Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Tidak Ada Tuhan dalam Misa Online

9 November 2021   22:16 Diperbarui: 9 November 2021   22:24 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guna mempertegas gagasannya, Beraf kemudian menggunakan contoh lain yang diambil dari aktivitas masyarakat di Lio, Flores, Nusa Tenggara Timur. Di Lio, masyarakat setempat menggelar ritual adat tahunan yang disebut keti uta (memanen sayur). Pesertanya adalah mosalaki (pemimpin suku) dan ana kalo fai walu (anggota suku). Selama ritual, mosalaki dan ana kalo fai walu diwajibkan dan diikat oleh hukum adat mereka. Partisipasi mereka menegaskan baik hubungan di antara mereka atau hubungan mereka dengan Du'a Ngga'e (Yang Mahatinggi). Penduduk desa yang tidak termasuk suku atau yang hanya ditugaskan di desa itu dapat berkontribusi, misalnya dengan menyumbangkan beras atau mendirikan tenda, tetapi mereka tidak diperbolehkan untuk berpartisipasi. Mereka hanya ana tua embu nona (simpatisan). Praktik tradisional seperti itu cukup untuk menunjukkan perbedaan antara peserta dan simpatisan atau antara selebran dan penonton atau antara ritual dan kontribusi. Oleh karena itu, perayaan yang disiarkan langsung bukanlah ritual nyata, hanya tontonan. Mungkin menarik banyak pengikut, tetapi pengikut hanya penonton, bukan peserta.

Gagasan Beraf tentunya menarik namun pada saat yang sama dapat disebut naif karena menutup mata terhadap konteks sejarah yang sedang terjadi. Perlu diketahui bahwa elemen umum dalam semiotika Polanyi dan teologi simbol Chauvet adalah bahwa kedua pendekatan tersebut memandang simbol sebagai mediasi pengakuan dalam komunitas atau dunia sosial. Lebih jauh, pengakuan tersebut membangkitkan partisipasi dan memungkinkan individu atau kelompok untuk mengorientasikan diri sesuai dengan identitas dan tempat mereka berada yang mencakup konteks historis dan segala dinamikanya.

Mengikuti Gino Stefani, bahwasannya ekaristi sebagai tindakan liturgis diramu dalam ansambel tanda atau simbol, nilai dominannya harus terletak pada tatanan makna. Tujuan dari aktivitas simbolik, menurut Polanyi dan Chauvet bukan untuk memberikan informasi tetapi integrasi. Bukan soal panduan ritual yang didapat melalui tontonan, melainkan bagaimana jemaat diintegrasikan dalam perayaan. Untuk memahami bagaimana jemaat yang berkumpul dapat dimampukan untuk mengenali dirinya sendiri sebagai kehadiran Kristus, pendekatan yang berguna adalah mempelajari aktivitas simbolisasi yang mungkin memediasi pengakuan itu. Lebih jauh lagi, jika, seperti yang ditekankan Chauvet, semua realitas dimediasi, jaringan simbolis yang dibentuk oleh ritual adalah tempat di mana para anggota jemaat yang berkumpul mengorientasikan diri mereka dalam ruang dan waktu dan menemukan identitas mereka dalam hubungan dengan Kristus dan satu sama lain.

Kesimpulan

Persoalan menyangkut Misa Online di era New Normal ini akhirnya membuat kita sadar bahwa berteologi sakramental perlu melibatkan beberapa pendekatan filosofis kontemporer, termasuk semiotika. Paus Fransiskus sendiri mengimbau bahwa hidup setelah pandemi tidak seharusnya membuat kita bergantung pada pendekatan teologi Skolastik yang normatif. Bahkan, di bidang sakramen, pendekatan multi-metodologis perlu diberikan karena realitas sakramental itu sendiri merupakan masalah yang sangat kompleks yang melibatkan sejumlah dinamika dari berbagai dimensi baik kehidupan manusia maupun kehidupan ketuhanan. Di sini terdapat pergeseran dari berpikir tentang sakramen sebagai objek yang memberikan rahmat menjadi sebuah peristiwa relasional perjumpaan antara Allah dan umat manusia. Penerapan pemahaman Polanyi dan Chauvet membantu kita dalam mengeksplorasi pemahaman tentang kehadiran Kristus bukan seperti yang diistimewakan dalam rupa roti dan anggur yang kudus, tetapi seperti yang dirasakan dan dilambangkan oleh dan di dalam jemaat liturgi yang kendati dipisahkan oleh ruang namun sama-sama telah memenuhi kontrak sebagai manusia-manusia yang telah dibabtis. Disinilah, menurut Chauvet, katakese umat sangat diperlukan dalam sosialisasi teologi sakramental agar pemberian informasi dapat membantu dalam proses integrasi.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun