Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Konflik Kepentingan Para Pembesar vs Hak Masyarakat, Cenderung Tidak Kunjung Padam

16 Juni 2016   15:16 Diperbarui: 16 Juni 2016   16:38 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ratusan warga dari Serikat Tani Polongbangkeng (STP) di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan terlibat bentrok dengan pihak Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV akibat konflik agraria yang terus berlarut. Selasa, (14/10/2014). Foto dok. KOMPAS

Satu kesatuan tersebut saat ini telah dan sedang terjadi terkait; konflik kepentingan para pembesar versus hak masyarakat, terus saja terjadi. Apakah itu?.

Berbicara tentang konflik kepentingan para pembesar dan hak masyarakat sudah pasti itu sangat sensitif. Adanya konflik pasti ada sebab dan juga akibat. Kemudian juga apa itu kepentingan para pembesar yang selalu berhadapan dengan hak-hak masyarakat.

Apa sesungguhnya konflik yang dimaksud?. Dalam tatanan kehidupan sungguh tidak terelakkan yang namanya konflik. Seperti didalam kehidupan berkeluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara sudah pasti konflik itu ada. Misalnya konflik muncul karena salah paham dan tidak seragamnya pemikiran dan kehendak. Adanya konflik yang muncul akibat adanya perbedaan pandangan, fisik dan perilaku emosional terhadap suatu hal yang terjadi dan tidak terlepas dari adanya kepentingan. Selanjutnya, apa itu kepentingan para pembesar dan hak masyarakat?. Kepentingan para pembesar lebih kepada untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Misalnya oknum pengusaha yang tidak jarang mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Terjadinya hal ini memang tidak disangkal.

Seperti yang terjadi, konflik kepentingan acapkali terjadi menyangkut lahan (tapal batas/konflik agraria) tanah milik masyarakat. Boleh dikata, Undang-undang penguasaan tanah dikuasai oleh negara, cukup membingungkan karena berhadapan dengan hak penguasaan tanah milik pribadi (perorangan) VS tanah adat. Memang, Undang-undang penguasaan tanah adat saat ini dikuasai oleh sepenuhnya oleh masyarakat adat. Lalu bagaimana dengan penguasaan tanah milik para pembesar (penguasa/pengusaha/pebisnis)?.

KONFLIK-YANG-BERKAITAN-dengan-kelapa-sawit-di-Indonesia. Data dok. mongabay.co.id
KONFLIK-YANG-BERKAITAN-dengan-kelapa-sawit-di-Indonesia. Data dok. mongabay.co.id
Sepertinya para pembesar memiliki ruang yang sangat leluasa dalam hal penguasaan atas kepemilikan. Para pengusaha (pebisnis) menguasai hampir sebagian besar lahan sebagai investasi, sebut saja perkebunan dan pertambangan yang acap kali pula sering memunculkan konflik dengan masyarakat. Selanjutnya, bagaimana dengan tata kelola kawasan baik untuk konservasi maupun perlindungan kawasan?. Atau bagaimana dengan nasib-nasib masyarakat kebanyakan dan hak masyarakat adat?.   

Rentetan berbagai kejadian konflik yang terjadi menjadi sebuah realita nyata terkait konflik kepentingan para pembesar versus hak masyarakat terjadi dan menjadi kekhawatiran. Kekhawatiran tidak lain adalah adanya korban jiwa dan juga harta benda berupa lahan berupa ratusan bahkan jutaan hektar luasannya yang juga mengorbankan nasib tidak sedikit nyawa satwa/makhluk hidup. adanya lahan tidak luput dari soal lainnya yaitu soal kebakaran yang terus berulang. Setiap terjadinya perebutan lahan atau mempertahankan lahan sering kali menimbulkan dampak langsung pada masyarakat dan masyarakat yang menerimanya. Tengok saja kasus Salim Kancil di Lumajang, Jatim yang mengemuka pada tahun 2015 lalu. Jika boleh dikata kasus yang terjadi adalah terkait syarat dengan kepentingan-kepentingan oknum para pembesar yang mengorbankan masyarakat. Tidak hanya itu, rentetan kasus-kasus serupa juga terjadi di beberapa di banyak wilayah  (hampir merata) di Indonesia. Fakta jelas yang terjadi dilapangan tersebut tentu menjadi pekerjaan rumah oleh pemangku kebijakan untuk sejatinya harus bijak.

Data Konflik Masyarakat dan Tambang 2011. Foto dok WALHI, Via mongabay.co.id
Data Konflik Masyarakat dan Tambang 2011. Foto dok WALHI, Via mongabay.co.id
Tetapi apakah itu telah terlaksana?. Mungkin ya, mungkin juga belum. Mengingat, peristiwa demi peristiwa perebutan lahan cenderung silih berganti datang dan sudah pasti melibatkan masyarakat akar rumput.

Adanya konflik yang terjadi sungguh sangat disayangkan mengapa sampai terjadi. Hampir pasti tidak kunjung padam. Mengapa demikian?. Tidak untuk saling menyalahkan siapapun, namun yang pasti dari sekian banyak kasus cenderung selalu tidak kunjung padam. Hilang satu muncul lagi kasus baru.

Pembukaan hutan gambut yang berbatasan dengan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, tahun 2015. Kebakaran terpantau melalui patroli udara Badan Nasional Penanggulangan Bencana. KOMPAS/YOHANES KURNIA IRAWAN
Pembukaan hutan gambut yang berbatasan dengan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, tahun 2015. Kebakaran terpantau melalui patroli udara Badan Nasional Penanggulangan Bencana. KOMPAS/YOHANES KURNIA IRAWAN
Sudah pasti ada cara untuk mengatasi persoalan ini, dengan syarat regulasi, tata aturan, pengawasan dan sanksi tegas menjadi satu kesatuan yang mampu untuk dijalankan secara berimbang dan yang pasti juga adil bagi sebagian besar masyarakat akar rumput. Apabila tidak, konflik kepentingan, lebih khusus lagi konflik agraria sulit untuk diselesaikan. Semoga saja ada ada jalan terbaik untuk menyelesaikan persoalan yang dimaksud. Semoga saja..

By : Petrus Kanisius- Yayasan Palung

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun