Filosofi Kopi adalah novelet karya Dewi Lestari (Dee Lestari) yang berkisah tentang seorang pemuda bernama Ben. Ia seorang peracik kopi yang terobsesi ingin membuat kopi terenak di dunia. Ben memiliki sahabat sekaligus rekan kerjanya bernama Jody. Mereka mengelola kedai kopi yang mereka namai Filosofi Kopi. Novelet ini kemudian diangkat ke dalam film yang disutradari oleh Angga Dwimas Sasongko. Dalam film ini tokoh Ben diperankan oleh aktor Chicco Jerikho dan tokoh Jody diperankan oleh Rio Dewanto. Di dalam film, ceritanya masih sama seperti novelet, yakni tentang Ben yang seorang barista yang menemukan jati dirinya sebagai peracik kopi.
Sebenarnya Jodylah yang memiliki kedai Filosofi Kopi, warisan dari ayahnya. Sementara Ben adalah saudara angkat Jody. Mereka tumbuh dan bersama dalam satu asuhan, sehigga sampai dewasa mereka tetap bersama dan tetap solid. Ben bertugas meracik kopi, sementara Jody bekerja di bagian manajemennya. Suatu hari mereka dihadapkan pada masalah hutang. Jody harus melunasi hutang ayahnya yang telah meninggal dunia. Hutang yang besar itu apabila tidak segera dibayar, kedai Filosofi Kopi akan disita. Di tengah kondisi keuangan yang tidak stabil, Jody memikirkan berbagai cara untuk bisa melunasi hutang tersebut.
 Pada suatu waktu seorang lelaki, pengunjung kedai Filosofi Kopi memberi informasi bahwa ada sayembara membuat kopi terenak di Jakarta, bahkan di Indonesia. Ben tertarik dan dengan semangat mengikuti seyembara tersebut. Jody juga menyetujui hal itu, karena mereka sedang dalam masalah keuangan. Perlombaan itu berlangsung dan Ben menjadi juara serta mendapatkan uang sebesar 1 miliar. Masalah hutang pun dapat teratasi.
Suatu hari, seorang perempuan bernama El datang dan mencicipi kopi terenak buatan Ben yang diberi nama Perfecto. Perfecto inilah kopi buatan Ben yang menjadi juara dalam sayembara sebelumnya. El memberikan komentar, bahwa kopi itu tidak jauh lebih baik dari Kopi Tiwus buatan petani kopi di kampung di pegunungan Dieng. Tak terima dengan komentar El, Ben pun marah. Pasalnya Ben telah berlatih membuat kopi sejak kecil dan sempat belajar meracik Kopi di Eropa. Bertahun-tahun Ben mempelajari biji kopi terbaik dan belajar meraciknya.
Jody mencoba menghibur Ben dan meminta Ben untuk menerima kenyataan. Jody pun menjelaskan bahwa El adalah seorang ahli tanaman kopi dan sedang menulis buku tentang kopi terenak di dunia. Dengan kata lain pedapat El memanglah benar. Ben mulai tenang dan mengajak Jody beserta El membuktikan hal tersebut dengan menemui petani kopi yang membuat Kopi Tiwus. Petani itu bernama Pak Seno, seorang petani kopi yang mendedikasikan hidupnya untuk tanaman kopi. Dari pembibitan, menanam, merawat, memanen bahkan mengolah biji kopi dan menjual kopi di warungnya.
Ketika sampai di rumah Pak Seno, Ben dengan sinis menanyai Pak Seno perihal pembibitan sampai tahap penyeduhan Kopi Tiwus. Ben sangat tertarik dengan rahasia Kopi Tiwus. Â Pak Seno pun mulai memperkenalkan biji kopi hasil dari kebunnya. Beliau pun mulai meracik kopi dengan peralatan sederhana. Mulai mengsangrai kopi, hingga menumbuknya menjadi bubuk kopi. Â Kemudian Kopi Tiwus diseduh dan dihidangkan. Ben dan Jody pun mencicipi. Ben dan Jody saling bertatapan. Mata mereka saling memandang dan seolah ingin mengatakan: SEMPURNA. Kopi Tiwus memang lebih baik dari perfecto buatan Ben. Dengan perasaan kesal dan menyerah, Ben ingin menyerahkan uang 1 miliar kepada Pak Seno, karena beliaulah peracik kopi terbaik di dunia.
Dari film ini, saya menangkap pesan tentang mimpi dan dedikasi seseorang terhadap sesuatu, yakni Ben dan Pak Seno yang sama-sama mencintai kopi. Namun yang menarik adalah ketika Ben mengetahui bahwa kopinya bukanlah kopi terenak di Indonesia. Kopi Tiwus buatan Pak Senolah yang terbaik. Ada dua hal yang menarik di sini, pertama adanya kesenjangan pengolahan kopi antara Ben yang mewakili modernitas dan Pak Seno dengan alat-alat sederhananya yang mewakili tradisional. Kedua, cita rasa kopi memang dapat ditentukan dengan metode meraciknya, namun di sisi lain cita rasa kopi merepresentasikan tempat/ tanah kopi itu tumbuh dan dirawat dengan baik.
Mula-mula saya tertarik "membaca" film ini dengan pendekatan psikoanalisis, yaitu kejiwaan Ben yang terobsesi kopi. Namun, saya menemukan pendekatan yang lebih baik, yakni poskolonialisme. Pandangan Ben yang terlalu teoritik tentang kopi merupakan cermin dari westernisasi atau kebarat-baratan. Ben memandang ilmu yang diperoleh dari Eropa dalam menyeduh kopi dengan peralatan canggihnya tak mungkin terbantahkan oleh ilmu petani kopi di kampung. Sebaliknya, Pak Seno masih menyangrai dengan wajan tanah liat, menumbuk di lesung kayu, dan menyeduh begitu saja dengan ketel yang berisi air mendidih. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cara-cara tradisional pun masih bisa digunakan dalam dunia yang serba modern ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI