Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jetika Hawa dan Yesus Berjumpa

24 April 2021   09:59 Diperbarui: 24 April 2021   10:06 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak ada tempat dalam tradisi Kristen bahwa hubungan antara Yesus dan Hawa dibuat lebih eksplisit daripada dalam ikon kuno dan cerita petualangan Sabtu Suci yang penuh teka-teki yang dikenal sebagai "The Harrowing of Hell".

Dalam ikon The Harrowing of Hell, Yesus yang berwajah kuat dan kekar berdiri di depan pintu masuk Neraka. Dia berdiri kokoh dengan kaki terentang lebar, tetapi pada saat yang sama dia tampak bergerak saat jubahnya mengembang megah di sekelilingnya dan masing-masing tangan memegangi pergelangan tangan seorang wanita dan seorang pria. Hawa dan Adam.

Sikap Yesus, bahkan kejantanannya yang tersirat, cenderung berbeda dari ikon-ikon selama berabad-abad. Yang berbeda adalah bagaimana Hawa dan Adam berinteraksi dengan Yesus. Dalam buku, Resurrecting Easter: How the West Lost and the East Keep the Original Easter Vision , John Dominic dan Sarah Sexton Crossan mengamati perpindahan tangan Yesus, Adam dan Hawa pada ikon-ikon sepanjang waktu. Dari ikon-ikon yang mereka teliti, belum pernah ditemukan Yesus sedang memandang langsung Hawa, atau mereka jelas-jelas saling memandang. Tradisi panjang yang menggambarkan Hawa dan Tuhan saling memandang (penciptaan Hawa), membuat kita kewalahan oleh seni Kristen yang menunjukkan Tuhan dan Hawa terangkat dalam tatapan cinta dan kerinduan.

Dalam penggambaran tersebut, Hawa bahkan dalam keadaan lemasnya tampil menanggapi dengan 'ya' untuk Tuhan yang memanggilnya. Selalu mereka menjangkau satu sama lain, dan Allah menyentuh Hawa. Allah yang penuh kasih yang menciptakan dan Putra Allah yang penuh kasih yang menyelamatkan ini adalah kebenaran dasar isah Kristen, kebenaran yang tidak boleh kita lupakan karena kita terlibat tidak hanya lebih dalam, tetapi lebih radikal, dengan cerita Hawa.

Saya menggunakan kata 'secara radikal' karena ingin menyoroti bagian dari kisah Hawa yang terlalu sering dilupakan, (putra Allah, putra Manusia, putra Adam, putra Daud, dan putra Maria), yakni asal-usul Yesus sebagai putra Hawa. Suatu saat di abad kedua atau ketiga, seorang pengkhotbah anonim mengakui Yesus adalah keturunan Hawa, dan memasukkannya ke dalam sebuah cerita "Turunnya Tuhan ke dunia bawah".

"Dia telah turun membebaskan kesedihan para tawanan Adam dan Hawa, dia yang adalah Tuhan dan putra Hawa." Homili selanjutnya adalah dialog antara Adam dan putra Hawa ini, yang kemudian 'memegang tangan [Adam] dan mengangkatnya'.

Dalam doanya, Ignatius Loyola meminta kita membayangkan bahwa orang pertama yang ditemui Kristus yang bangkit adalah Maria, ibunya, tetapi sebelumnya Dia melakukan perjalanan ke dunia bawah:

"Setelah Kristus mati di kayu Salib, tubuhnya tetap terpisah dari jiwa tetapi selalu bersatu dengan keilahian. Jiwanya yang terberkati juga bersatu dengan keilahiannya, turun ke Neraka. Dari sana Dia melepaskan jiwa-jiwa orang benar; kemudian, kembali ke kubur dan bangkit kembali, Dia tampak dalam tubuh dan jiwa kepada Bunda yang diberkati" (Spiritual Exercises 219).

Jika kita membayangkan bahwa orang pertama yang ditemui dan dilepaskan oleh Yesus adalah Hawa. Dan sama seperti kita membayangkan perjumpaan Yesus dengan ibu-Nya, kita dapat membayangkan perjumpaan-Nya dengan Hawa. Tetapi ada hambatan, Hawa telah, dan terus memiliki, jangkauan yang jauh lebih luas daripada Maria.

Pengaruh kuat yang masih dipegang oleh kisah Hawa atas kita sudah sangat familiar. The Guardian baru-baru ini memuat artikel di mana Rebecca Solnit membahas serentetan item berita terkini tentang kekerasan terhadap perempuan. Artikel tersebut memiliki subjudul "When men harm women, we obscure their role. Instead, we blame women for the injustice that happens to them", dan tidak mengherankan Solnit membawa cerita Hawa Perjanjian Lama, sebagai kontributor kuno untuk penyakit wanita saat ini. Dalam kumpulan esainya dua puluh tahun lalu berjudul, As Eve Said to the Serpent: On Landscape, Gender, and Art, Solnit juga merenungkan tentang Hawa:

"Bayangkan Hawa sebagai salah satu dari sedikit ilmuwan yang mendiskusikan konsekuensi jangka panjang dari tindakannya sebelum dia memulai eksperimen makan apelnya. Bayangkan apa yang mungkin dia dan ular itu katakan satu sama lain tentang bagaimana mereka menjadi simbol kambing hitam, tentang bagaimana mereka akan diwakili dan disalahartikan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun