Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Blessing in Disguise: Pergerakan Intelektualitas Indonesia Era Digitalisasi

15 Mei 2019   10:57 Diperbarui: 15 Mei 2019   11:04 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tulisan ini bertitik tolak dari dimensi sejarah. Alasannya, krisis dalam sektor pendidikan akhir-akhir ini kerap disebabkan oleh analisis yang seolah-olah terlepas tegas dari sejarah masa lampau. Tak heran, sering kita jumpai banyak pengertian yang terpisah dari subjek berkat interpretasi yang salah konteks[1].

  • Indonesia dalam Catatan Awal 

 Bersamaan dengan terbitnya buku Indonesian Political Thinking di tahun 1970, para            pengkaji bidang politik dan masyarakat Indonesia untuk pertama kalinya disuguhi      suatu rentangan luas koleksi tulisan-tulisan dan pidato para politisi dan cendekiawan   terkemuka dari periode pasca-1945. Saat kemunculan buku tersebut bukanlah suatu    kebetulan: nyata-nyata mencerminkan suatu pertumbuhan minat akademis pada wacana       ideologi dan politik Indonesia[2].

Tulisan Benedict R. O'G Anderson seperti yang dikutip di atas merupakan salah satu hipotesa pergerakan lamban dinamika akademisi masyarakat Indonesia dari sudut pandang politik. Peneliti berdarah Anglo-Irlandia ini cukup memahami dimensi sosiologis Indonesia, yakni adanya kerekatan antara politik dan pendidikan. Di zaman diktatoris Orde Baru pendidikan dijadikan sebagai legitimasi, bahkan 'anak angkat' yang tak boleh membangkang pada orang tua, Diam! 

Di samping itu pengalaman sejarah membuktikan bahwa bukan hanya Indonesia, Eropa pun demikian; kepentingan politik sering parasit pada pengetahuan. Padahal jika merunut pada sejarah, justru kongsi daganglah yang terlanjur menjadi lampu ajaib penyulapan wacana pengetahuan menjadi peristiwa baku, bisa dilihat, dibaca sekaligus diinterpretasi. Gambaran ini cukup paradoksal kala memasuki zaman modern probabilitas perkembangan teknologilah yang nyatanya membentuk jaringan atau akses masuk bagi pengetahuan untuk berjumpa dengan wacana materialisme maupun non-materialisme.

Kelemahannya, pengakuan tersebut terselubung dalam term-term abstrak: rasionalitas, objektivitas, totalitas, strukturalisasi, sistematisasi dan sebagainya[3]. Baru di era post-modern, transparansi teknologi diakui sebagai yang melengkapi serta membantu dalam perkembangan ilmu pengetahuan, gambaran yang holistik[4].

Anderson lalu menambahkan soal kronologis waktu 'Tahun 1970 dan Pasca 1945'. Ke dua data ini tidak hanya mempengaruhi Indonesia dalam ranah politik tetapi juga dalam pendidikan. Peristiwa yang patut dikenang adalah sebelum kemerdekaan 1945 adalah periode kolonialisasi, dan sebelum tahun 1970 terdapat ketegangan Orde Baru menuju Reformasi yang terjangkar dalam peristiwa G30S/PKI. Kemungkinan besar, pro-contra pergerakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia mendapat penempaannya dalam kisah bersejarah ini.

Dua peristiwa ini kendati berbeda judul, kisah maupun jarak waktu namun similaritas mereka justru mencuat kental dalam wacana anti-Barat. Pertanyaannya pertimbangan apakah yang dapat digunakan untuk menerima blessing in disguise dari tawaran ilmu pengetahuan yang senantiasa beradaptasi dengan perkembangan IPTEK, yang dalam bahasa rakyat 'ke barat-baratan'?

  • Pergerakan Ilmu Pengetahuan: "Timur ke Barat, Barat ke Seluruh Dunia"

Sejarah identik dengan tulisan. Melalui tulisan, nadi sebuah peristiwa dapat dideteksi dalam wacana peradaban manusia. Memang sulit menentukan fondasi awal sebuah sejarah wacana manusia dimulai, dirumuskan, diendapkan dan dikumpulkan ke dalam pusat penelitian ilmu pengetahuan. Bisa jadi sejak zaman Platon, karena darinyalah kita mengenal sebuah sekolah di Alexandria, Academia. 

Uniknya, pengenalan tersebut baru 'dianggap' berarti setelah ilmu pengetahuan Timur masuk ke dunia Barat abad XII dalam terjemahan bahasa Arab. Dari pergerakan ke Barat inilah terjadi sebuah transformasi yang revolusioner, Barat menjadi fajar intelektualitas.

Pada abad XIV, Geoffrey Chaucer (1340-1400), seorang pujangga Inggris menerbitkan bukunya The Canterbury Tales. Buku tersebut amat bernilai bagi sejarah pergerakan intelektualitas Italia (abad XII-XV) dan Eropa bagian Utara yakni Paris. Chaucer dengan terbuka mengakui hutang bangsa Barat atas penemuan kembali teks-teks Yunani Kuno yang adalah deposito kekayaan intelektual Eropa.

Pengaruh warisan Yunani dan kalangan pedagang Arab ini, mempengaruhi perkembangan intelektualitas kaum sarjana abad Pertengahan sampai kaum humanis pada abad XV dan XVI[5].

Timbulnya kekuatan bangsa Turki memboycott jalan-jalan perdagangan, kemudian dikenang oleh Marco Polo sebagai ziarah penemuan kebudayaan Timur ke Barat. Ibaratnya sebuah diplomasi politik, setelah Barat merasa mumpuni untuk independen dan setelah jalan Timur dibuka kembali, dengan cepat sebuah ekspansi westernisasi dimulai, one fifth of the entire European Population. Sadar atau tidak, term dunia baru dan penetapan sumber-sumber Barat inilah yang merupakan latar belakang dari kata Globalisasi[6].

Memasuki abad XII, karya-karya Yunani terjemahan Arab sudah merambah sampai ke Barat. Dalam rentan waktu inilah, Gerard dari Cremona (1114-1187) berusaha untuk me-latin-kan warisan Yunani dalam bahasa Arab tersebut. 

Selain Gerard, ada pula Aderard dari kota Bath yang kemudian menyamar menjadi seorang mahasiswa Muslim untuk dapat belajar di Universitas Islam di Cordoba, Spanyol. Pada abad XV, sebagian besar sarjana Eropa mulai mengerjakan sendiri penerjemahan naskah-naskah Yunani Kuno; kamus-kamus besar dikumpulkan demi pemaksimalan penerjemahan dari bahasa Yunani, Hibrani dan Arab.

 Ilmu pengetahuan ibaratnya dinamit yang tak bisa dimampat apalagi dikekang. Ia benih yang tumbuh di dalam rawa, sulit diprediksi, namun bergerak di bawah lumpur antropologi manusia. 

Perebutan Konstantinopel oleh Turki di tahun 1453 mengakibatkan kekayaan perpustakaan Konstantinopel menyebar ke seluluh wilayah Eropa dengan ditunjang oleh penemuan mesin cetak. Pada abad-abad ini perkembangan ilmu pengetahuan masih berjalan dalam kontrol ketat agama[7]. Injilpun baru pertama kali dicetak tahun 1454.

  • Revolusi Ilmu Pengetahuan dalam Teknologi

         Menarik bahwa sampai pada abad XVI tambahan data ilmiah ke dalam perpustakaan bukan hanya golongan sarjana, melainkan juga para tukang, dokter, ahli bedah dan bahkan pelancong serta pelaut. Indikasinya bahwa teori-teori dari para pemikir dalam situasi ini tidak cukup adekuat karena tanpa eksperimen.

Galileo Galilei adalah figur pertama yang menggunakan metode eksperimen, yakni teleskop untuk ilmu astronomi. Perlengkapan ilmiah semisal teleskop ini tercipta berkat ko-kreasi antara saintis dan pertukangan dengan tujuan komersial. 

Tidak heran jika pada zaman itu, banyak mahasiswa sejarah yang berguru pada para pedagang dan ahli tukang. Para tukang yang pandai dalam perdagangan barang-barang kimia, membuat logam dari praktek pertambangan termasuk cara pemurnian, pemanasan dan pencampuran yang di kemudian hari dipakai oleh ahli kimia dan ilmu alam. Merekapun menemukan alat-alat khusus yang digunakan sebagai sarana untuk mengetahui bahan kimia dalam suatu campuran.

 Kemajuan di bidang teknologi memungkinkan terciptanya kaca dan pengasahan lensa. Dalam periode ini munculah sosok ulung Leewenhoek (1632-1723) yang menemukan mikroskop untuk menemukan bakteri dan benih sperma. Galileo Galilei dan Leewenhoek adalah representasi para penemu yang keberhasilannya ditentukan oleh perkembangan teknologi.

Probabilitas dari perkembangan teknologi rupanya menciptakan masyarakat manusia yang semakin berilmu. Memasuki abad XVII, majalah-majalah mulai diterbitkan sedang universitas-universitas masih bersikap konservatif. Ilmu pengetahuan justru berkembang lebih pesat di luar lingkungan universitas. Rangsangan berlanjut berkat minat kaum terpelajar dan orang-orang kaya yang lalu mendirikan Royal Society di Inggris (1662), Academie des Sciences di Perancis (1663) dan Accademia dei Lincei di Roma (1603). 

Usaha-usaha ini memberanikan negara-negara lain untuk mendirikan organisasi ilmiah dan mengumpulkan itu di sebuah pusat kajian ilmu[8]. Lambat laun perkembangan ilmu pengetahuan dengan diantarai oleh perkembangan teknologi menembusi cakrawala Indonesia.  Maka sebetyulnya tanpa teknologi ilmu pengetahuan hanya menjadi mutiara di dasar laut dan harta yang tersembunyi di ladang. Begitupun sebaliknya, tanpa pengetahuan teknologi hanya menjadi rumah tanpa fondasi.

  • Blessing in Disguise: Merunut ke belakang Sejarah Indonesia

Indonesia adalah negara yang cukup terbelakang dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Fenomena ini tidak dikarenakan Indonesia negara yang baru merangkak kala Eropa telah tahu berjalan, melainkan ada sebuah penolakan tersirat yang dipengaruhi oleh pengalaman era penjajahan dan masa Orde Baru. Penulis cenderung berasumsi bahwa periode kolonialisme dan Orde Baru merupakan cerita dalam satu judul bahkan episode yang saling melengkapi. Bila kita berada dalam ketegangan ini, maka pastilah disadari bahwa gerakan intelektualitas di Indonesia tidak semudah menebar jala.

 Dalam era kolonialisme, masyarakat Indonesia sulit mengembangkan intelektualitas mereka. Sekolah hanya diperuntukan bagi kulit putih, Indo atau pribumi yang memiliki forum privilegiatum. Artinya, tujuan pokok pembelajaran adalah demi perkembangan dan pertumbuhan Hindia Belanda. Masyarakat Indonesia bahkan teralienasi dari kebudayaan dan bahasa mereka sendiri. Sekolah dan pelajarannya adalah Belanda dan demi Belanda, Geneeskunde Hoogeschool di Batavia (1927), Technische Hoogescholl di Bandung (1920), Rechtshoogeschool di Batavia (1924), dan Fakulteit van Letterkunde di Batavia (1940)[9]. Indonesia pada zaman itu juga dijajah dalam kebudayaan dan gerak riuh intelektualitas.

Pasca kemerdekaan mengakibatkan kelelahan dijajah oleh Barat. Tak heran jika seruan anti Barat terus dikumandangkan oleh tokoh proklamator Sukarno yang berimbas pada tragedi kemanusiaan 1965-1966. Yang menarik, jika pada zaman kolonialisme dinamika intelektualitas berada dalam jajahan Belanda dalam artian melayani Hindia Belanda, maka dalam masa Orde Baru ilmu pengetahuan justru dipakai untuk melayani aparat militer bahkan sebagai legitimasi aksi kekerasan G30S/PKI. Yang disayangkan, lagi-lagi 'donatur' utama dalam era Orde Baru adalah Amerika Serikat[10]. Hasilnya jelas bahwa percaturan dunia Barat amat sangat menentukan perkembangan di Indonesia termasuk menjadi pertimbangan atas penerimaan kebudayaan dan penemuan-penemuan mereka yang masif. Sejarah mencatat bahwa sikap inklusif dan permisif Indonesia atas Barat telah mengorbankan dirinya sendiri.

Many Indonesian intellectuals, politicians believe that foreigners (principally the West) do not  understand Indonesia, have no grasp of the complex problems it faces, no simpathy for the         struggles to find political forms that will suit the aspiration of Indonesians and bring ordinary      people prosperity, peace and justice.... the West lectures Indonesians on human rights and       economic management while supporting and cooperating with the country's corrupt nexus of  political, military, and business elites and overlooking the plight of internal refuges fleeing   ethnic conflicts and natural disasters[11].

Pernyataan di atas digambarkan dengan cukup emosionil dalam novel Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer. Ia menggambarkan suatu trauma mendalam masyarakat Irlander (pribumi) yang tercermin dalam figur Nyai Otosoroh atas 'bangsa kulit putih'. Muncul pula figur Minke (tokoh utama), lulusan H.B.S, seorang pribumi yang harus meminum cawan ketidaksamarataan hak yang diberikan oleh Eropa,

"Sebegini lemah Pribumi di hadapan Eropa? Eropa! Kau, guruku, begini macam       perbuatanmu? Sampai-sampai istriku yang tak tahu banyak tentangmu kini kehilangan          kepercayaan pada dunianya yang kecil---dunia tanpa keamanan dan jaminan bagi       dirinya seorang. Hanya seorang."[12]

  • Belajar dari Tokoh Fiktif, 'Minke'

            Minke ialah figur utama dalam empat tetralogi Pramoedya Ananta Toer: Bumi Manusia, Anak segala Bangsa, Jejak langkah dan Rumah Kaca. Benar bahwa dalam tetralogi tersebut tema yang muncul adalah perseturuan antara pribumi dan pemerintah Belanda. Minke boleh disebut sebagai pengeras suara kaum pribumi, meskipun ilmu pengetahuan dan sikap akademisnya diperoleh dari Barat.

Sudah saatnya mengubah pengalaman negatif di masa lalu dan menangkap nilai yang berguna untuk masa kini. Sejarah bukanlah laporan kronologis cerita melainkan rajutan nilai pengalaman, apalagi berhubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu kekhawatiran penulis adalah fenomena serupa dapat terjadi pula dalam lingkup ilmu pengetahuan dan sarana-sarana yang memprakarsainya. Saat ini kita memasuki era digital. Sektor pendidikan dituntut untuk berani mengadaptasikan diri dengan perkembangan, karena pengetahuan itu tanpa garis finis, melaju cepat dan sensifitasnya tinggi atas perubahan[13]. Kendati luka lama adalah trauma atas Barat, namun dengan mengenali sejarah kita akan menemukan rekonsiliasi struktural. Dalam keragaman kita dapat menghidupi ideologis yang sama, yang refleksinya dipertajam dan dibaharui lewat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

 Ingatlah bahwa sejarah telah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi ibarat seorang relawan di medan perang yang netral. Kita harus menyadari bahwa tidak pernah ada sejarah yang dibangun tanpa kekerasan, darah, perjuangan dan pengorbanan.

Dengan meletakan pemahaman kita pada logika universal ini, kita lalu menyadari bahwa tidak ada alasan yang sangat berarti untuk membatasi gerak dan ruang ilmu pengetahuan dan teknologi. Thomas Aquinas seorang teolog katolik mengingatkan I fear the man with a single book, 'timeo hominem unius libri'[14], melalui ilmu pengetahuan kita mengetahui lebih banyak, mengalami lebih banyak dan belajar lebih banyak. Dengan demikian, impian untuk belajar di atas awan tidak berhenti sebagai tulisan dalam wacana mati.

  

[1] P. Ricoeur, Teori Interpretasi, diterjemahkan dari Theory of Interpretation: Discourse and the Surplus of Meaning, oleh Musnur Hery, (Yogyakarta: IRCiSoD,  2014), 13. 

   

[2] B. R. O'G. Anderson, Kuasa Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, diterjemahkan dari  Language and Power Exploring Political Cultures in Indonesia, oleh R. B. Santosa, (Yogyakarta: MataBangsa, 2000), 324-325.  

   

[3] Louis Leahy, Manusia sebuah Misteri, Sintesa Filosofis Makhluk Paradoks, (Jakarta: Gramedia, 1985), 271. 

   

[4] E. Wora, Perenialisme, Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme, 95-96. 

   

[5] K. O'Donnell, Postmodernisme, diterjemahkan dari Posmodernis, oleh Jan Riberu, (Yogyakarta:  Kanisius, 2009), 11. 

   

[6] L. L. Rasmussen, Earth Community Ethics, (Netherland:  WCC Publications, 1996), 45. 

   

[7] F. B. Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 2004), 8.

   

[8] K. Wilkes, Agama dan Ilmu Pengetahuan, 72-78. 

   

[9] http://elibrary.nusamandiri.ac.id/berita-54-.html

   

[10] W. Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965, diterjemahkan dari Mller "Cultural Violence: its Practice and Challenge in Indonesia", (Tanggerang Selatan: Gajah Hidup, 2013), 102. 

   

[11] J. G. Taylor, Indonesia Peoples and Histories, (London: Yale University Press, 2003), 4. 

   

[12] P. A. Toer, Bumi Manusia, (Jakarta Timur: Lentera Dipantara, 2015), 534. 

   

[13] A. Loorthusamy, "Media Education- A. Global Concern", dalam Y. L. Iswarahadi, Media Memuliakan Kehidupan, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 92. 

   

[14] M. S. De Azevedo, Men of a Single Book Fundamentalism in Islam, Christianity; and Modern Thought, (USA: World Wisdom,  2010), vii. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun