Objektifikasi perempuan di media televisi menjadi tema yang layak untuk dikaji dan diperbincangkan. Objektifikasi mulai yang terang-benderang terlihat hingga yang subtil. Objektifikasi terhadap perempuan terjadi pada berbagai tingkatan dan dengan berbagai bentuk. Pada tingkatan individu, bentuknya bisa berupa pelecehan seksual yang dialami perempuan, baik dilakukan oleh orang yang dikenal atau orang asing di ruang publik.
Objektifikasi terhadap perempuan juga bisa dilakukan dan dilanggengkan oleh media. Industri media seperti stasiun televisi bekerja menurut logika kapitalis, dimana dorongan untuk mendapat keuntungan menjadi faktor yang paling berpengaruh. Pertemuan logika kapital dan logika patriarki melahirkan jalan pintas meraih keuntungan, yakni menjual seksualitas perempuan di layar televisi.Â
Bentuknya bermacam-macam, bisa berupa menonjolkan lekuk-lekuk tubuh perempuan dengan sorotan kamera, dengan menghadirkan gestur perempuan yang bergenit-genit dalam tayangan bernuansa seksual, seperti yang dilakukan oleh Kakek-Kakek Narsis, Sexophone, dan Soccer Fever.Â
Tak hanya eksploitasi tubuh, objektifikasi juga kerap terjadi dalam narasi tayangan televisi, misalnya dengan tampilnya ungkapan-ungkapan bernada pelecehan seksual yang ditujukan pada perempuan.
Bagaimana KPI meregulasi persoalan ini?
Kewenangan pengawasan industri penyiaran di Indonesia oleh KPI dilakukan berdasarkan pada Undang-Undang nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS).Â
Berkaitan dengan isu yang dikaji, secacara khusus dalam P3 bab 12 pasal 16 disebutkan "Lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan seksual".Â
Secara lebih teknis, ketentuan tersebut diatur dalam SPS. SPS tahun 2012 mengatur muatan seksualitas dalam televisi pada Bab XII, yang berisi pasal 18 tentang pelarangan adegan seksual; pasal 19 tentang seks di luar nikah, praktik aborsi, dan pemerkosaan; pasal 20 tentang muatan seks dalam lagu dan klip video; pasal 21 tentang perilaku seks; dan pasal 22 tentang program bincang-bincang seks. Poin-poin dalam SPS pasal 18, 19, 20, 21, dan 22, tentang hal yang dibatasi dan dilarang soal seksualitas penting untuk untuk digaris bawahi.
Di dunia pertelevisian, perempuan sangat lah rentan menjadi korban pelecehan ataupun kekerasan seksual. Dunia pertelevisian yang selama ini kita kira adem ayem ternyata menyisakan sisi kelam terutama bagi perempuan. Pelecehan dan kekerasan seksual masih menjadi masalah yang menghantui banyak selebritis perempuan.Â
Pelaku pelecehan kadang tidak menyadari bahwa tindakan yang dilakukan masuk ke dalam pelecehan mengingat pelaku tumbuh dalam sinaran patriarki yang menormalisasi tindakan seperti catcalling, dan lain-lain.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa rating adah sesuatu yang dituhankan oleh TV. Demi rating mereka kadang mengindahkan peraturan, akal sehat, dan etika. Yang menyedihkan adalah Ketika mereka mengeksploitasi perempuan demi mendulang rating. Dalam banyak acara TV perempuan sering kali hanya dijadikan objek fantasi bagi kaum pria.Â