Mohon tunggu...
plur retknow
plur retknow Mohon Tunggu... Guru - menulis dengan hati

Cogito ergo sum (aku berfikir aku ada) / Rene Descrates

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mbok Yem

26 Agustus 2020   12:10 Diperbarui: 26 Agustus 2020   12:06 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Sab..Mbok Yem meninggal."
Tiba-tiba tubuhku lemas dan aku terasa di dunia lain. Masih menggenggam handphone aku mencoba duduk tenang. Sejurus kemudian aku sudah ada di mobil, meneguk air mineral, sambil mencoba tetap tenang. Mobil lari seperti tak terkendali. Masuk gerbang rumah langsung kutinggalkan begitu saja sambil mulutku teriak
"Ma... siap-siap. Ke rumah eyang! Sekarang!"
Istriku terpana menatapku yang seperti kesetanan.
"Sebentar, Pa. Ada ...."
"Pokoknya, sekarang siap-siap. Bawa baju secukupnya, cepet, nggak usah make up, bawa sekalian baju Kinaya."
Aya, istriku hanya menghela nafas panjang dan mengikuti printahku tanpa bertanya apa-apa. Di jalan aku tidak bicara sepatah kata pun. Setelah jemput anak di sekolahnya dengan alasan mau takziah ke sodara dekat, aku memacu mobil kencang ke rumah ibu.
Di rumah ibu, beliau memelukku sambil bercucuran air mata. Lingkar mata tua itu membengkak kemerahan karena lama meneteskan air mata.
"Berangkat sekarang, Bu?"
Tanyaku. Ibu mengangguk lemah sambil gentian memeluk kepala anak ku. Aya, sitriku hanya diam sambil sibuk membantu ayah memasukkan tas kecil ibu ke mobil. Kami semua hanya diam di jalan. Ayah yang duduk di sampingku hanya berpesan singkat
"Nyetir yang tenang, Sab. Jangan ngebut, yang penting sampai tempat selamat."
Aku hanya mengangguk lemah sambil menahan air mata yang hampir keluar sejak tadi. Hatiku tiba-tiba hampa. Mbok Yem. Ibuku kedua yang sekarang sudah diambil Nya. Mendahului ku yang akan pulang menengoknya lebaran nanti.
Desa Mbok Yem yang katanya jauhnya minta ampun, sekarang terasa lebih jauh lagi. Mobil seperti enggan sampai lokasi padahal waktu bergerak cepat. Pagi yang merayap siang, sekarang mulai memerah memasuki senja. Sebentar lagi malam akan membuka kegelapannya. Sementara rumah Mbok Yem masih lumayan jauh.
"Satu jam lagi sampai, Sab. Nggak makan dulu?"
Tawar Ayah setelah kami istirahat sholat maghrib sebelum memulai perjalanan kembali.
"Nanti saja, Yah."
"Pikirin Aya. Ibu, sama Kinaya."
Aku menggeleng pelan. Sampai lupa membawa 3 perempuan di mobil seharian ini.
"Ibu nggak lapar, Yah. Aya saja sama Kinaya ayo makan dulu."
Aya tersenyum dan menggeleng pelan
"Aya sudah bawa roti , Bu. Ini kita makan sama-sama. Kinaya sudah ngemil dari tadi. Nanti saja, yang penting segera sampai."
Aku menyusul orang-orang naik mobil sambil tetap belum percaya. 

Mbok Yem sudah tiada. Aku belum bertemu dengannya lebaran ini. Lebaran. Seperti kehilangan sosok ibu yang selama ini mengasuhku tanpa memandang anak kandung atau bukan. Mbok Yem yang bersama ibu dengan tangan dinginnya menjadikanku lelaki dewasa yang bijaksana. Aku menatap bungkusan merah maroon kotak beludru yang di dalamnya bross emas milik Mbok Yem yang diberikannya untukku ketika dulu hendak meninggalkan rumah untuk pulang ke desanya. Sampai sekarang bungkusan itu kusimpan rapi di lemari pribadiku dan kubawa jika bepergian jauh. Katanya waktu itu
"Le, ini dari simbok. Kalau kamu lelah, capek, lihat bros ini, ingat simbok. Jangan mudah menyerah. Bros ini kekuatan simbok untuk bekerja sampai setua ini."
Tiba-tiba pelupuk mataku penuh dengan air mata. Tapi sekali lagi aku tak bisa menangis. Aku lelaki. 

Kami sampai di desa Mbok Yem saat Adzan Isya selesai berkumandang. Seperti rumah duka di desa pada umumnya, malam itu rumah Mbok Yem terang benderang penuh dengan orang yang ikut tahlilan. Kami disambut salah satu saudara Mbok Yem.
"Tamu jauh, kok ndak besok pagi saja, to Pak Hadi dan keluarga? Desanya gelap, takut nyasar-nyasar. Ayah hanya tersenyum sambil meminta izin  bersih-bersih di kamar mandi karena mau ikut tahlilan.
"Monggo-monggo, anggap saja rumah sendiri. Kata Almarhum simbok kalau keluarga Pak Hadi ya anak cucunya. Ini rumah panjenengan juga."
Aku menunduk kelu. Kami keluarga. Kami dianggapnya keluarga dekat, sedekat sel genetika bagi Mbok Yem. Dan seruak haru menyelinap pelan bersama air mataku yang tak kuasa mengalir saat membaca ayat-ayat Allah untuk Mbok Yem.
Malam itu kami tidak ke makam. Kami menunggu pagi. Selain etika, ke makam malam-malam juga tidak sakral menurutku. Rasa lelah dan kantuk akan mengurangi kekhusyukan ketika membacakan doa untuk Almarhumah.

Sambil duduk di teras rumah usai ikut beres-beres acara tahilan, pikiranku melayang ke  masa kecil ku silam. Saat itu, aku masih sangat kecil untuk direngkuh hangat tangan seorang Mbok Yem. Beliau datang saat aku mau masuk taman kanak-kanak. Bicaraku masih cadel. Mbok Yem yang waktu itu baru ikut keluarga kami, sebenarnya tugasnya hanya menjagaku sampai siang, selama ibu bekerja mengajar di sebuah sekolah menengah swasta. Tapi kasih saying seorang Mbok Yem mampu mengalahkan tugasnya yang sesungguhnya. Kadang Mbok Yem meminta ibu rebahan sebentar lalu mengendongku keliling gang sambil bercerita dan mengajariku bicara yang jelas.
"Bilang air...ayo, a..."
"Ail..."
Mbok Yem tertawa dan mencubiti pipiku karena gemas. Lalu aku akan diciuminya sampai kembali ke pelukan ibu kembali. Kadang ibu tidak tega melihat Mbok Yem begadang menungguiku yang demam, padahal besoknya harus ke pasar belanja.
"Sudah, Bu Hadi. Biar saya yang jaga Sabda. Ibu besok punya momongan juga lo di sekolah, nanti kalau panjenengan ngantuk, kasihan lo muridnya.."
"Nggak ah Mbok. Saya izin saja, besok. Kasihan Sabda."
"Jangan...kalau murid panjenengan yang izin nggak apa-apa. Satu dua orang, kalau penjenengan yang izin, sekelas ndak ada yang ngajar. Kasihan lo Bu."
Ibuku dengan berat hati memejamkan mata di dekatku sambil memelukku, sementara Mbok Yem menungguiku sambil sesekali mengganti kompresan di dahiku jika mulai mongering.
Terbayang tangan tua nya memasak sambal goring kentang hati sapi kesukaanku sambil sesekali memijit pergelangan tangannya.
"Mbok, sini Sabda bantuin. Ketimbang ngaduk doang."
"Jangan le, beda rasanya. Kamu itu laki-laki. Jangan suka ikut di dapur buat masak. Nanti pamali. Istrinya nanti ngelonjak lo. Mau?"
Aku tertawa.
"Ya nggak gitu kali Mbok. Kan saya suaminya."
"Wes, jangan ngeyel, sudah sana bantuin Bapak saja sana tuh, di depan."
Aku didorongnya menjauh sambil tertawa mengejek
"Wong lanang kok mau masak to cah bagus..."
Aku mengusap wajahku yang mulai memerah lagi. Teringat Mbok Yem yang mengabdi di keluarga kami bertahun-tahun tanpa kenal lelah.

 Ibu sudah pindah mengajar di kampus waktu itu. Hanya 2 hari kerja saja, jadi banyak waktu luangnya di rumah. Mbok Yem yang mersa tidak enak dengan Ibu akhirnya bicara
"Bu, apa saya berhenti saja. "
Ibu hanya tersenyum sambil berkata
"Simbok mau pulang? Biar diatar Bapak, ya. Tapi izinkan saya merawat simbok. Tolong izinkan saya. Saya sudah tidak ada orang tua. Bapak juga. Kalau boleh, saya ingin merawat simbok disini. Boleh?"
Mbok Yem memeluk ibu sambil bercucuran air mata.
"Subhananallah, Bu... panjenengan orang baik, Bapak juga. Nyuwun pangapunten, saya jangan dirawat, saya mau tinggal disini. Tapi izinkan saya bekerja ya. Tolong jangan dilarang. Kalau saya capek saya istirahat. Saya janji. Tapi saya ndak mau terima gaji lagi. Saya minta tolong."
Ibu gantian menangis sejadi-jadinya sambil memeluk Mbok Yem. Semenjak, saat itu, Mbok Yem tetap tinggal dengan keluarga kami. Ibu tidak pernah melarang memasak, mencuci piring, tapi ibu melarangnya menyetrika dan mencuci baju, dan mengepel lantai rumah.
"Ngepel tiap Sabtu tugas Sabda. Selebihnya Ibu. Baju-baju di laundry saja. Jangan manja. Kalau bisa masak sendiri, mie, telur ceplok, masak sendiri nggak usah minta tolong simbok. Cuci piringmu sendiri. Jangan lupa, ngunci pagar sebelum tidur sama pintu ruang depan."
Aku tersenyum dan mengikuti perintah ibu. Kami memang punya Mbok Yem, tapi ibu dan ayah mendidik ku tidak manja dan suka memerintah. Mbok Yem bekerja nyaris tanpa perintah. Itulah yang sering ku dengar dari ibu-ibu sekitar rumah yang sering memuji ibu dan keluarga kami akibat cerita baik dari Mbok Yem.
"Sabda, semoga simbok sehat, ya. Kalian keluarga yang baik. Kami jadi ikut sedih kalau simbok pulang ke desa. Biar disini saja, ya. Biar kami juga merasa punya orang tua."
Ungkap bu Sari sebelah rumah. Kami memamng tinggal di perumahan di pinggiran ibukota. Rata-rata warga di sini adalah perantau yang jauh dari orang tua. Alhasil Mbok Yem yang baik hati dan selalu ramah dengan tetangga kami sudah dianggap orang tua oleh tetangga sekitar.

"Sab.Sudah malam, tidur sana dulu. Besok terlambat kita ke makam. Belum anter ibu ke pasar beli kebutuhan kirim doanya Simbok."
Kalimat ibu membuyarkan lamunanku.Aku menatap ibu sejenak.
"Nggak bisa tidur, Bu."
"Kalau Mbok Yem masih ada, pasti kamu diomeli lo. Nggak sayang badan. Nyetir seharian, begadang. Trus sakit. "
Aku tersenyum sambil menyeruput kopi hitam di gelas yang tinggal setengah.
"Sebentar lagi deh Bu. Janji. Mau nostalgia sama Mbok Yem."
Ibu menggeleng-geleng pelan sambil berlalu. Gantian Aya istriku mendekat sambil membawakan makanan di piring.
"Makan dulu, Pa. Dari tadi belum makan."
Sampai lupa kalau belum ngisi perut dari pagi.
"Makasih, Ma. Kinaya sudah tidur?"
Aya menunjuk kamar di sebelahku yang lampunya masih menyala.
"Ngerjain tugas katanya. Sama kayak papanya. Hobi begadang."
Aku tersenyum saja sambil menyendok makanan di piring yang rasanya mengingatkanku pada masakan-masakan Mbok Yem. 

Betapa beruntungnya keluarga kami, punya Mbok Yem yang selalu cekatan memasak makanan. Apa saja di tangan beliau terasa nikmat. Ibu kadang membantunya membuat masakan tradisional, lalu ketika kami memuji kelezatannya, Mbok Yem bilang itu karena tangan ibu yang bikin enak. Ibu hanya tertawa dan mengedipkan mata ke kami. Karna kami tahu simbok memang rendah hati. Kesukaannya memasak masakan tradisional sejak aku kecil lah yang membuatku mengenal rasa Indonesia yang otentik. Meskipun ayah ibu keturunan jawa, karena mereka besar di ibu kota jarang makan makanan tradisonal yang otentik rasanya. Yah... ibukota kan hanya menyediakan makanan tradisonal bercitarasa menyesuaikan lidah secara umum. Tapi Mbok Yem mengenalkan lidah kami sebuah keotentikan rasa maksakan. Ada Rawon, Lodeh, Sambal kentang ati, tempe bacem, sambel terasi, opor, gudeg, mangut, pokoknya semua masakan pernah di masaknya. Herannya kami serumah tidak pernah protes. Meskipun lidah tradisional, Mbok Yem tidak menolak makanan western atau oriental. Terkadang sesekali ibu membuatkanku macaroni scootel, capcay, atau steak. Mbok Yem pun mau mencoba makanan-makanan itu, hanya saja komentarnya kadang membuat kami tergelak.
"Makanan kok enaknya begini. Sayang lo kejunya mahal, dagingnya juga. Nha ini kalo buat masak soto daging dapat sepanci ya, Bu?"
Ibu hanya tertawa sambil menatapku. Aku memeluk Mbok Yem sambil bilang
"Masaknya pake gas setabung, Mbok. Sama aja. He he... Besok MBok Yem Sabda ajak ke Eropa ya lihat cara bikin keju. Mau?"
Mbok Yem hanya tersenyum sambil mengelus rambutku
"Ealah...pinter tenan cah bagus ini nyenengin hati simboknya...ndak usah jah-jauh, simbok takut naik pesawat. Nanti kecebur di laut."
Aku dan ibu tertawa lagi.
Begitulah kami dan Mbok Yem. Kata teman-temanku yang sering main ke rumah, mereka suka kangen masakan Mbok Yem. Kadang aku sampai kuwalahan menerima pesanan tumpeng dari mereka untuk acara-acara formal. Akhirnya ibu pun turun tangan. Ketika aku SMA, ibu sudah membuka catering kecil-kecilan dengan nambah satu karyawan yang membantu. Tapi tetap Mbok Yem lah Master Chefnya. Ibu bahagia bisa membuat Mbok Yem berkreasi dengan tangannya. Usianya yang sudah hampir renta, tak membuat Mbok Yem lemah fisiknya. Ibu saja sampai merasa iri degan kebugaran badan Mbok Yem. Kalau dilarang terima pesanan karena dilihat agak kecapek an ada saja alasannya yang membuat kami tergelitik.
"Kan kalau ada pesenan, kita ndak usah capek-capek masak lagi buat di rumah. Ikut nyicipi, Bu. Trus nanti ndak usah belanja 2 kali."
"Tapi simbok sepertinya capek hari ini."
"Ah, badan jangan dimanja, Bu. Kalau capek ya duduk sebentar, minum air putih beres. "
Ibu tersenyum saja sambil mengelus bahu simbok
"Bener ya Mbok kalau capek istirahat. Yang pesen temen saya, kok. Dia nggak rewel. Nanti saya yang ngatur. "
Begitulah Mbok Yem yang sudah tidak mengasuhku dan tidak banyak bebenah rumah menjadi punya kesibukan barunya.

"Sab. Habis makananmu? Mau nambah?"
Aku  tersadar lagi dari lamunanku. Ibu sudah ada di sebelahku sambil mengambil piring makananku yang tandas.
"Sudah kenyang, Bu."
"Nggak ada yang masak sambel kentang ati lagi ya, Sab. "
Aku memeluk tangan ibu. Aku tahu ibu sama kehilangannya denganku. Bukan makanan yang dimasak Mbok Yem sebenarnya yang kami rindukan, tapi rasa cinta beliau yang dicurahkan dalam setiap  masakannya.
"Di sana Mbok Yem sudah bisa istirahat, ya Bu. Nggak ngeyel lagi bekerja."
Ibu hanya tersenyum.
"Hidup simbok dihabiskan untuk menyenangkan keluarga kita, Sab. Ibu nggak tega sebenarnya waktu simbok pulang ke desa. Disini simbok hanya punya sodara-sodara jauh saja. Pasti simbok nggak mau minta tolong kalau nggak terpaksa. Nggak ada yang ngelihatin simbok setiap saat. Kalau sakit nggak parah biasa kan nggak mau istirahat orangnya. Mangkannya lebaran ini rencananya ibu di desa ini lama. Kan libur ibu lama. Buat gentian ngerawat simbok. Kalau di rumah kita juga pasti nggak mau berhenti bebenah rumah. Simbok sudah tua."
Aku menghela nafas panjang. Semenjak aku menikah,  simbok memang dirawat ibu di rumah. Simbok dibuatkan kamar plus kamar mandi dan dapur kecil di seberang rumah yang terhubung dengan lorong pendek. Kamar mbok Yem dapat dilihat dari jendela kamar ibu. Jadi ibu bisa melihat Mbok Yem sewaktu-waktu. Kami sudah menutup pesanan catering di rumah. Sudah ada juga orang yang dipanggil ibu untuk bersih-bersih rumah kalau ibu sedang sibuk di kampus. Tapi, tidak tahu kenapa sebulan yang lalu, simbok besikeras pulang ke desa. Ibu hanya menghela nafas panjang.
"Kali ini simbok nggak pulang ke desa seperti biasa, Sab. Katanya nggak akan balik lagi. Mau menghabiskan masa tua di desanya."
Aku menatap iba pada Mbok Yem yang sedang asyik memotong-motong kacang panjang sambil nonton TV. Aku mendekatinya. Karena ada Kinaya, anak ku, dia pun ikut mengekorku mendekati simbok.
"Mbok mau masak apa?"
Tanya Kinaya sambil ikut memotong-motong kacang panjang dengan tangannya.
"Cah ayu, ini lo bantuin ibu motong-motong sayuran buat masak. Sama ibu ndak boleh masak lagi. Katanya simbok ntar capek. Lha wong Cuma masak lodeh kok capek ya..."
Kinaya tersenyum sambil gelendotan di lengan Mbok Yem.
"Tuh Mbok anak perempuannya aja sayang banget. Kok mau pulang...apa nggak kangen? "
Rayuku. Memang Kinaya pun bahagia di sisi Mbok Yem. Meskipun tidak diasuh langsung dengan tangannya tapi suka disuapin dan diajak becanda sejak kecil. Mbok Yem lah yang suka minta diantar ke rumahkku sama Pak Ali, tukang ojek pangkalan perumahan kalau kangen Kinaya. Kadang ibu marah, kenapa aku atau Aya nggak jemput saja. Aku dan Aya hanya tertawa sambil berkata
"Kalau datang bilang-bilang bukan Mbok Yem."
Mbok Yem mengelus kepala Kinaya sambil memeluk lengannya.
"Nduk, cah ayu, Simbok sudah tua. Pengennya di desa saja. Disini simbok senang sekali...ibu sekeluarga baik sekali. Tapi simbok kan punya rumah disana. Kebon juga suka ndak ada yang ngelihatin, kalau kalau ada pisang masak ndak ada yang tahu. Kan simbok juga ndak bisa apa-apa disini. Malah ngrepotin ibu."
Ibu menyusut air matanya membelakangi simbok.
"Mbok, emang ngrepotin. Kalau nggak ngrepotin malah kita yang sedih."
Candaku. Simbok tergelak. Kinaya melotot ke arahku.
"Papa durhaka!"
Aku tertawa.
"Sabda abis lebaran mau ngajak simbok sama Aya sama Kinaya keliling Eropa, lo. Kayak ibu waktu itu. Kok malah pulang."
Mbok Yem tersenyum.
"Apa ndak malu ngajak orang tua kayak simbok..."
"Eh... banyak nenek-nenek juga di Eropa, Mbok. Pakai rok bunga-bunga belanja ke pasar."
Mbok Yem menahan tawanya. Rayuan kami hari itu tak ada yang mempan. Mbok Yem sudah mengepak baju-bajunya dan sudah pamitan ke tetangga-tetangga. Ayah juga kebingungan karena kehilangan sosok ibu di rumah.
"Sab, kamu ikut nganter Mbok Yem ke desa?"
Tanya ayah. Aku mengangguk. Jelas aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau sampai nggak ikut mengantar MBok Yem.
"Sabda aja yang ikut, Yah. Aya selain kerja juga nemenin Kinaya sekolah."
Ibu yang berlinangan air mata masih sesenggukan di dadaku.
"Sudah lah bu. Nanti kalau libur kampus yang panjang pas abis lebaran ibu nemenin Mbok Yem di desa yang lama. Kan bisa gantian. Nggak papa."
Kata Ayah menghibur.
"Nanti kalau simbok sakit sebelum ibu kesana trus nggak mau bilang-bilang sodaranya siapa yang tahu, yah?"
Ayah menghela nafas panjang.
"Sudahlah, kita doakan saja Mbok Yem sehat. Nanti kita sering-sering nengokin kalau libur. Tuh Sabda kalau tugas ke daerah biar mampir sana."
Ibu hanya mengangguk lemah.
Pagi bersejarah itu kami semua berkumpul di ruang makan untuk melepas Mbok Yem. Aya yang bertugas menyiapkan makan pagi hari itu dilarang Mbok Yem pesan keluar.
"Nduk, Aya. Simbok pengen ninggaln sambel kentang ati sama sambel terasi udang buat keluarga ini. Tolong bantu simbok saja ya, menyajikan."
Aya dengan berat hati mengangguk dan menahan air matanya.
Di meja kami sama-sam makan tetapi diam. Simbok bercanda dengan Kinaya yang memang mulai tumbuh remaja. Katanya badannya bagus, cantik, pinter, kayak aku waktu kecil cerdasnya. Kinaya merengut dibanding-bandingkan denganku. Kami semua hanya mendengarkan mereka becanda sambil menahan air mata yang akan turun. Ayah mulai memecah suasana.
"Mbok, kalau saya kangen sama sambel terasinya di kirim lewat pesawat ya."
Kami tersenyum.
Simbok tertawa sambil berkata
"Nanti simbok kirim lewat Whats app."
Aku tertawa. Mbok Yem setua itu tidak gaptek. Aku yang mengajarinya menggunakan media sosial. Maksudku biar kalau ada apa-apa di rumah simbok bisa menghubungi ibu atau aku.
Makan pagi yang terakhir dengan Mbok Yem di rumah kami banyak diwarnai diam. Aku menyendok makanan terakhir di piring sambil menatap raga tua Mbok ku yang sebentar lagi akan pulang ke desanya.
Aya menangis sejadi-jadinya bersama ibu saat di kamar sebelum kami berangkat mengantar Mbok Yem. Pagi itu hari Minggu. Sengaja kami berkumpul di rumah ibu.
Aku dipanggil simbok ke kamarnya. Diberi sebuah kotak beludru berisi bross emas kesayangannya. Katanya buat semangatku. Aku tak kuasa menolaknya, takut simbok tersinggung atau merasa tidak diterima pemberiannya. Simbok juga menitipkan 3 pasang kain batik klasik katanya buat baju aku, Aya, dan Kinaya.
"Tapi kan simbok bisa simpen buat di desa."
Simbok tertawa
"Banyak kain di pasar desa simbok yang bagus-bagus begini cah bagus. Ini kan kenang-kenangan buat keluarga kecil kamu."
Aku memeluk simbok sambil menahan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk mata.
Siang itu kami mengantar Mbok Yem ke desa. Ibu sepanjang jalan memegangi tangan Mbok Yem.
"Simbok pernah punya anak perempuan, dulu. Terus umur 7 tahun sakit malaria. Meninggal. Tak lama suami simbok juga mengikuti. Sebelum simbok diajak Bude Sri ke Jakarta untuk dikenalin Ibu."
Ibu mengangguk. Kami tahu cerita itu sudah lama sekali. Ketika Mbok Yem bercerita kembali hatiku trenyuh. Kata Eyang Sri saudara ibu, Mbok Yem yang minta dicarikan kerja di rumah keluarga jawa di Jakarta. Katanya ingin bekerja sebisanya. Digaji kecil juga tidak apa-apa. Yang penting ada kesibukan. Di desa jarang orang yang menerima pekerja di rumah. Akhirnya Eyang Sri membawa Mbok Yem ke rumah kami. Ibu yang saat itu membutuhkan seseorang untuk megasuhku sangat bahagia. Meskipun ibu bilang ke Mbok Yem untuk mengasuhku, tapi ibu juga bilang Mbok Yem adalah keluarga kami, jadi tidak dianggap pembantu. Hanya membantu ibu mengasuh saja. Selebihnya Mbok Yem adalah keluarga. Betapa gembiranya Mbok Yem waktu itu kata ibu sampai memeluk ibu berkali-kali. Mbok Yem juga tidak mau digaji pakai amplop. KAlau ibu mau ngasih uang disuruh masukin ke tabungan saja. Nanti kalau Mbok Yem butuh sewaktu-waktu baru diambil. Ibu tetap meninggalkan uang di rumah untuk keperluan keluarga. Mbok Yem diizinkan memakai uang untuk kebutuhan Mbok Yem misalnya beli apa yang ingin di beli. Tapi Mbok Yem tetaplah Mbok Yem yang jujur. Tidak mau pakai uang di rumah untuk kepentingan pribadinya. Katanya kalau butuh obat bisa minta sama ibu obat yang di rumah. Katanya simbok nggak pengen apa-apa. Semua sudah ada di rumah. Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepala kalau ingat kebaikan hati Mbok Yem yang didasari kejujuran dan keikhlasan. Kalau dibelikan baju mau lebaran atau ibu pulang dari luar kota saja suka nggak enak dan bilang
"Sayang Bu uangnya. Bisa buat jajannya Sabda."
Ingat itu aku hanya menatap Mbok Yem dari kaca mobil. Raga tuanya masih sangat tegar dan kuat meski usia sudah renta. Kami mengantar simbok sampai di desanya. Sampai disana, simbok malah repot mengurusi kami. Ibu sudah melarangnya menyiapkan apa-apa. Tapi Mbok Yem tetaplah Mbok Yem yang senang repot. Ayah melarang ibu komentar. Katanya biarin Mbok Yem bahagia. Ibu membantu apapun yang Mbok Yem kerjakan bersamaku. Rumah Mbok Yem besar dan bersih meskipun bangunan tua. Ayah rebahan dib alai-balai rumah kemudian memanggilku.
"Sab, ayo belikan simbok pompa air dan peralatan dapur litrik saja. Biar nggak capek. Oh iya jangan lupa kita sediakan obat-obatan yang lengkap sama bahan kering-kering lain. Abis ini kita ke pasar. Kamu belikan juga kasur yang nyaman buat Mbok Yem sama dispenser air biar nggak usah ngrebus air lagi. Nanti kita minta nomer rekening listriknya biar ayah yang bayar tiap bulan."
Aku mengangguk setuju. Kami memenuhi segala kebuthan Mbok Yem sebelum meninggalkannya di desa. Mbok Yem marah karena terlalu banyak yang kami beli.
"Wong hidup di desa itu ndak repot kok. Sudah sayang uangnya. Bisa buat yang lain, Pak."
Ayah hanya tersenyum.
"Yang beli anak simbok sendiri kok. Tuh si Sabda. Biarin lah dia berbakti sama simboknya. Sabda uangnya sudah banyak Mbok. Kalau habis dia bisa gunting lagi."
Canda ayah sambil merangkulku. Simbok memelukku erat. Malamnya simbok mengundang sodara-sodaranya. Kami dikenalkan ke semua sodaranya. Katanya kamilah anak-anak simbok sekarang. Jadi kalau main kedesa katanya mudik ke rumahnya sendiri. Saudara-saudara simbok bahagia dan mengucapkan terima kasih kepada kami. Tapi kamilah yang harusnya berterima kasih.
Esoknya ibu minta pamit pulang, karena ayah tidak bisa cuti lama. Mbok Yem akhirnya harus berpisah dengan kami. Aku berjanji lebaran akan mengunjunginya agak lama biar simbok ada yang menemani. Ibu juga berjanji akan ikut denganku dan keluarga kecilku.

Sejak Mbok Yem di desa, ibu menyibukkan diri lagi di kampus. Beliau sering ke rumahku dengan alasan kangen Kinaya. Aku tahu ibu kesepian. Ayah tidak pernah melarang ibu ke rumahku setiap saat. Kinaya dan Aya malah senang. Katanya kalau ada ibu ada teman ngobrol dan curhat. Kadang kami video call dengan Mbok Yem. Kinaya tertawa geli melihat Mbok Yem yeng tertawa dengan gigi hampir habis. Anakku yang suka dunia seni dan sastra membuat documenter tentang Mbok Yem. Kinaya berencana akan membuatkan sebuah film pendek untuk Mbok Yem. Mbok Yem pun senang bukan main.  
Tak terasa hari dan bulan berlalu. Aku ada tugas ke luar negeri. Baru menjelang puasa pulang. Baru beberapa hari di rumah lagi, ibu menelponku bahwa Mbok Yem sudah kembali pada Nya.

Sampai saat ini. Aku ada di desa ini kembali untuk melepas Mbok Yem yang tidak hanya pulang dan bisa dijenguk, tapi sekarang beliau sudah pulang selamanya. Tak ada yang bisa menjenguknya. Ibu masih sembab wajahnya ketika pulang dari makam simbok. Kami akan tinggal di desa sampai 7 hari simbok. Malam ketujuh, sodara simbok menemui ibu. Katanya ada titipan dari simbok yang diberikan kepada kami. Katanya kalau sewaktu-waktu simbok diambil, kami diminta mengambil titipan itu di lemarinya.

Sebuah tas pemberian ibu yang didalamnya berisi buku tabungan simbok dan sepucuk surat tulisan tangan simbok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun