Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: "Satwa Primata" Ada Apa Denganmu?

21 Juli 2020   12:13 Diperbarui: 21 Juli 2020   12:10 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orangutan sebagai primata sangat suka memakan buah hutan (Artocarpus Sp.), di Gunung Palung. foto dok : Yayasan Palung /Tim Laman.

Tidak sedikit orang bercerita tentangmu Satwa Primata

Juga bertanya tentangmu karena keberadaanmu dan nasibmu saat ini. Keberadaanmu sekarang selalu membuat orang bertanya mengapa denganmu.

Mengapa keberadaanmu saat ini semakin sulit untuk bertahan hidup dan berlanjut?

Bertanya bagaimana caramu bertahan hidup disisa-sisa hidupmu?

Primata, mengapa nasibmu terkadang begitu memilukan?. Aku atau mungkin dirimu pun tidak tahu, entah seperti apa tentangmu yang sebenarnya terjadi.

Banyak fakta bicara tentangmu dan nasibmu seperti kemarin dan hari ini. Habitatmu (rumahmu) berupa hutan tak lagi tersedia seperti sedia kala. Seperti banyak terlihat oleh mata telanjang dan sejauh mata memandang, tajuk-tajuk yang disebut pohon tempat (habitat) hidupmu semakin tumbang dan hilang tak berdaya terkikis menjelang habis. Dengan demikan pula, hutan dan nafas hidupmu satwa sama-sama terancam dan menjadi tanda tanya, apa boleh berlanjut hingga nanti.

Satwa primata engkau sebagai petani mulia pun tanpa pamrih memberi manusia manfaat dari apa yang kalian semai berupa tajuk-tajuk pepohonan dan seisinya yang lain.

Tetapi, dari apa yang engkau semai itu justru membuatmu tak beruntung alias buntung. Tahukah engkau satwa primata? itu yang sungguh-sungguh terjadi sampai hari ini. Lihatlah, seperti tanah dimana tempatmu hidup semakin terjepit terhimpit, habitatmu untuk berkembang biak dan berlanjut entah apa bisa boleh berlanjut jika terus begini.

Dari dulu engkau diburu, dikonsumsi hingga dijual. Sampai kini pun masih kerap terjadi. Mengapa begini? Ada apa denganmu? Jika ku melihatmu primata, sepertinya banyak acuh dan tidak peduli denganmu. Keberlanjutan nafas hidupmu dan kami semua hari ini dan nanti bukankah sama-sama sangat dibutuhkan.

Ada apa sesungguhnya yang terjadi denganmu? Seolah engkau tidak boleh sama sekali berlanjut, tetapi banyak orang pula yang menuntutmu harus berlanjut karena peranmu itu yang begitu berharga sebagai petani yang menyemai tanpa lelah. Engkau sebagai petani, namun jika boleh dikata tidak dianggap.

Peranmu sebagai satwa sungguh terasa bagi kami. Hadirmu memberi makna kata tentang rasa, bagaimana pula kami dan kita semua harusnya berbuat.

Kami mengerti, jika nasibmu terus seperti ini, bagaimana lagi engkau mencari cara agar bisa bertahan. Bertahan untuk menjalankan sisa-sisa dari yang tersisa peran sebagai penyemai, agar tajuk-tajuk kiranya boleh bertumbuh lagi. Itu sebagai secercah harapan, jika kami boleh berharap.

Semestinya nafasmu dan nasibmu sama seperti kami boleh berharap, berlanjut hingga nanti. Kami hanya bertanya pula, salahkah engkau sebagai satwa primata yang selalu memberi namun tidak jarang engkau dilupakan (terlupakan) karena peranmu sebagai penyemai.

Kami  yang juga sebagai sesama makhluk hidup pun begitu merasa peranmu sebagai satwa primata yang tanpa lelah memberi dan begitu berarti bagi semua.

Satwa primata memberi tanya kepada kita semua pula agar bagaimana kita berperilaku. Seingatku peranmu sebagai satwa primata begitu besar. Satu kesatuan ekosistem yang ada dibumi ini akan terpengaruh bila engkau semakin terancam dan langka bahkan punah.

Rindu akan sentuhan dari semua sebagai harmoni bersama. Harmoni tak lain sebagai cara, cara agar kiranya kita semua tidak sendiri-sendiri (egois). Bukankah engkau sebagai penyemai tanpa pamrih memberi kepada kami semua.

Saat ini, engkau satwa tidak hanya langka, tetapi terancam bahkan sangat terancam punah karena banyak ulah oleh tangan-tangan tak terlihat namun terasa apa yang nyata kami rasakan.

Petrus Kanisius-Yayasan Palung

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun