Pendahuluan
Enciclica Dilexit Nos adalah surat ensiklik keempat yang diterbitkan oleh Paus Fransiskus pada 24 Oktober 2024. Dokumen ini mengajak kita merenungkan pentingnya kasih Tuhan yang tak terhingga kepada umat manusia, yang ditunjukkan melalui Hati Yesus yang penuh cinta.Â
Dengan menggali tema utama mengenai kasih dan kerendahan hati, ensiklik ini bertujuan untuk mengajak umat beriman untuk lebih memahami dan menghidupi kasih Kristus dalam kehidupan sehari-hari.Â
Dilexit Nos, yang secara harfiah berarti "Ia telah mengasihi kita," mengungkapkan bagaimana kasih tersebut berhubungan erat dengan pengorbanan dan kasih yang tak terbatas, serta menyerukan untuk menanggapi panggilan Tuhan melalui tindakan kasih yang nyata kepada sesama, khususnya dalam konteks kerendahan hati dan perhatian terhadap mereka yang membutuhkan.
Bab I: Pentingnya Hati
Dari Bab I Enciclica Dilexit Nos, Paus Fransiskus mengajak kita merenungkan pentingnya simbol hati dalam mengekspresikan cinta Yesus Kristus. Hati menjadi lambang cinta ilahi yang paling dalam, khususnya di era di mana manusia sering kali terjebak dalam kesibukan dan kesenangan duniawi yang dangkal.Â
Di tengah kehidupan yang cenderung superficial ini, Paus Fransiskus mengajak umat untuk menemukan kembali makna hati sebagai pusat kasih yang tulus dan asli, yang menuntun kita pada tujuan hidup yang lebih tinggi. Dengan kembali ke hati, kita dipanggil untuk menyadari kehadiran Tuhan yang selalu mengasihi kita tanpa syarat.
Secara biblis, hati dalam Alkitab sering kali menjadi tempat penilaian niat dan pikiran yang terdalam, seperti yang tertulis dalam Ibrani 4:12, bahwa "Firman Tuhan hidup dan kuat ... mampu menghakimi pikiran dan niat hati."Â
Dalam perjalanannya bersama Yesus, para murid di Emaus pun mengalami bagaimana hati mereka "berkobar-kobar" saat Yesus berbicara kepada mereka (Luk 24:32), sebuah simbol kehadiran ilahi yang mengubah dan menguatkan. Hal ini menegaskan bahwa hati adalah pusat kejujuran, tempat di mana seseorang dapat menemukan kebenaran sejati tentang dirinya, jauh dari kepura-puraan dan penampilan luar.
Secara teologis, hati adalah inti dari seluruh pengalaman manusia, pusat yang menyatukan tubuh dan jiwa dalam keharmonisan ilahi. Paus Fransiskus menyebutkan bahwa konsep hati ini telah dihargai sejak zaman Yunani klasik, di mana dalam karya-karya seperti Iliad, hati dilihat sebagai pusat jiwa dan tempat di mana keputusan penting diambil.Â
Sebagai umat beriman, kita dipanggil untuk menjaga hati dengan waspada, seperti dalam Amsal 4:23, karena dari sanalah terpancar sumber kehidupan. Dari sini, hati menjadi dasar untuk semua rencana hidup yang sehat, mengarahkan kita pada kebenaran yang lebih dalam.
Dalam konteks spiritual, kembali kepada hati berarti menjauh dari keinginan-keinginan dangkal dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang lebih penting dalam hidup, seperti: "Siapakah aku?" dan "Apa tujuan hidupku di dunia ini?"Â