga siap mempertanggungjawabkan segala tindakan, dan bukan sebaliknya. Meski visi dan misi disampaikan dengan lemah lembut, pun sambil memamerkan gigi, namun bila diwujudkan dalam tindakan berprestasi dan bertanggungjawab, itu adalah bentuk ketegasan yang berprinsip. Apalagi bila itu disertai dengan kejujuran. Toh, seperti kata nenek saya, cukup menengok sejenak ke belakang, benar tidaknya apa yang dikatakan kini, bisa diketahui. Atau setidaknya, dimiliki penilaian atasnya.

Seseorang bisa saja kini menyadari kesalahannya di waktu-waktu lampau untuk menjadi lebih baik di masa mendatang. Dan sudah sewajarnyalah memberikan kesempatan demikian kepada setiap orang, termasuk diri kita sendiri. Hanya saja, pertobatan yang benar sulit dipahami tanpa pengakuan yang tulus. Seperti melempar batu sembunyi tangan, itu pun bukanlah kisah masa lalu yang baik tentang makna kejujuran, pula ketegasan. Integritas diri yang musti dipertanyakan kembali.

Bangsa ini memang membutuhkan segera tokoh pemimpin yang tegas dan jujur, mengingat persoalan yang sudah lama menggerogoti kemajuan bangsa ini adalah soal moral para penguasa korup. Kebejatan moral dari keserakahan para pemimpin di masa lalu itu harus dihentikan secepatnya sebelum meninggalkan bekas luka yang makin sulit disembuhkan. Bagaimana tidak, bahkan seorang pemimpin yang benar-benar bermoral pun seakan tidak mampu menyelesaikan persoalan bangsa tersebut dikarenakan lingkaran kekuasaan yang sudah tertanam sejak lama. Akarnya sungguh sudah dalam mengakar.

Membayangkan kondisi sedemikian, saya juga semakin meragukan wajah para pemimpin yang banyak berperan di masa lalu. Sekalipun dia berintegritas, namun akankah nuraninya sanggup mengorbankan kerabatnya sendiri bila itu terjadi? Kata nenek saya, "Mau ditangkap, teman. Tidak ditangkap, kewajiban." Belum lagi bila sang calon punya catatan kelam di masa lalu yang belum terselesaikan hingga kini. "Lu berani obok-obok gue, gue bales," ngutip kata seorang kawan yang lama tinggal di Jakarta.

Sebentar lagi, kedaulatan itu dikembalikan ke tangan rakyat. Para pemilih akan menentukan siapa pemimpin yang diinginkannya. Bila dasar pemilihannya adalah pembeli rokok atau segenggam beras dengan mengorbankan masa depan bangsa ini, maka itu sama saja dengan memasang taruhan di arena pacuan kuda. Syukur-syukur kudanya menang. Tapi bagaimana kalau kalah? Kedaulatan itu tidak akan dimiliki lagi. Kedaulatan itu sudah diberikan kepada siapa yang dipilih. Mungkin bisa mengambilnya tanpa harus menunggu waktunya tiba, namun tentu membutuhkan pengorbanan yang tidak seharga pemuas nafsu sehari. Karena itu, adalah perlu untuk mengenal kuda yang dipilih, jika memang taruhan itu harus terjadi.

Bahwa KINI bisa memberikan bayangan tentang NANTI, yang jelas bukan memastikannya, kita tidak perlu bertaruh. Ada alternatif lain yang ditawarkan demi kemajuan bangsa ini. Alternatif yang menjanjikan bila menengok ke masa silam bahwa si tikus-tikus koruptor, yang umumnya berperut buncit itu, mulai ketar-ketir melihat sepak terjang seorang tokoh yang murah senyum itu. Yang sudah menunjukkan integritas dirinya dengan berbagai prestasi nyata di berbagai daerah, dalam lingkup wilayah yang lebih kecil dibandingkan dengan luas NKRI ini. Mengapa tidak memberinya kesempatan untuk mengurusi wilayah yang lebih luas? Kata seorang guru yang saya kenal,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun