Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mengapa Alam Selalu Disalahkan Ketika Bencana Terjadi?

17 Oktober 2022   15:39 Diperbarui: 17 Oktober 2022   15:41 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alam tidak bersahabat dengan kita.  Mungkin Tuhan mulai bosan. Itu beberapa kalimat yang sering terdengar. Bahkan, lagu pun ada yang menybutkan demikian. Tetapi, apa benar alam yang salah dan Tuhan yang mulai bosan? Atau itu kalimat untuk pembenaran bahwa manusia tidak mau disalahkan.

Setiap bencana alam, alam yang disalahkan. Sejujurnya, bumi dan alam ini kian menangis dari waktu ke waktu. Itu tak lebih karena ulah pongah kita manusia.

Tidak ada asap jika tidak ada api. Ada sebab, ada akibat. Banjir biasa hingga banjir bandang sudah semakin sering mendera beberapa wilayah di Indonesia, tidak terkecuali wilayah Kalimantan, lebih khusus di beberapa wilayah Kabupaten di  Kalimantan Barat (Kalbar).

Seperti misalnya, baru-baru ini di Wilayah Kabupaten Ketapang, Kalbar, banjir mendera wilayah Kecamatan seperti ; Simpang Hulu, Sandai, Jelai Hulu Tumbang Titi, Nanga Tayap, dan beberapa kecamatan  lainnya Seperti Sungai Laur, Manis Mata dan Pemahan.

Tentu saja, banjir yang terjadi ini ketika curah hujan yang tinggi dan daya resapan air yang semakin menurun akibat luasan hutan yang semakin sedikit dan tak mampu lagi menyerap air ketika hujan turun terus menerus sepanjang hari. Bahkan, ketika hujan yang terjadi 2-3 hari maka sudah dipastikan banjir siap mendera tiba-tiba.

Benar saja, persoalan banjir ini dari tahun ke tahun terus berulang. Entah kapan akan berakhir. Tetapi sekiranya, bila terjadi bencana bukan alam  (janganlah) alam yang disalahkan.

Tentu kita ingat, Sang Kuasa (Tuhan Yang Maha Esa) memberikan hutan, tanah air (bumi/alam) ini sebagai titipan bukan warisan.

Ketika ia (bumi/alam) ini sebagai titipan, tentu ia harus digunakan sesuai kebutuhan, bahkan kiranya dirawat, bukan karena ketamakan untuk mengasai hingga menyakiti bumi/alam ini. Bukankah,  kita dan alam ini sejatinya harus harmoni untuk selalu seiring sejalan.

Melihat banjir yang mendera dan melanda, tentu ini bukan sejalan lagi, tetapi nilai-nilai harmoni itu sudah semakin terkikis ibarat sama nasibnya dengan alam ini pada hari ini.

Bumi atau alam ini usianya sudah semakin tua renta, sudah semakin sulit untuk sembuh dari sakit penyakit yang ia dera dan terima karena sedikit banyak ulah kita manusia.

Was-was, sumpah serapah dan lain sebagainya acap kali kita dengar ketika bencana mendera. Alam yang tak berdosa disalahkan karena tidak bersahabat. Atau malah Tuhan Sang Kuasa yang dibilang mulai bosan?

Alam tidak berdosa dan Tuhan Yang Maha Kuasa tidak pernah bosan memberikan apapun kebaikan kepada umatnya. Karena, Tuhan Sang Kuasa tidak akan menguji HambaNya melebihi kemampuannya.

Jika demikian, siapa sesungguhnya yang salah. Alam atau kita yang salah?

Sesungguhnya yang pasti, alam tidaklah salah. Alam, bumi ini menangis. Menangisi nasibnya karena derita sakit penyakit yang semestinya bisa disembuhkan oleh manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika egoisnya manusia yang semakin ingin melebihi kuasa Sang Pencipta hingga alam berkata-kata dalam tangisnya karena tidak mampu menahan ulah pongah oknum kita manusia yang semakin serakah.

Alam, bumi ini menangisi pula karena nasibnya yang tak kunjung sehat, entah kapan akan bisa pulih kembali.

Kita semua menjadi penerima dari apa yang juga diderita oleh alam dan bumi ini. Semua ingin agar alam dan bumi ini tak lagi sama-sama menangis. Tetapi boleh kiranya untuk harmoni kembali seperti semula.

Sebagai pengingat, alam dan bumi ini ibarat ibu. Sebagai ibu ia menjadi pemilihara dan penjaga bagi kita semua. Jika ibu kita disakiti maka ia akan manangis, maka bolehlah kiranya kita pun menjaga dan memilihara bukan sebaliknya.

Petrus Kanisius-Yayasan Palung  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun