Hutan tidak bisa disangkal menjadi nafas sebagian besar makhluk hidup, sekaligus juga sebagai harapan jika ia boleh tetap ada.
Ada hutan maka ada kehidupan (ragam satwa dan tumbuhan). Ragam satwa dan tumbuhan bisa beroleh harapan untuk terus berlanjut dan berkembang biak hingga bisa membantu hingga menguntungkan makhluk lainnya pula (simbiosis mutualisme).
Sebagian besar makhluk hidup memerlukan makhluk lainnya untuk saling mengisi dan menjalani tatanan kehidupan (harmoni) satu sama lainnya, sejatinya demikian.
Hutan menjadi nafas hidup karena di dalamnya ada ragam kehidupan yang saling berinteraksi dan membutuhkan satu sama lainnya dan jangan yang disebut rantai makanan itu terputus.
Hutan yang boleh dikatakan sebagai harapan itu kini menjadi tujuan bersama agar kiranya ada asa bersama untuk menjaga bukan memusnahkan. Harapan berarti pula harus ada hubungan timbal balik yang harus ada dari kita.
Tentu, Sang Pencipta menciptakan hutan sebagai rumah bersama yang harus dijaga, bukan untuk dirusak, berulah bahkan dengan cara-cara yang serakah.
Hutan yang katanya harapan sudah seharusnya dirawat, dilestarikan bukan dimusnahkan dengan sikap keegoan kita dengan menampilkan realita nyata yang semakin pongah dengan hutan alam ini hingga ia rebah tak berdaya tanpa dosa.
Hutan sebagai harapan tentu tidak sedikit manfaat yang memberi sesama dan semua makhluk, hingga ia disebut harapan karena ia (hutan) bisa menjadi penyedia, penopang dan rumah yang nyaman untuk berkembang biak. Namun sekarang, masihkah hutan-hutan itu berdiri kokoh dan menjulang tinggi atau sebaliknya?
Harapan tetaplah harapan, akan tetapi harapan jika tidak diimbangi dengan sikap kebijaksanaan maka akan berujung dengan ketamakan yang tak terkendali dan bisa memutus rantai makanan yang ada di dalam dan di luar hutan itu sendiri.
Bencana yang disebut-sebut sebagai ulah polah dari beberapa oknum kita manusia berakibat kepada keresahan satwa dan tentunya sebagian besar dari kita pula.