Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Monyet

18 November 2020   06:59 Diperbarui: 18 November 2020   07:07 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://intisari.grid.id

"Apakah ia memiliki cinta? Tidak. Ia tak pernah mencintai siapa pun. Tak ada burung pelatuk lain yang menarik perhatiannya. Ia burung tanpa cinta. Jika ada cinta, itu hanya cinta kepada pekerjaannya mematuki batang pohon. Tak lebih. Bagi makhluk lain, apa yang dilakukannya terlihat menyedihkan. Tapi siapa kita sehingga berhak menghakimi perasaan makhluk lain?"

Ini adalah salah satu kutipan dari Novel kang Eka Kurniawan, "O". O itu nama seekor monyet dengan hasrat kuat menjadi manusia. Tapi saya ingin meninggalkannya di sini. Kalau aku membaca novel O, aku akan teringat tentang kisah kelahiran dua puluh empat tahun silam, "Dengan wajah mirip monyet", kata ibuku dulu.

Ibu memang pandai mendongeng, dan mungkin dongeng kesukaannya adalah kisah kelahiran anak monyet ke dunia, aku sendiri. Namun setiap kali cerita itu dikisahkan, selalu muncul dalam hatiku perasaan tak suka, "Mengapa aku tak mati saat lahir".  

Mukaku yang mirip monyet, kata ibuku, karena waktu lahir, tubuhku sangat kecil dengan rambut yang lebat, sehingga harus mendapat perawatan intensif di RS dengan banyak selang di tubuh. 

Kepala belakangku sedikit pelat, dan bekasnya masih ada. Bayangkan, aku baru pertama kali menggunting botak, ketika tahun 2015, saat usia sudah barang remaja.

Namun ada cerita lain lagi. Kakak sulungku selalu cerita, kalau kelahiranku bersamaan dengan sakratulmaut dari Mama Uli, adik dari ibu. Dia seorang bisu-tuli yang pandai membuat kerajinan tangan. 

Sewaktu Mama Uli dan aku bertempur melawan kematian yang niscaya, kakakku berdoa: "Sebaiknya ambil adik saya, dan sembuhkanlah Mama Uli!" Alasannya masuk akal. Mama Uli sudah hidup bersama mereka lama. Kakaku yang saat itu masih remaja, tentu berdoa demikian dengan keputusan afeksional. 

Lambat laun, kisah sejarah kelahiran ini kemudian menjadi mitos keluarga dan diceritakan setiap kali aku ada di tengah-tengah mereka. Kendati menjadi bahan tertawaan, tapi kalau dipikir-pikir, aku kerap memaki diri sendiri, "Anak sial," gerutuku dulu. 

Dan ibuku selalu menjadi saksi bagaimana sumpah serapah ini kukidungkan. Setiap kali makian ini muncul, ibu selalu berpesan, "Pergilah jauh. Jauh dari tempat ini." Sampai saat ini, nasehat ibu masih kukenang.

Kembali pada cerita tentang monyet. Aku memang bertumbuh bagai monyet. Suka berkelana dari satu pohon ke pohon yang lain. Tapi monyet yang satu ini luar biasa. Walau masih kecil, daya tangkapnya luar biasa. Aku bahkan mampu menhafal bahan bacaan apa saja, cerita apa saja, bahkan kejadian apa saja. Semuanya tidak luput dari ingatan. 

Di bangku SD saya pernah mendapat penghargaan dari Ibu On Karvalo karena bisa mendongeng tentang Kain dan Habel dengan sangat baik. Bahkan, Ibu Lusia Duka, Istri dari Bapa Bungsuku, banyak mengagumiku karena daya tangkapku yang jauh lebih kuat dari kakaku yang ketujuh. Aku masuk SD dengan usia yang belum cukup. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun