Mohon tunggu...
plur retknow
plur retknow Mohon Tunggu... Guru - menulis dengan hati

Cogito ergo sum (aku berfikir aku ada) / Rene Descrates

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Elegi dan Kenangan

3 Desember 2019   22:15 Diperbarui: 3 Desember 2019   22:30 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika harus jujur, saat ini pun ada satu hal yang belum pernah ku lupakan. Bertemu dengannya. Di pertengahan usiaku ini, aku hanya minta satu hal itu kepada Tuhan. 

Ya... tapi mungkin Tuhan memisahkan kami di belahan bumi yang berbeda. --Dia berharap kisah antara kami tak akan dimulai kembali. Atau mungkin, Tuhan punya rencana yang lain? Entahlah. Aku hanya menatap langit sore ini dengan kepasrahan yang sangat. Aku benar-benar pasrah apa yang di kehendaki-Nya bukanlah harus kuketahui. Itu rahasia pencipta.Hingga pagi yang masih dingin ini, aku menyusuri jalanan sepanjang blok perumahan yang mulai menggeliat aroma kehidupan. Ku langkahkan kaki ini menginjak beberapa dedaunan yang jatuh dengan aroma hujan semalam. 

Aku menyelipkan tanganku pada blazer hitam yang kupakai. Sementara sepatu boot putih diatas mata kakiku mengayun sempurna menembus jalanan. Aku menyibak rambut panjangku yang tergerai bebas. 

Ada setiap saat perasaan itu sampai usiaku mencapai sedewasa ini. Perasaan yang sebenarnya biasa, tapi ini kualami bertahun-tahun lamanya. Perasaan menunggu sesuatu yang tak pasti. Menunggunya. Menunggu saat itu datang. Menunggu saat sinar mata itu kembali padaku, ku temui meskipun tak bisa lagi kumiliki seutuhnya. 

Aku tahu dia mungkin sudah memiliki orang lain. Tapi semua itu tak membuatku mudah melupakannya. Karena, bagiku kebahagiaannya adalah segalanya. Mengalahkan ego yang membuncah dalam hatiku. Mengalahkan bahagianya ketika bosku memberiku selamat atas prestasi kerjaku, mengalahkan saat aku dapat lulus S2 berpredikat cumlaude. Aku. 

Adrenallien Neurilemma Innasty. Nama biologi yang diberikan orang tuaku yang saat ini sudah tiada. Aku anak tunggal dari ayah bunda seorang ahli kimia dan ahli pertanian. 

Entah mengapa mereka menamaiku dengan hormon Andrenallin. Mungkin supaya aku menjadi terpacu, semangat menghadapi kehidupan ini meskipun berat. Sangat berat. Mereka meninggalkan aku selamanya, saat usiaku sudah 18 tahun. Semester 2 kuliah. Kecelakaan maut itu merenggut nyawa mereka. Tinggal lah aku sendirian di rumah bersama dengan kesepian yang sangat.                

Kehidupan percintaanku pun tak seindah remaja-remaja lain pada saat itu. Kisah yang membuat cerita ini mulai memasuki babak awalnya. Saat yang mungkin membuat semua titik konsentrasi memoriku buyar berkeping-keping. Saat yang mampu membawaku memasuki babak baru kehidupan yang sebelumnya tak ingin kunikmati seperti ini. Aku terhampar pada kenyataan yang bahkan aku tak pernah tahu bagaimana menuju klimaks sampai ke ending. Aku memang tak pernah memahami takdir dan tak pernah mau menerka-nerka atau bermimpi terlalu tinggi. Hayalanku bertepi pada kehidupan yang nyata, bahagia, dan sukses. Itu saja. Tapi istilah tengah itu membuatku jungkir balik mengikutinya. Kebahagiaan. Ya... sampai saat ini pun aku masih melihatnya dalam siluet kehidupan. Belum menatapnya secara nyata dan benar-benar ada. Tuhan... aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya bahagia kembali setelah sekian lama ujian itu Engkau berikan. Dan aku tak pernah lagi mau memikirkannya semenjak ini menjadi sebuah cerita yang menarik.
September 2004
Kampus  Saat mata elangnya menatapku dengan tajam. Menghujam jantungku dengan perasaan yang entah apa namanya. Aku tak bisa lari darinya. Meskipun ini bukan keinginanku yang sebenarnya. Ia mengunci persendian tanganku dengan genaggaman tangannya yang kokoh. Aku melihatnya sangat dekat. Bukan perasaan nafsu antara laki-laki dan perempuan, tapi lebih pada getaran rasa yang hebat. Rasa yang tak bisa kuungkapkan dengan gerakan atau kata-kata. Ia tertawa membahana dan mengacak-acak rambut pendekku. Aku mengikutinya menuju aula yang pada saat itu sebuah tempat dimana kami semua berkumpul. Aku sudah mengenalnya lama sekali, sangat lama, hingga aku terlalu hafal dengan apa yang terjadi berikutnya. Pasti yang keluar dari mulutnya dengan lesung pipit itu sebuah kata-kata ejekan candaan yang selalu diakhiri dengan lemparan remasan kertas dariku. Kemudian seisi aula menertawakan kami dan aku tersenyum masam sambil duduk menyilangkan kaki. Menatapnya dari jauh dengan segala keterbatasanku untuk diketahuinya adalah suatu hal yang menegangkan sekaligus menyenangkan.
"Jendral Besar" Sebutan untuknya di BEM kampus. Lalu mereka menobatkan aku menjadi sosok "Panglima" perangnya. Setiap rapat di kampus selalu dia yang menentukan strategi organisasi, sementara aku yang punya hak tertinggi menjalankannya. Semua anggota BEM menghormati itu. Tidak ada satupun yang protes atau diam-diam kudeta. Namanya mahasiswa. Mereka percaya pemimpin yang bijaksana. MAsalahnya pemimpin mereka tidak Cuma bijaksana, tapi sangat menarik. Menarik dari segala hal. Mulai dari ketampanan sampai dengan intelektualitasnya yang tinggi. Seperti apapun kebijakan jendral besarnya mereka akan angkat senjata untuk perang. Tapi itu hanya analogi. Kenyataannya organisasi kampus di kampus ku adalah yang paling tidak suka demo dan paling anti organisasi berplatform tertentu. Kami berjalan wajar sewajarnya saja. Sebagai mahasiswa yang menjadi penyambung lidah rakyat. Kami lebih banyak berkarya lewat seni, sastra, dan olahraga. Itulah kehebatannya. Saat masa muda bergejolak, kami meredamnya dengan kegiatan positif. Itulah kehebatan Jendral Besar kami.
                "Alien,...jangan banyak ngelamun. Belanda makin dekat. Itu udah siap belum masalah LKTI tingkat nasional?"
Aku terhenyak menatap si empunya suara. Benar-benar di dekat telinga.
                "Bisa...agak jauh? Heloooo...ini telinga makin tipis rasanya."
Dia tertawa. Seperti biasa. Keanehan yang menurut mereka semua yang mengenal kami sesuatu yang wajar. Tidak wajar kalau kami berhenti bertengkar. Atau menganggap kami sakit kalau tiba-tiba seharian tanpa komentar dan kami berjalan beriringan sambil terbahak. Nha.. aku berharap kami bisa sering sakit. Biar terlihat akrab. Tapi kami memang ditakdirkan begitu, mungkin.
                "heh...muka-muka mereka pada capek, nungguin kamu!"
Hujatnya sambil ngacak-ngacak rambut cepakku. Sebagai wanita yang terkenal semi wanita alias tidak ber style wanita aku biasa saja. Tapi yang belum kenal kami akan berkata 'tuh cowok nggak ada sopan-sopannya'. Aku mencibir sambil mengeluarkan setumpuk kertas dari tas ransel besarku.
                "Nih! Amunisi LKTI sudah siap ditembakkan!"
Seisi ruangan terbahak dan bersorak-sorai. Dia hanya menatapku tajam dan menggeleng-geleng.
                Seperti biasa, usai rapat kami nongkrong di warkop fakultas sambil masih diskusi. Tapi siang itu anak-anak pada capek, katanya. Tinggal aku, si Jendral gila itu, dan Aris salah satu anggota BEM. Aris pun akhirnya mohon diri setelah dapat telepon dari seseorang. Mungkin pacarnya.
                "Enak, ya.. si Aris diperhatiin."
Aku terbahak mendengarnya. Siapa yang nggak kenal orang di depanku ini. Seisi kampus juga tahu dia. Seisi kampus juga kagum padanya. Tapi sekali lagi tidak ada yang berani mendekatinya. Sama halnya dia tidak pernah punya hasrat mendekati siapa pun. Meskipun bejibun wanita cantik di kampus besar kami. Meskipun entah berapa hati yang berhasil dipatahkan akibat kecuekannya.
                "Eh... kirain homo."
Kataku asal. Dia melotot. Aku terbahak sampai kopi di mulutku terciprat keluar.
                "Lha mendingan homo, daripada nggak ada yang naksir."
Aku terbahak lagi.
                "artinya kita sama."
Dia tertawa dan tiba-tiba sudah berbisik di telingaku
                "Kamu  naksir saya, ya?"
Aku terhenyak dan menatapnya. Sejak kapan pikiran gila itu sampai ke otak si jendral gila itu. Mukaku memerah seketika.
                "akui sajalah...nggak perlu sembunyi-sembunyi begitu. Kurang apa sih?"
Tanyanya sambil tersenyum ke arahku. Tiba-tiba nyaliku menciut dan untuk pertama kalinya aku diam seribu bahasa. Tiba-tiba terdengar tepuk tangan tunggal. Dia terbahak
                "Just kidding. Udah... ayok pulang. Sepertinya kurang sehat lu ya? Pucet gitu."
Aku mengangguk dan menghela nafas lega. Sialan. Aku pikir dia bisa membaca pikiranku. Seperti biasa kami menyusuri pintu keluar kampus sambil tetap adu argument. Dan seperti biasa pula dia berjalan di sampingku sambil memegang kepalaku dan mengacak-acak rambut cepakku. Yang berbeda, perasaanku makin kalut. Aku berharap cepat lulus dari kampus dan tak melihatnya lagi. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta.Dan itu salah.
Kampus memupuk perasaanku padanya. Tapi sekali lagi sampai lulus pun aku tak berani mengakuinya. Si jendral besar gila yang punya mata elang itu pun yang ku tahu tetap seperti gunung es. Aku hanya berani menatap kharismanya seperti ratusan cewek di kampus ini yang kagum padanya. Meski aku punya peluang besar untuk setiap saat berinteraksi dengannya. Itulah. Aku hanya mau meyimpan semuanya rapat-rapat di brankas hatiku. Tak ada seorangpun yang akan kuberitahu sekalipun itu sahabatku sendiri. Biarlah kami akan bersama tanpa tendensi apapun. Aku berharap begitu sampai kami lulus dari kampus nanti.
Seperti yang ku duga, kami semua lulus dari kampus dalam waktu yang hampir bersamaan. Kami meninggalkan BEM 6 bulan sebelum kami lulus. Perpisahan yang menguras air mata jiwaku waktu itu. Saat dia memelukku untuk terakhir kalinya di organisasi dan mengucapkan kalimat pamungkasnya
"makasih, ya. Sudah jadi panglima gue. Sudah sabar jadi partner gue yang begini. Sorry kalo banyak salah."
Aku tak bisa berkata-kata. Air mataku hampir turun, tapi ku tahan sekuat tenaga. Aku ini panglima. Harus kuat. Meski pertahanku runtuh seketika melihatnya berbalik badan. Di balik kekuatanku ada hati yang rapuh yang saat itu pun sudah patah. Pertama kalinya aku patah hati sebelum tahu indahnya hubungan. Dan itu terakhir kalinya aku menjauh darinya untuk konsentrasi akhir studi di kampus dengan berbagai macam alasan klise lainnya. Selamat tinggal jendralku. Meski tiap malam aku terbangun dan mengenali mimpiku berisi tatapan elangnya. Masih terpahat sosoknya yang selalu hadir di hari-hariku di kampus mengiringi masa-masa kuliahku. Lalu semuanya harus berakhir. Aku yang mengakhirinya dengan idealisme ku. Bagiku tidak perlu lagi melihatnya biar apa yang ada di hatiku makin tidak tumbuh subur. Pengecut. Itulah aku pada masa itu.
Sampai perayaan wisuda selesai, aku tak berani menemuinya. Sekali lagi aku ingin rasa itu pupus. Karena ku yakin aku bukan pilihannya. Hingga SMS terakhirnya "Selamat, ya. Jangan lupa pernah mengenalku." Ido jerry P.
Aku menghapus semua akses tentangnya dan selalu akan mengenangnya sebagai kenangan terindah. Cukup.

September 2011
Reuni BEM kampus. Aku menemukan seluruh isi ruangan. Diantara banyak orang, aku menemukannya kembali. Dia tidak berubah. Masih seperti dulu. Kharismanya menghipnotis semua orang di ruangan itu. Serasa dial ah yang paling dikagumi disana. Aku berdiri di belakang alumni lain dan hanya asyik main gadget. Entah darimana asalnya, dia sudah muncul dihadapanku. Bukan untuk adu argument, tapi untuk menegurku
"Sengaja lupa atau bagaimana? Apa sih salahku?
Aku menatapnya dengan kekagetan luar biasa. Lalu aku menghela nafas panjang dan menghibur diri. Dia memang suka bercanda. Mungkin tidak berubah candaannya. Yang berubah adalah dia tidak lagi mengacak-acak rambutku yang masih tetap cepak, meski sudah stylis. Dan aku sudah berusaha menstandarkan penampilanku seperti para wanita pada umumnya. Meski style casual tetap tersandang di diriku.
"Nggak, aku hanya panglima, kan. Hak prerogative kan milik mu."
Dia tertawa. Tidak seperti dulu yang masih kacau terbahak di warkop. Aku tak berani menatapnya langsung. Seperti biasa kamuflaseku melewati pundaknya menatap yang tidak kea rah mata elangnya. Sekali lagi aku tak berani. Sungguh. Aroma parfumnya yang maskulin masih menggodaku untuk tidak menjauh darinya. Tapi sekali lagi aku tak berani mendekatinya.
"Kuliah sudah kelar kali... jangan anggap aku nih masih apa tuh... jendral. Kita sama disini. Sini lah gabung. Ayok... ceritain kisah hidupmu. Plis."
Aku mengangguk sambil mengikutinya ke  arah anak-anak lain. Sebelum sampai ke kerumunan alumni, dia berbisik
"Masih naksir ? Ayo...kita jadian disini.."
Seperti stroom ribuan watt mendengar bisikannya yang gila itu. Entah darimana ide gila itu menyertai acara reuni yang sakral itu. Nyaliku menciut, dan keringat dingin membanjiri bajuku. Ah, kenapa aku ini? Seperti tak menegnalnya yang hobi bercanda. Aku pura-pura memukul bahunya dan buru-buru kea rah anak-anak yang lain. Bergabung. Persetan dengan Ido yang sesaat kemudian sok jadi narasumber cerita paling menarik. Sampai akhirnya saking menariknya dia aku mulai menjauh dari kerumunan dan minta diri duluan. Semenjak saat itu aku tak berani lagi ikut reuni. Aku tak mau bertemu dengan sosok mata elang yang membuatku senam jantung saat bercanda. Aku hanya takut candaannya membuatku khilaf untuk mengakui yang sebenarnya. Betapa patah hatinya kalau sampai ditolak. Cukup.
Setelah reuni terakhir kami, aku berjanji menutup seluruh akses tentangnya. Meski kadang rasa rindu membuncah teramat sangat. Sampai zaman media sosial tiba. Zaman dimana kita bisa mencari kembali jarum di tumpukan jerami. Zaman dimana kita bisa menemukan siapapun di muka bumi ini tanpa kesulitan. Tapi digitalisasi tak membuatku bisa menemukannya kembali. Grup-grup medsos hanya mengenangnya tanpa tahu nomor terhubung yang bisa membuatnya muncul kembali mejadi jendral besar kami. Semuanya nihil. Dan aku mulai putus asa bisa melihat kilatan sempurna mata elangnya lagi. Pupus.
Lamunan berkepanjangan ku berangkat kerja hanya sampai depan kantorku. Setelah ini semua akan berjalan normal, karena kejadian yang kupikirkan tadi sudah lewat bertahun yang lalu. Ssepertinya aku juga tidak akan bertemu Ido lagi. Kota tempatnya tinggal alias kampus kami sekrang sudah jauh dari tempatku bekerja. Kami punya komunitas di medsos tanpa dia. Cuma aku kurang aktif medsos an. Sekali lagi tuntutan pekerjaan dan akan mengingatkanku terus akan masa lalu yang menggantung itu.
Sampai siang bekerja, aku masih di suasana sewajarnya. Hingga sore menjelang pulang kerja tiba-tiba HPku bordering. Aris. Alumni kampusku. Anak BEM. Entah kenapa perasaanku tidak enak.
"Alien, kamu bisa berangkat ke RS deket kampus kita? Plis...nomormu ada di anak-anak alumni. Tiket pesawat gampang, aku yang pesenin. Plis, jendral sakit parah. Kritis. Aku serius. Leukimianya sudah stadium 3. Aku takut kamu tidak bisa melihatnya lagi."
Seluruh sendiku ngilu dan kaku. Ido??? Ada apa? Dia sakit. Tuhan, aku hanya sibuk memperhatikannnya tanpa tahu dia sakit. Padahal reuni waktu itu tidak pernah terlihat tanda-tanda itu. Aku langsung berkemas dan cepat meluncur. Untungnya hari jumat. Besok weekend.
Sampai di rumah sakit, Aris menyambutku. Air matanya disusut dan mengajakku duduk di ruang tunggu rumah sakit.
"Tolong jangan sedih, Alien. Dia sudah tiada."
Dunia ku runtuh. Nafasku berhenti sejenak. Tanpa sadar air mataku mengalir deras tanpa henti. Mulutku tercekat dan seluruh bayangannnya tiba-tiba muncul.  Setelah sadar, aku mengguncangkan tangan Aris.
"temen-temen yang lain mana, Ris?"
Aris menghela nafas panjang.
"dia tidak pernah menunggu yang lain. Dia hanya menunggu kamu. Dan aku saksinya."
Aris memeluk tanganku.
"Kita ke rumah Ido, ya. Disana jenazahnya sekarang. Kamu terlambat sedikit. Ayo."
Entah perasaan macam apa yang menyelimuti ku saat ini. Baru tadi pagi aku melamunkan kejadian-kejadian itu. Lalu sekarang benar-benar di tahapan alur terakhir. Ending.
Di rumah Ido, pertama kali melihatnya tanpa suara dan tanpa candaan khasnya meluruhkan air mataku. Satu kata yang bisa kuucapkan padanya. "maaf."
Terakhir setelah pemakamannya, Aris memberikan sesuatu padaku.
"Ini titpannya. Tolong disimpan. Jangan pernah dilupakan. Dia mencintaimu. Menunggumu dan tak pernah berani mengatakannya, karena dia tahu umurnya tidak panjang."
Seluruh hidupku berbalik 360 derajat. Tiba-tiba aku merasa bahagia. Sesaat. Meski sudah terlambat. Tuhan sudah punya garis takdir yang jelas untuk ku. --Dia memanggil orang-orang yang mencintaiku untuk abadi di sisi Nya. Takdir ku adalah bahagia dengan kehidupan yang diberikan Nya untuk ku. Bersyukur, karena ternyata aku pernah dicintai. Pernah.
Buku harian itu menjadi saksi bagaimana cinta selalu penuh misteri, penuh ketulusan tanpa tendensi. Sepenggal tulisan Ido di halaman akhir buku hariannya
Alien.
Aku mengenalnya sebagai cewek yang sangat biasa. Tidak istimewa. Tapi pada kenyataannya dia membutakan hidupku dengan cinta. Aku baru menyadarinya saat nyaman berada di dekatnya. Tidak ada keinginan apa pun di dirinya padaku kecuali ketulusan. Aku mencintainya. Meski aku tak berani mengatakannya. Hanya ingin membuatnya bahagia. Itu saja. Latar belakang kehidupannya yang ditinggalkan orang-orang terkasihnya membuatku harus berfikir seribu kali menyatakan perasaanku. Bagaimana aku akan menemaninya, aku sendiri dihadapkan pada tagdir. Hidupku tidak lama. Bagaimana aku harus melihatnya menangis? Sementara ketegarannya lah yang membuatku bisa bertahan kuat selama ini. Aku tahu dia menyimpan semuanya di hatinya kuat-kuat, ketika aku diam-diam tahu dia memperhatikanku dari jauh, mencoba menyimpan perasaannya, entah sampai kapan. Rasa ini makin ingin kuungkapkan, saat melihatnya lemah. Tapi aku tak mau membuatnya menangis lagi. Biarlah air matanya surut. Biarlah dia bahagia. Bagiku itu saja cukup.
Maaf.
Aku sudah menyusut air mataku. Aku sudah tidak bersedih lagi. Aku sudah bahagia. Untuk membuat mereka yang mencintaiku bahagia. Sekali lagi aku tak kan menitikkan air mata kesedihan. Tuhan, beri aku kekuatan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun