Mohon tunggu...
David Olin
David Olin Mohon Tunggu... Pustakawan - Belum terlambat aku mencintai-Mu

Setiap kali menatap mentari, bulan selalu mendapat cahaya baru (IG: @david.usolin.sdb) Note: Semua tulisan dalam platform ini dibuat atas nama pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Retorika dan Dialektika: Apa Bedanya?

10 Mei 2022   08:00 Diperbarui: 10 Mei 2022   09:29 4704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hai Kompasianer! Senang sekali akun saya pada hari ini telah tervalidasi (centang hijau). Kali ini saya akan membagikan dua istilah kunci yang (mudah-mudahan) bisa membantu kita memahami perbedaan antara "filsafat" dengan "yang kelihatannya filsafat, tapi bukan filsafat". 

Dialektika adalah suatu upaya untuk mencari kebenaran dalam wacana (diskursus) dengan menggunakan akal budi. Dengan kata lain, dialektika adalah filsafat itu sendiri. Sementara itu, retorika berurusan dengan "menang atau kalah" dalam suatu ajang diskusi/debat. Kedua istilah ini sebenarnya erat terkait satu sama lain, namun pada titik tertentu retorika bisa menyeleweng menjadi sekadar cara untuk menyudutkan lawan berbicara. Dengan kata lain, tujuan utama retorika adalah menghasut audiens agar setuju dengan sang pembicara, apapun isi omongannya. 

Dialektika (sebagai jalan berfilsafat) akan menuntun pihak-pihak yang terlibat dalam diskusi sehingga "isi" suatu kebenaran yang wajar dapat ditangkap oleh akal budi meskipun tidak semua orang setuju dengannya. Sementara itu, dalam retorika (sebagai semata-mata teknik berdebat), kebenaran dan kelurusan suatu argumen tidak begitu penting. Yang penting aku menang debat/menonjol dalam diskusi. Titik.

Sebagai pembanding, Aristoteles sendiri menulis tentang tiga unsur penting dalam retorika (seni berbicara, seni berdebat) yaitu: Ethos (siapa yang sedang berbicara), Pathos (cara menyampaikan) dan Logos (wacana atau isi pembicaraan). Namun, sebagai seorang filsuf, Aristoteles mempunyai sebuah gaya dialektika yang diberi nama "doksografi" (ilmu tentang doxa, opini). Bagi Aristoteles, setiap pendapat itu mengandung kebenaran meskipun tetap bisa dikritik.

Sementara itu, Arthur Schopenhauer dalam arti tertentu akan memeluk gaya dialektika yang identik dengan retorika ekstrem. Ia "menghalalkan" semua gaya berpikir dan berbicara demi memenangkan argumentasinya.

Dengan lebih sederhana, dalam dialektika, para peserta "diskusi" atau forum tertentu pulang dengan membawa gagasan baru. Sementara itu, dalam retorika per se, hanya ada satu pemenang atau "bintang" dalam diskusi, apalagi debat terbuka. Silahkan para pembaca yang budiman menentukan sendiri, jalan mana yang akan dipilih. Saya sendiri masih percaya bahwa dialektika perlu (terus) diutamakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun