Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Aku Mayas, Saudara Tua Penabur Benih Si Pengembara

3 Maret 2017   22:23 Diperbarui: 3 Maret 2017   22:32 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orangutan yang mendiami rimba raya di Kalimantan. Foto dok. Yayasan Palung

Musim berganti musim, waktu terus berlalu hingga tahun pun berganti tahun.  Demikian pula, jaman terus berganti dan berubah. Dulu sampai sekarang ini, aku ingin mendongeng cerita tempo hari ketika aku berpuluh-puluh tahun mengembara berkelana di rimba raya (belantara) yang sepi namun tentram juga bersabat membuatku betah berlama-lama.

Aku hampir lupa memperkenalkan diriku, hehehe, namaku Mayas, karena aku suka mengembara maka aku pun lebih cocok disebut si pengembara.

Mengembara, berkelana, di seluruh rimba raya bertegur sapa dengan sesamaku yang juga penghuni yang sama pula bersamaku.

Aku disebut oleh sesamaku manusia dengan sebutan saudara tua mereka. Mengapa aku disebut sebagai saudara tua?. Ya, salah satunya karena aku tidak lain penghuni lama yang mendiami rimba raya (hutan belantara).

Keseharianku mengitari seluas-luasnya penjuru untuk mencari makan, bergelantungan, bermain dan bersukaria terkadang aku memanggil sesamaku sesama penghuni yang hidup berdampingan. Sesamaku itu ku sebut juga sebagai sahabat dan saudara-saudariku selain keluargaku juga tentunya, karena kami senasib sepenanggungan, ketika kami tinggal bersama.

Adanya kami semua sebagai penanda keutuhan tentang rimba raya yang  tergantung dan tergantung kepada kami. Aku dan sahabat-sahabatku, saudara-saudariku saban waktu sembari memakan buah sembari menabur alias menam. Iya, karena biji-bijian dari sisa-sisa kami makan akan tertabur dan tidak jarang menjadi tunas-tunas baru yang subur pula. Tunas-tunas itu saudara kami manusia menyebutnya adalah pohon. Bila pohon telah tumbuh besar dan berakar menjalar, maka air sebagai sumber kehidupan bagi kami dan teman-teman kami akan tersedia serta tercukupi. O iya, pohon-pohon yang akan tumbuh akan menjadi tempat kami berlindung, walaupun tidak mewah namun rumah kami dijamin paling aman untuk kami beristirahat.

Setiap waktu kami selalu membuat sarang, tergantung hari. Setelah senja menyapa, kami sedikit sibuk karena kami akan membuat rumah untuk beristirat malam hingga pagi. Setelah matahari muncul, kami mengelilingi wilayah di sekitar kami tinggal. Tujuan kami tidak lain untuk menyambung nyawa dengan mencari buah-buahan, daun-daun muda, kulit kayu, umbi-umbian dan serangga atau juga rayap.  

Bila musim buah raya (musim buah melimpah) kami selalu besenang-senang dan tidak jarang bermalas-malasan tinggal di rumah yang kami sebut sarang. Bagi kami, kalau menjelang dewasa dan berkelamin jantan pasti mencari pasangan untuk berkembang biak. Bila bekelamin betina jika telah mengandung selalu sibuk menanti kelahiran dan merawat hingga berusia 6-7 tahun.  

Aku menyebar biji atau penabur benih memang tugasku dari awal hingga kini. Selain tugas, mungkin itu sudah menjadi tanggungjawabku, dengan kata lain amanah dari Yang Kuasa kepadaku. Aku selalu bahagia  mendapat mandat itu dan disebut sebagai saudara tua penabur benih. Tentunya aku tidak sendiri, teman-temanku seperti burung rangkong, burung julang, kelempiau dan kelasi juga tidak jarang membantu tugasku.

Susah senang telah kulalui dari dulu hingga kini. Tetapi aku terus mencoba menjalankan tugasku sebagai penabur benih. Aku mencoba untuk selalu bersama dengan teman-temanku bahu membahu untuk berpacu menjalankan tugas mulia sebagai penabur benih ini.

Dari hari ke hari pula ruang dan waktu selalu kami pacu untuk menabur sembari kami sarapan pagi ataupun siang hari. Sisa-sisa yang kami sebar/tabur itu selalu kami harap menjadi bibit-bibit baru, tunas-tunas yang kelak tumbuh menjulang tinggi nan rimbun menaungi/melindungi kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun