Mohon tunggu...
Pius Novrin
Pius Novrin Mohon Tunggu... -

Kuliah di Urbaniana Roma

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konsep Tuhan dalam Agama Djawa Sunda

28 Maret 2012   03:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:22 1981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

1.Pengantar

Tuhan itu begitu misterius. Setiap agama memiliki caranya yang khas untuk mencoba mengenal siapakah Tuhan itu. Dalam makalah ini, saya ingin mengangkat konsep Tuhan dalam pemahaman Agama Djawa Sunda. Pertanyaan dasarnya adalah bagaimanakah Agama Djawa Sunda (ADS) membangun konsep tentang Tuhan? Lalu, apa korelasi antara konsep Tuhan itu dengan pokok-pokok ajaran yang dimiliki oleh ADS?

Tulisan ini terdiri dari 3 bagian. Pertama, penulis akan memaparkan latar belakang singkat mengenai ADS. Kedua, akan dipaparkan konsep Tuhan yang diyakini oleh para penganut ADS. Dan, ketiga, penulis akan melihat peran konsep Tuhan tersebut dalam pokok ajaran yang dihayati oleh penganut ADS.

2.Latar belakang singkat Agama Djawa Sunda

Agama Djawa Sunda lahir pada tahun 1848 di Gebang, Cirebon Timur. Pendiri ADS adalah Pangeran Sadewa Madrais Kusuma Wijaya Ningrat. Ia merupakan putra dari Pangeran Alibassa I, Sultan dari Kasultanan Gebang. ADS seringkali disebut juga sebagai Madraisme mengingat pendirinya yang bernama Madrais. Agama ini kemudian berkembang cukup pesat di daerah Cigugur, Kuningan. Penganutnya tersebar luas di berbagai daerah di Jawa Barat. Sekitar tahun 1940-an, tercatat bahwa anggota ADS mencapai sekitar 60.000 orang, sebelum akhirnya ADS ini dibubarkan karena dianggap melawan pemerintah kolonial. Selanjutnya, di tahun 1960-an sebagian besar anggota ADS masuk ke dalam Gereja Katolik.

Istilah “Djawa” dan “Sunda” dalam ADS tidak ada kaitannya sama sekali dengan identitas pulau atau ke-suku-an Jawa dan Sunda. Semboyan utama dari ADS adalah “andjawat lan andjawab roh susun-susun kang den tunda”. Dengan semboyan tersebut, frase “Djawa Sunda” dapat dijelaskan sebagai berikut. Kata “Djawa” adalah singkatan dari andjawat (mengambil) dan andjawab (menjawab atau melaksanakan).Sementara itu, kata “Sunda” adalah singkatan dari kata-kata Roh susun-susun kang den tunda (Roh yang tersusun-susun tertunda atau yang ada di dunia). [1]

Semboyan itu mengandung makna bahwa di dalam dunia ini, terdapat berbagai macam roh. Selain roh manusia, terdapat pula roh-roh lain yang berdiam di dalam benda dan makhluk ciptaan Tuhan seperti binatang, tumbuhan, batu, api, angin, tanah, dll. Konsep mengenai roh ini nantinya akan begitu mempengaruhi seluruh ajaran ADS berikut dengan konsep Tuhan yang dipercayainya.

Asas dan tujuan ADS adalah mengabdi kepada perintah Tuhan dan kepada perikemanusiaan. Ungkapan yang terkenal dari ADS adalah sampurnaning hirup, sajatining mati (hidup sempurna, mati sejati).[2] Manusia itu hendaknya jangan hanya hafal dan mengerti dengan akal budinya saja, melainkan juga mengarahkan seluruh tindakan dan perbuatannya kepada perintah Tuhan. Para penganut ADS memandang agama bukan hanya sebagai kepercayaan saja, melainkan lebih sebagai ukuran hidup. Dengan agama, mereka senantiasa mengukur apakah hidupku ini sudah selaras atau belum terhadap perintah Tuhan dan perintah kemanusiaan. Ukuran ini dikenakan pada setiap sir-rasa-pikir (kehendak, ucapan, perbuatan, pikiran) yang muncul. Dengan begitu, penghayatan agama tidak jatuh dalam fanatisme sempit belaka, melainkan benar-benar menjadi nafas hidup, urat nadi dalam hidup seseorang.

3.Konsep Tuhan dalam Agama Djawa Sunda

Menurut kepercayaan ADS, Tuhan itu ada dan maha pencipta, mahaesa, mahakuasa maha adil, maha pengasih dan penyayang, serta seru sekalian alam. Tuhan tidak jauh dan terpisahkan dari semua ciptaan-Nya, terutama manusia. Allah tidak berbentuk dan tidak dapat ditentukan tempat tinggalnya. Para penganut ADS memeluk paham monoteisme, tetapi mereka percaya bahwa Tuhan ada di mana-mana. Istilah “Tuhan ada di mana-mana ini” lebih mengacu pada arti bahwa Tuhan (‘Zat’ atau ‘Sawab’ atau ‘Hurip’-Nya) ada di dalam diri setiap ciptaan-Nya. Hal ini berarti di dalam manusia ada zat Tuhan, di dalam tumbuhan ada zat Tuhan, di dalam hewan ada zat Tuhan, dan di dalam benda mati pun (api, air, angin, batu, dll) ada zat Tuhan.

Menurut ADS, Tuhan disebut sebagai Gusti Sikang Sawiji-wiji (wiji berarti inti). Tuhan adalah inti kelangsungan hidup di dunia ini. Sebagai inti dari segala kehidupan, Tuhan dapat ditransformasikan menjadi daya atau energi yang sifatnya konkret. Inti tersebut kemudian tertanam dalam setiap karya ciptaan-Nya. [3]

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Hanya manusialah yang memiliki Sir-Rasa-Pikir dan Akal-Budi (rasa rumasa dan rasa tumarima), sedangkan binatang dan tumbuhan hanya memiliki naluri. Pada manusia, zat/sawab Tuhan membentuk tujuh ‘oknum’ yaitu sifat-sifat Allah dan sifat-sifat manusia: sir, rasa, roh, hurip, nyawa, cahaya, dan sukma. Sementara itu, pada makhluk lain, zat/sawab/hurip Tuhan membentuk dua sifat yakni sifat pengarahan kembali kepada asal dan sifat kodrat (sifat kebinatangan atau sifat makhluk sesuai dengan wujud dan namanya).

Manusia, dalam konsep ADS, adalah medium atau perantara yang paling penting. Sifat pengarahan kembali kepada asal yang dimiliki oleh hewan atau tumbuhan membutuhkan manusia sebagai perantara. Sebagai contoh, manusia memakan kambing dan sayur kangkung. Dengan tindakan makan tersebut, maka, kambing dan sayuran kangkung itu dapat mengarah kembali kepada asal. Dari yang tadinya berbentuk kambing/kangkung, makhluk-makhluk itu kemudian berubah wujud menjadi makanan yang menghidupi manusia. Perubahan wujud itu menandakan bahwa sifat kepada yang asali telah terjadi.

Namun, manusia sebagai media perantara, tetap harus eling dan waspada sebab sifat pengarahan kembali ke asal tersebut tidak terpisahkan dari sifat kodratnya (seperti nafsu kebinatangan, sifat rakus, semaunya sendiri). Sifat kodrat yang tak terpisahkan ini akan mempengaruhi rasa dan pikiran manusia. Sebagai contoh, manusia makan tongseng asu (anjing). Nah, dengan makan daging anjing itu, mau tak mau sifat kebinatangan anjing ikut terserap pula ke dalam diri manusia. Itulah sebabnya, menurut kepercayaan ADS, manusia memiliki perasaan, pikiran, atau tindakan jahat: suka berkelahi, melampiaskan nafsu birahi seenaknya, sikap mudah marah seperti yang terdapat dalam sifat anjing.

Masuknya sifat-sifat makhluk seperti itu ke dalam diri manusia tidak hanya terjadi melalui tindakan makan, tetapi juga melalui tindakan melihat, mendengar, meraba, meminum (air, teh, susu) dan juga menghirup (udara). Oleh karena itu, para penganut ADS memiliki pedoman bahwa Pelawangan anu lima (panca indra) adalah jembatan batin manusia.

Dengan demikian, tugas besar manusia menjadi jelas yakni menjaga diri dan membersihkan batin agar pengaruh kodrat dari makhluk-makhluk lain dapat dinetralisir. Konsep “andjawat lan andjawab roh susun-susun kang den tunda” menjadi semakin jelas. ADS mempercayai bahwa di sekitar manusia, terdapat berbagai macam roh yang dapat mempengaruhi dirinya. Oleh karena itu, manusia perlu terus-menerus mengadakan “consideratio”: memilih dan mengambil pengaruh roh-roh yang baik dan menjauhkan diri dari pengaruh roh-roh atau sifat kodrat yang buruk.

Bagaimana cara mengadakan consideratio tersebut? ADS menjawabnya dengan jalan memperteguh iman kepada Tuhan dan membuka kesadaran batin terhadap sisi kemanusiaan. ADS memberikan sejumlah perangkat norma kepada para penganutnya untuk melakukan pemilihan roh ini yakni dengan jalan triwikrama (senantiasa mengoreksi sir-rasa-pikir yang muncul dalam benak manusia). Atau, perang mandalerang sajeroning kurungan (memerangi hawa nafsu jahat dalam batinnya sendiri). Atau, wiwaha yuda negara (senantiasa melakukan pertimbangan manakala menginginkan sesuatu). Apabila manusia secara konsisten melakukan andjawat lan andjawab roh-roh yang ada di sekitarnya, niscaya manusia akan melaksanakan apa yang diperintahkan Tuhan yakni menjadi sadar akan diri, identitas, dan jati dirinya sendiri.

Pemujaan penganut ADS kepada Tuhan terjadi secara langsung yakni melalui doa, olah tapa, atau berdialog dalam batin. Dan dapat pula terjadi secara tidak langsung yakni dengan amal kasih kepada sesama, menjunjung tinggi bangsa dan negara, serta taat pada peraturan yang berlaku. Salah satu hal yang menarik dalam ADS adalah carasemedinya. Mereka menyebutnya sebagai Nyipta Sisakapura.[4] Dalam semedi itu, seseorang berusaha untuk melihat dan menghadirkan wajahnya sendiri sebagai bahan meditasi. Bentuk semedi macam ini cukup sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu, dibutuhkan kesetiaan dan kesabaran untuk dapat mencapai tingkat semedi yang khusyuk. Lagi-lagi, dalam hal ini tekanannya adalah “wajah diri sendiri”. Untuk mencapai kebahagiaan, pertama-tama orang harus mengenal dirinya sendiri serta dapat memetakan roh-roh apa saja yang mempengaruhi dirinya selama ini. Dengan demikian niscaya, manusia akan mengenal Tuhan.

4.Penerapan konsep akan Tuhan dalam pokok ajaran ADS

Konsep Tuhan yang dimiliki oleh ADS nyata tersurat dalam pokok-pokok ajaran mereka yang dikenal sebagai pikukuhtilu[5], yakni sebagai berikut. Pertama, Ngaji Badan. Ngaji berarti mengkaji, menyaring, memilih. Badan berarti segala unsur alam raya yang menyebabkan manusia ada dan hidup. Maksud dari ajaran ini adalah bahwa manusia harus selalu mampu menjaga rasa dan pikirannya agar tidak menyeleweng. Caranya adalah dengan memilih dan menimbang-nimbang gerakan batin atau kecenderungan roh yang sedang mempengaruhi dirinya. Yang baik diikuti dan yang jahat dihindari.

Kedua, Iman Kana Tanah. Iman berarti ingat atau eling. Tanah berarti asal mula kehidupan. Dengan demikian, ajaran iman kana tanah ini mempunyai maksud agar manusia senantiasa ingat akan segala unsur alam raya yang telah membentuk dirinya. Manusia memiliki keunggulan tersendiri yakni dipercaya Tuhan untuk mengolah unsur-unsur alam raya. Maka, hendaknya manusia selalu ingat kepada ‘tanah’, ingat akan ciri khas dirinya, serta mendayagunakan sumber alam yang ada sebaik-baiknya demi kehidupan manusia dan keseimbangan alam.

Ketiga, Ngiblating Ratu Raja. Ngiblat berarti mengarah, memiliki orientasi tertentu, atau menghadap. Ratu berarti yang bisa meratakan atau mengatur/menata. Alam yang harus diatur bukan saja alam raya, tetapi juga alam yang terdapat dalam diri manusia yakni sir, rasa, dan pikiran. Seringkali rasa sirik atau munafik sering mengacaukan tatanan alam manusia. Oleh karena itu, Ngiblating Ratu Raja berarti orang yang mampu meratakan atau mengatur bukan saja orang lain tetapi juga dirinya sendiri.

5.Kesimpulan

Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Agama Djawa Sunda memiliki pandangan bahwa Tuhan itu ada dan Mahaesa. “Zat” atau “sawab” Tuhan merupakan inti yang terdapat dalam setiap makhluk yang diciptakan-Nya. Namun, setiap makhluk juga memiliki sifat kodrat negatif yang tidak bisa dilepaskan dari inti/zat Tuhan tersebut.

Di sisi lain, manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara ciptaan lainnya. Untuk dapat hidup sempurna mati sejati, manusia perlu terus-menerus berusaha memilih (andjawat) dan mengambil (andjawab) roh-roh yang baik dan menjauhi pengaruh roh-roh jahat yang ada di sekitarnya. Dengan begitu, manusia akan sampai pada kesadaran akan dirinya sendiri. Lalu, kesadaran itu akan semakin mendekatkan relasinya dengan Tuhan.

Daftar Pustaka

Kristiyanto, A. Eddy (ed.). Spiritualitas Dialog: Narasi Teologis tentang Kearifan Religius. Yogyakarta: Kanisius, 2010, s.v. “Madraisme: Memapar Khazanah Rohani Agama Djawa Sunda” hlm. 173-223.

Subagya, Rahmat. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1981.

“Agama Jawa Sunda” oleh Muhamad Hisyam dalam http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/

[1] A. Eddy Kristiyanto, “Madraisme: Memapar Khazanah Rohani Agama Djawa Sunda” dalam Spiritualitas Dialog: Narasi Teologis tentang Kearifan Religius, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 177.

[2] Ibid. hlm. 192.

[3] “Agama Jawa Sunda” oleh Muhamad Hisyam dalam http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchKatalog/byId/6298 (diunduh tgl. 18 Mei 2011).

[4] Op.cit, Spiritualitas Dialog, hlm. 188.

[5] Ibid., hlm. 182.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun