Mohon tunggu...
Nita Harani (Syamsa Din)
Nita Harani (Syamsa Din) Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah Ibtidaiyah

I'm Nothing Without Allah SWT. pengagum senja, penyuka sastra. wahai diriku, sebelum sutradara kehidupan berkata CUT!!! teruslah melangkah, berlari & melompat lebih tinggi. No Regret Life...No Pain, No Gain. Keep Hamasah wa Istiqomah..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertiwi Jatuh di Mata Santri

27 Januari 2018   10:00 Diperbarui: 27 Januari 2018   10:08 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kuseka bulir keringat yang merembes dari balik jilbabku, dengan nafas naik turun, kulempar senyum pada Ulum yang duduk di sudut ruangan,  meleletkan lidah nakal padaku. Kali ini, kutaklukkan Ulum dalam dua set saja, Ulum bangkit mengayunkan raketnya.

"lanjut boi..aku harus menumbangkanmu sore ini juga" Ulum berlagak jagoan, jilbab kausnya berkibar diterpa angin yang menerobos jendela besar  tanpa kaca.

"Harus sore ini?" seringaiku

"mungkin ini pertandingan terakhir kita boi.." Ulum menatap dalam spanduk yang dipasang di muka kelas. "Imtihan Nihai" ujian pamungkas untuk santri semester akhir akan digelar dua minggu lagi. 

Selama dua minggu kedepan, kami para santri semester akhir akan terbebas dari kelas, kami akan fokus mengulang pelajaran di dampingi ustadzah senior. Sebelumnya, hari libur tiap Jum'at adalah kenikmatan luar biasa bagiku, kali ini, tak ada kelas untuk dua minggu tapi, ck..aku malah resah.

Jum'at senja di penghujung April. Ah..Jum'at yang selalu istimewa bagi kami, tak ada kelas, bisa tidur siang ba'da Dzuhur, meladeni tantangan Ulum bermain bulu tangkis ba'da Ashar, seperti senja ini. 

Tapi, yang paling ditunggu adalah menu istimewa, ayam, rendang atau ikan plus susu kedelai..aih. Angin sore di penghujung April memainkan spanduk di muka kelas, sorak sorai teman -- teman yang bermain tenis meja di ruang sebelah berangsur reda. "Ah.." aku mendesah, bangkit mengaitkan raket pada paku.

 "sori..waktu mendesak boi..siap -- siap ke Masjid" pelan kutepuk pudak Ulum. Perempuan asal Buyan Kelumbi Bangka Belitung ini hanya mengangguk mengikuti langkahku. Dulu, aku sengit tiap kali di panggil "boi" rupanya boi adalah sapaan akrab daerahnya.

Menjelang Imtihan Nihai, santri semester akhir penghuni asrama putri Assalam terlihat tegang dan kaku. Obrolan dan senda gurau berangsur surut, baik di kamar, saat makan maupun saat mengantri mandi. Bahkan Rubiah, perempuan berperawakan atletis yang sering menghibur kami dengan tingkah kocaknya, tak lagi beraksi.

"Ada yang mau? Obat peredam cemas" Ulum mengeluarkan bungkusan plastik bening dari lemari kayunya sambil cengengesan. "Perempuan Kelumbi ini masih bisa cengengesan" batinku. 

Sigap Ulum membuka bungkusan di tengah ruangan, sekantung besar kerupuk ikan berbentuk bulat, persis seperti pilus, tapi ukurannya lebih besar, Ulum menyebutnya Getas, makanan khas daerahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun