Mohon tunggu...
Saepiudin Syarif
Saepiudin Syarif Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Aki Hujan dan Danau Kecil Itu

20 September 2021   09:18 Diperbarui: 26 September 2021   19:36 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pohon trembesi| Sumber: Naufalbear via Tribunnews.com

Ada sebuah pohon super besar, tinggi, dan rindang di tepi danau kecil di kampung halamanku. Akarnya menjalar ke segala arah. Ada yang tenggelam di dalam air dan ada yang merambat di atas tanah.

Batangnya besar hingga tak bisa dipeluk oleh orang dewasa sekalipun. Perlu dua orang dewasa atau lima anak kecil untuk memeluk tubuhnya tersebut. 

"Pohon ini sudah berumur sekitar 250 tahun," cerita kakek tiga puluh tahun lalu saat kami, cucu-cucunya masih kanak-kanak. 

"Dia dipanggil Aki Hujan sebab dia adalah pohon trembesi alias ki hujan yang banyak memberi air kehidupan bagi kampung ini."

Di bawah akar yang menghujam hingga ke dasar danau tampak rongga mata air yang membuat danau kecil tak pernah kering. Ikan, katak, siput, dan bermacam fauna banyak terdapat di sana.

Kami, anak-anak kecil, sangat suka main di sana. Mencari ikan, mencari kupu-kupu, mencari cacing, berenang, bermain lumpur, bergelantungan di dahan pohon lalu meloncat ke dalam air.

Daerah sekitarnya pun hanya padang alang-alang dan tanaman perdu. Lalu dikelilingi perkebunan jagung dan persawahan penduduk. Baru kemudian perkampungan dan rumah-rumah warga. 

Pohon Trembesi alias Ki Hujan. Foto: mongabay.com
Pohon Trembesi alias Ki Hujan. Foto: mongabay.com

Aki Hujan adalah pelindung kampung kami. Menghasilkan air dan kehidupan bagi sekitarnya. Sawah dan kebun tumbuh subur. 

Hingga akhirnya datang yang namanya pembangunan. Jalan aspal dibuat. Untuk menghubungkan antar kabupaten maka kampung kami sebagian harus digusur. 

Katanya pembangunan tapi bukannya membangun malah menghancurkan. Aki Hujan dan danau kecil itu terkena gusur. 

Tak ada yang bisa menghalang meski penduduk tak setuju. Apalagi sawah dan kebun warga pun dibeli oleh pemborong. 

Setelah itu keluargaku pindah ke Jakarta. Hanya kakek dan nenek yang tinggal di kampung halaman. Menempati rumah pusaka. Tak ingin meninggalkan tanah kelahiran.

Dua tahun kemudian saat kembali menginjakkan kaki ke kampung halaman. Aki Hujan dan danau kecil itu musnah. Daerah tersebut sudah berubah menjadi jalan raya dua arah dengan pertokoan di kiri kanan jalan.

Tak ada lagi padang alang-alang, kebun jagung dan persawahan. Semua telah menjadi deretan rumah-rumah yang berdesain sama, berukuran sama. 

Tak terasa lagi kesejukan dari angin yang semilir. Tak ada lagi kesegaran dari air danau nan jernih. Yang terasa hawa panas dan membuat gerah. Yang ada kehausan di tanah gersang. 

Tiga puluh tahun berlalu. Tak ada lagi yang ingat dulu di tempat itu ada Aki Hujan sang pemberi kehidupan. Tak ada yang ingat lagi ada danau kecil yang airnya tak pernah kering. 

Kenapa manusia memusnahkannya? Kenapa manusia menghilangkan kehidupannya sendiri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun