Mohon tunggu...
Pohaci
Pohaci Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Perangkai kata, pemintal rasa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Masalah Siswa di Masa Pandemi adalah Masalah Guru Juga: Bagaimana Solusinya?

28 Juli 2021   02:20 Diperbarui: 29 Juli 2021   17:03 914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
People vector created by stories - www.freepik.com

Bukankah dunia perlahan membaik dari masa mengerikan di mana virus bermahkota baru muncul dan melahap banyak nyawa? Namun tampaknya Indonesia belum sembuh penuh—justru kini masyarakat harus lebih waspada karena serangan kedua dari mutasi terbarunya sedang merajalela. Tentunya, tanpa harus dijelaskan, semua bidang kehidupan mendapat dampak serupa dari peristiwa ini: penurunan kualitas—atau bahkan kuantitas. Pendidikan adalah salah satunya.

Bagi orang dewasa yang belum memiliki keturunan, masalah di bidang pendidikan yang timbul semenjak pandemi mungkin terlihat cukup bias, meskipun di media sosial—yang penggunanya didominasi oleh anak muda dan remaja—banyak sekali konten yang mengangkat tema ini sebagai curahan hati mereka. Namun untuk para orangtua atau setidaknya orang dewasa yang memiliki keluarga yang masih sekolah, permasalahan ini seperti gajah di depan mata, yang amat besar dan memenuhi ruang. Sebab, kini siswa membawa urusan sekolahnya ke rumah sehingga mau-tak-mau anggota keluarga yang ada di sekitarnya juga melihat hingga mengalami kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi dalam pembelajaran di masa pandemi Covid-19.

Beban kognitif dan mental siswa semakin bertambah. Tidak hanya memikirkan muatan konten dalam materi yang sulit diikuti, sekarang siswa juga harus memikirkan tugas yang mendadak menumpuk lebih dari biasanya, perangkat yang tidak mempuni, jaringan internet yang tidak stabil, kuota yang habis, pertimbangan meminta uang untuk membeli kuota karena mereka juga melihat pemasukan orang tua yang menurun drastis, hingga konflik dalam keluarga yang mungkin terjadi lebih rutin dan terlihat di depan mata semenjak wabah penyakit serupa flu—dengan gejala yang jauh lebih berat serta kemungkinan kematian yang jauh lebih tinggi—mengejutkan dunia. Semakin tersadar kita; Covid-19 yang menjalar cepat dari satu manusia ke manusia lainnya, tidak hanya membuat sakit kepala orang dewasa. Para tunas bangsa mengalaminya juga.

Dalam wawancara yang penulis lakukan bersama dua guru yang juga wali kelas di salah satu sekolah dasar di Kabupaten Bandung, terdapat banyak sekali kendala dalam pembelajaran yang dialami oleh siswa dan guru. Salah satunya adalah siswa kurang responsif dalam kegiatan belajar-mengajar. Ketika ditelusuri, permasalahan ini umumnya memang berakar pada fakta bahwa tidak semua siswa memiliki ponsel sendiri. Sebagian besar menggunakan ponsel orang tua, sehingga ketika orang tua mereka pergi bekerja, informasi mengenai pembelajaran yang mencakup materi serta tugas tidak tersampaikan pada siswa. Hal ini berujung kepada tidak terkerjakannya tugas dan terlambatnya tugas dikumpulkan. Bahkan terkadang orang tua terpaksa mengerjakan tugas anaknya karena mereka baru pulang tengah malam dan siswa sudah tertidur. Salah satu guru mengatakan pintu rumahnya pernah diketuk pukul 23.00 WIB oleh orang tua siswa yang hendak mengumpulkan tugas LKS cetak yang memang biasanya dipakai dalam pembelajaran di SD tersebut.

Selain karena orang tua yang bekerja, kurangnya respon dalam menanggapi guru atau terlambat maupun tidak mengumpulkan tugas adalah karena terdapat banyak siswa yang tidak memiliki LKS. Terkadang guru mengirimkan bagian-bagian LKS yang dibutuhkan siswa dalam bentuk foto, akan tetapi sepertinya cara tersebut kurang efektif. Akhirnya guru pun sering merekomendasikan siswanya untuk bekerja bersama dalam kelompok kecil di antara siswa yang rumahnya dekat. Tentunya ini cara terakhir yang dapat dilakukan agar siswa mengerjakan tugas LKS, karena guru tidak bisa melayani permintaan foto dan menjawab pertanyaan siswa atau orang tua siswa selama dua puluh empat jam.

Di sisi lain, permasalahan yang terasa sangat nyata adalah kurangnya pemahaman siswa terhadap materi, karena guru tidak selalu memberikan media pembelajaran. Alasannya tidak lain karena media yang biasa dicari (berupa video) tidak semuanya tersedia di internet. Terkadang guru pun membuat sendiri media pembelajaran, akan tetapi kemampuan pemula, tidak mempuninya perangkat, serta sulitnya membagi waktu antara jam sekolah dengan jam di luar sekolah—yang dalam masa pandemi ini menjadi berantakan—adalah penyebab utama kurangnya penggunaan media pembelajaran. Permasalahan yang satu ini bermuara pada banyaknya siswa yang mengerjakan tugas dengan didominasi bantuan orang tua atau keluarganya, bahkan dimudahkan dengan mesin pencari. Perilaku tersebut jika dibiarkan akan menjadi kebiasaan, menumbuhkan rasa malas, kurangnya kemampuan literasi, dan tidak bisa mandiri dalam menyelesaikan pekerjaannya.

Buntut panjang permasalahan tersebut terjadi setelah guru memberikan evaluasi. Soal-soal ujian diberikan secara daring. Namun mengejutkan, nilai siswa rata-rata nyaris sempurna. Bisa dimaklumi jika guru merasa sangsi dengan hasil tersebut, mengingat pada proses pembelajaran justru siswa tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Timbullah kecurigaan bahwa mungkin terjadi kecurangan ketika pengisian soal. Guru lain yang penulis tidak wawancara, akan tetapi ikut menanggapi berkata, ketidakmampuan guru ada di dekat siswa untuk mengawasi selama masa pembelajaran dan berlangsungnya evaluasi kognitif adalah kunci terbesar dari permasalahan ini. Meskipun pada beberapa kesempatan guru sering didatangi beberapa orang siswa dan/atau orang tua siswa sekaligus, serta berkenan menjelaskan ulang materi maupun tugas, tetap saja rasanya kurang efektif, dibuktikan dengan sering ditemukannya jawaban LKS siswa yang tidak sesuai harapan. Hasil evaluasi jadi dipandang sebelah mata karena ketidakselarasannya dengan kegiatan pembelajaran.

Berdasarkan pemaparan permasalahan yang ditemukan pada siswa dan guru sehingga berdampak pada terhambatnya pembelajaran daring di masa pandemi Covid-19, penulis berpikir bahwa terdapat banyak peluang memaksimalkan beberapa hal untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan mengurangi permasalahan yang sudah ada. Berikut adalah beberapa solusi yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak dalam mendukung terciptanya kondisi belajar daring yang kondusif, efektif, dan optimal:

1. Meningkatkan komunikasi antara guru, siswa, dan orang tua siswa

Wacana di atas memang tidak mudah untuk dilakukan, akan tetapi bisa jika diperjuangkan. Salah satu alasan mengapa siswa kurang responsif dan malas mengerjakan tugas mungkin karena mereka tidak menangkap materi dan instruksi—selain karena perangkat pembelajarannya dibawa oleh orang tua bekerja. Sementara di sisi guru, penjelasan berulang akan melelahkan serta memancing rasa kesal. Kedua hal tersebut dapat diatasi dengan adanya komunikasi yang jelas di antara seluruh komponen yang ada.

Misalnya di awal semester, perlu diadakan pertemuan (yang jika tidak memungkinkan dilakukan secara tatap muka), dapat diperantarai dengan video conference seperti Zoom dan Google Meet.  Dalam pertemuan tersebut, diperbolehkan membahas apa saja, bertanya apa saja, mendiskusikan apa saja, bahkan tidak apa-apa jika hanya diisi dengan kalimat motivasi, pengertian, dan lain sebagainya.  Selain itu, perlu ada kesepakatan yang dibuat bersama, kemudian disampaikan dengan jelas dan langsung untuk menghindari permasalahan-permasalahan yang mungkin akan terjadi selama pembelajaran. Jika kesepakatan tersebut dilanggar, ketiga belah pihak harus menanggung risikonya masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun