Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Politik Pemuridan

27 November 2020   07:28 Diperbarui: 27 November 2020   07:37 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.amazon.com/Politics-Discipleship-Becoming-Postmaterial-Postmodern/dp/0801031583

Kemarin malam (Rabu/26/11/20), saya mengikuti talkshow PNC yang dipresentasikan oleh dua saudara saya, Adris dan Melki. Mereka bercerita tentang agama dalam ruang politik, khususnya di NTT. Tema yang mereka ambil menarik, keterlibatan kaum hierarki dalam panggung politik. Diskusi yang berlangsung kurang lebih sejam sangat memperkaya. Ada perdebatan, afirmasi, penyangkalan data, dan sebagainya. Maklum, hampir semua audiens orang muda, suka mempertanyakan segala sesuatu. Bagi saya, ini sinyal yang baik, bahwa orang muda memiliki kecemasan politik. 

Saya ingat, saat Februari di tahun kemarin kala fokus membaca sumber-sumber tugas akhir. Di antara buku yang saya baca, karya Graham Ward, profesor teologi dan etika Universitas Manchester, The Politics of Discipleship, menjadi faforit. Buku yang terbit di tahun 2009 tersebut, kala itu, membawa saya ke dalam permenungan yang dalam.

Ward menggarisbawahi bahwa "Tidak ada jawaban apakah Yesus mencintai demokrasi, atau bahwa Yesus dan CheGuevara memiliki visi politik yang sama, atau bahwa Injil mendukung kebutuhan politik untuk hierarki dan kediktatoran" (262). Apa yang dibuat Ward adalah untuk menegaskan bahwa kita perlu mengambil jeda dan memerhatikan apa yang sebenarnya terjadi dalam konteks perubahan ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi. Ini bukanlah usaha membuat Gereja lebih politis, sebaliknya, dia mencatat, "orang yang saya kenal di Gereja cenderung lebih sadar dan terlibat secara politik daripada kebanyakan orang" (18).

Politics of Discipleship mengkaji "Dunia" dalam istilah "krisis demokrasi", globalisasi dan pasca-sekularitas: visibilitas baru agama. Ward meneliti Gereja dalam istilah "Kota dan perjuangan untuk jiwanya", "metafisika tubuh" dan "politik elektoral". Ward berpendapat, pemuridan politik di dunia pasca-segalanya membutuhkan "metafisika teologis nilai-nilai post-materialis".

Bagi saya, karya Ward adalah analisis teologi filosofis yang berat, menyingkap visi metafisik yang menipu, yang mendorong pandangan neo-liberal tentang individualisme, perdagangan bebas, pasar, dan globalisasi. Kritiknya terhadap konsumerisme dan politik yang berorientasi media dengan dimensi virtual menyingkapkan promosi "mitos tubuh yang terbebas dari batasan waktu dan ruang" (66) yang pada gilirannya merongrong nilai-nilai sosial. Selain itu, Ward juga mengingatkan bahwa "Di mana warga negara sebagai pelanggan atau klien hanya diminta untuk puas dengan layanan yang diberikan, ada depolitisasi yang merajalela yang membahayakan demokrasi" (153). Musuhnya adalah "depolitisasi: saat masyarakat beralih menuju dunia hiburan dan estetika dangkal".

Dalam ranah teologi, Ward berfokus pada makna Ekaristi dari kata-kata Yohanes, "Dia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam Dia" (203). Dari Yohanes, Ward beralih ke teologi Paulus tentang tubuh untuk "meletakkan soma kembali ke sarx" dan memastikan bahwa tubuh adalah makna yang fluktuatif. Sayangnya, perbandingannya dengan Hegel, bagi saya, terlalu Lutheran, terlalu berorientasi pada pekerjaan Penyaliban--- dengan "metafisika tubuh politik" Santo Paulus.

Patut kita tahu, The Politics of Discipleship berakhir mengagumkan, menyentuh analisis kebaikan bersama dan menjadi anggota Tubuh Kristus (254) tetapi pada saat yang sama beralih ke praktik umum yang dijabarkan dalam instruksi Injil Matius: "Memberi makan yang lapar, memberi minum kepada yang haus, memberi pakaian yang telanjang, mengunjungi mereka yang di penjara dan menyambut orang asing". Tindakan-tindakan ini, tegas Ward, "membentuk Tubuh Kristus"---  dia menyebutnya sebagai "praktik harapan transformatif": praktik yang menolak dehumanisasi , dematerialisasi, dan depolitisasi.

Akhirnya, hemat saya, Ward mengarahkan kita untuk mengikuti Kristus melalui doa, yang ia gambarkan sebagai "tindakan paling politis yang dapat dilakukan oleh orang Kristen mana pun" (276), karena "hanya dalam doa, disiplin mendengarkan dikembangkan". Ini bukanlah aktivitas mementingkan diri sendiri  karena dalam doa: 'Aku dan Roh di dalam diriku yang berdoa'; 'Kristus di dalam diriku mengganggu individu yang tercerai-berai, melepaskan dia dari perintah, membuka diri hingga tak terbatas kepada apa yang disebut Tuhan'.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun