Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Agama dan Alam Politik

19 November 2020   06:59 Diperbarui: 19 November 2020   07:04 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.hidupkatolik.com/

Bagaimana agama dan politik saling berhubungan? Haruskah mereka sepenuhnya terpisah? Atau adakah cara di mana agama dan politik saling memengaruhi? Ninian Smart mengidentifikasi sejumlah cara di mana agama berhubungan dengan politik. 

Baginya, agama berinteraksi dalam berbagai cara dengan negara-bangsa, yang sekarang menjadi konsep yang relatif homogen di seluruh komunitas global. Konsekuensinya banyak agama merupakan kekuatan dunia yang kuat dan memengaruhi politik internasional. 

Selain itu, konflik agama dapat meningkatkan perpecahan di dalam dan antar negara bagian (meski menurut saya, Smart juga gagal menambahkan agama dapat membantu menyembuhkan perpecahan semacam itu) dengan melegitimasi aksi politik. 

Tidak hanya itu, di beberapa negara, terdadap partai-partai agama secara langsung, yang memengaruhi politik elektoral termasuk perilaku para pemimpin politik.

Dalam artikel ini saya akan fokus pada dinamika 'Negara-Gereja'. Negara-bangsa modern klasik, sebagaimana berkembang di Eropa abad XIX, didasarkan pada bahasa dan budaya. Sampai dan bahkan setelah Reformasi, Gereja di Eropa adalah kekuatan sipil yang besar. 

Reformasi memecah-belah agama Kristen, sekaligus meningkatkan potensinya sebagai sumber konflik politik. Misalnya, doktrin Cuius regio eius religio, para penguasa dapat memasukan rakyatnya ke dalam perang guna mempertahankan dan mempromosikan keyakinan agama mereka sendiri--- "kedok ambisi politik".

Katakanlah Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648). Di satu sisi, perang itu adalah konflik agama Protestan dan Katolik; di sisi lain perang berasal dari persaingan dinasti Hapsburg (Austria, Hongaria, Jerman) dan kekuatan lain (Prancis, Spanyol, Bohemia, Denmark). 

Bayangkan, Tiga Puluh Tahun perang menghasilkan angka kematian di Jerman sekitar 20%. Tampaknya tidak dapat ditoleransi, perbedaan agama menghidupkan pembantaian seperti itu. 

Sebagai reaksi, prinsip pemisahan Gereja dan Negara menjadi menonjol di Eropa. Gereja dianggap memusuhi kebebasan esensial manusia, terutama kebebasan berpikir. Bagi saya, penolakan Gereja selama beberapa abad atas ekspresi sosial dari prinsip ini merupakan tragedi sejarah yang signifikan.

Sebagai contoh, saya mengutip dalam mode prinsip lacit Prancis: "Negara tidak mencampuri urusan internal agama, dan agama tidak ikut campur dalam penyelenggaraan negara. Prinsip ini menjadi fundamental dalam demokrasi Eropa. Lembaga negara harus telanjang dari simbol-simbol agama".

Dalam karyanya L'Avnement de la dmocratie (1999), Robert Legros mencatat, "Negara tidak dapat mengizinkan perantara komunal antara dirinya dan warga negara yang dengannya warga negara akan melepaskan kebebasan individu" (70). Menanggapi Legros, teolog Prancis Paul Valadier berpendapat, model pemisahan Gereja-Negara Prancis cenderung menjadi model kuno dan 'angkuh'. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun