Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Masyarakat Kayong Lestarikan Lingkungan dengan Membuat Tikar Pandan

28 September 2016   16:11 Diperbarui: 29 September 2016   03:20 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Ida sedang berbagi ilmu menganyam kepada sesamanya pengrajin yang baru bergabung. Foto dok. Yayasan Palung

Tradisi menganyam boleh dikata telah mendarah daging bagi mereka para pengrajin. Dikatakan telah mendarah daging karena tradisi menganyam merupakan tradisi dan budaya  ramah lingkungan yang telah ada secara turun temurun sejak dulu hingga kini.

Dahulu kala, tikar pandan dalam masyarakat Melayu di Kabupaten Kayong Utara (KKU) merupakan salah satu bukti nyata bahwa seorang wanita dinyatakan siap menikah apabila wanita tersebut sudah bisa menganyam tikar pandan dan begitu juga sebaliknya wanita tersebut tidak boleh menikah kalau belum bisa menganyam tikar pandan.

tikar-pandan-foto-dok-yayasan-palung-57eb8620d693736a0cc86bc0.jpg
tikar-pandan-foto-dok-yayasan-palung-57eb8620d693736a0cc86bc0.jpg
Tikar pandan sejak dahulu digunakan untuk alas makan, alas duduk dalam acara perkawinan, alas untuk jemur padi dan alas untuk tidur. Anyaman tikar pandan yang terkenal adalah motif pucuk rebung.

 Pucuk Rebung tak lain merupakan salah satu motif anyaman tikar pandan yang sangat populer hingga saat ini dalam masyarakat Melayu di Tanah Kayong (sebutan untuk masyarakat Kayong Utara), Kalbar. Motif ini melambangkan kehidupan baru yang akan tumbuh dan bermanfaat bagi orang lain.

Menganyam pandan atau membuat tikar pandan membutuhkan keterampilan khusus karena seseorang dalam membuat jaring atau simpul yang kemudian menyatukan lembar tali pandan menjadi rapat dan tersusun dengan baik sesuai dengan bentuk dan ukuran yang diinginkan seseorang dituntut untuk lebih tekun dan sabar dalam menganyam tikar.

Alas meja anyaman dari pandan dengan berbagai motif cantik pucuk rebung, topi, kotak tisue. Foto dok. Yayasan Palung
Alas meja anyaman dari pandan dengan berbagai motif cantik pucuk rebung, topi, kotak tisue. Foto dok. Yayasan Palung
 Melalui dorongan tradisi tersebut beberapa kelompok masyarakat masih tetap membuat anyaman pandan hingga saat ini. Hal ini juga karena didukung oleh sumber bahan baku pandan yang masih cukup melimpah di Kabupaten Kayong Utara.

Tumbuhuan Pandanus, spp atau pandan. Foto dok. Edward Tang dan Yayasan Palung
Tumbuhuan Pandanus, spp atau pandan. Foto dok. Edward Tang dan Yayasan Palung
Akan tetapi, tidak bisa dielakan karena perkembangan teknologi, tikar pandan maupun anyaman pandan mulai ditinggalkan oleh masyarakat pada umumnya, sebagai contoh, tikar plastik saat ini lebih diterima pasar dibandingkan tikar pandan, tentunya karena tikar plastik dianggap lebih tahan lama dan lebih tahan air dibandingkan tikar pandan. Kendatipun demikian, pengrajin pandan disekitar Taman Nasional Gunung Palung yang masih mempertahankan budaya dan tradisi ini tetap berkarya dan mengembangkan anyaman pandan untuk disesuaikan dengan situasi pasar saat ini.

Ini Cerita Singkat Pengrajin di Tanah Kayong yang Merawat Sekaligus Melestarikan Lingkungan dan Tradisi :

Seperti Ibu Ida misalnya, Wanita separuh baya tersebut menuturkan, ia mulai menganyam sejak remaja (usia belasan tahun). Karena pada saat remaja budaya di tempat tinggal Ibu Ida mengharuskan setiap perempuan untuk bisa menganyam tikar pandan. Hal ini terus ditekuninya hingga saat ini karena Ibu Ida memiliki ketertarikan yang sangat dalam terhadap anyaman pandan.

Sebelumnya, sejak muda Ibu Ida terbiasa bekerja ladang atau bertani di gunung atau di hutan bersama orangtuanya. Hal ini tetap dilakukannya bahkan setelah menikah dan berkeluarga. Dari hasil pertanian tersebut Ibu Ida bisa mendapatkan kebutuhan pokok seperti beras dan sayuran. Tapi tidak begitu menguntungkan untuk membiayai sekolah anak-anaknya maupun untuk membantu ekonomi keluarganya Ibu Ida menjual tikar pandan. Tapi tidak begitu menguntungkan karena jarang sekali orang yang membeli dan itupun biasanya hanya keluarga dan kerabat dekat saja yang membeli.

Hingga pada akhirnya pada tahun 2011, Ibu Ida mendaftarkan dirinya kepada Yayasan Palung untuk bergabung menjadi anggota kelompok pengrajin yang dibina oleh Yayasan Palung. Ibu Ida mengikuti semua kegiatan dan pelatihan yang diadakan oleh Yayasan Palung. Karena ketekunan dan semangatnya Ibu Ida mulai dikenal banyak pihak karena keterampilannya dalam mengembangkan anyaman pandan. 

Pandan yang telah diwarnai, selanjutnya siap dianyam untuk menjadi tikar pandan. Foto dok. Yayasan Palung
Pandan yang telah diwarnai, selanjutnya siap dianyam untuk menjadi tikar pandan. Foto dok. Yayasan Palung
Tas yang terbuat dari anyaman pandan. Foto dok. Yayasan Palung
Tas yang terbuat dari anyaman pandan. Foto dok. Yayasan Palung
Pada Juni 2012, Ibu Ida bersama Yayasan Palung bertemu dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Kayong Utara, hingga akhirnya pertemuan tersebut membuka kesempatan yang sangat besar untuk Ibu Ida dan pengrajin pandan yang lain untuk menjual hasil kerajinannya secara rutin setiap bulan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kayong Utara. Sejak pertemuan tersebut Ibu Ida dan pengrajin yang lain termotivasi untuk terus memproduksi kerajinan pandan. Pemerintah membeli hasil kerajinan tersebut melalui anggaran kas daerah sehingga pengrajin bisa langsung menerima pembayaran melalui penjualan produk kerajinan tersebut. Produk kerajinan yang dijual tersebut dikembangkan kembali oleh Pemerintah dan dijual lagi dipasaran yang lebih besar oleh Pemerintah. 

Secara khusus, Ibu Ida kini mulai merasakan manfaatnya, saat ini Ibu Ida bisa menghitung keuangan keluarganya dengan menambahkan nilai pemasukan rata-rata yang diperolehnya setiap bulan melalui penjualan produk kerajinannya. Karena ketekunan dan konsistensi Ibu Ida dalam menganyam pandan. 

Saat ini (2016) Ibu Ida menjadi tokoh kerajinan pandan di daerahnya. Pemerintah menjadikan Ibu Ida sebagai model untuk kerajinan pandan dengan menjadikan rumah kediamannya sebagai pusat Unit Kegiatan Masyarakat (UKM) yang diberi label “Ida Craft”. Disamping itu, pada tahun 2015 Ibu Ida pernah diminta melatih masyarakat yang ada di Papua untuk menganyam pandan dengan memanfaatkan bahan baku pandan yang tersedia di daerah tersebut. Selama 1 minggu Ibu Ida menetap disana dan membantu masyarakat untuk menganyam dan mengembangkan produk kerajinan pandan. 

Para pengrajin tikar pandan sering melakukan pertemuan salah satunya di Ida Craft. Foto dok. Yayasan Palung
Para pengrajin tikar pandan sering melakukan pertemuan salah satunya di Ida Craft. Foto dok. Yayasan Palung
Karena melihat pertumbuhan ekonomi Ibu Ida melalui kerajinan pandan, sejak tahun 2015 beberapa masyarakat yang tinggal di desa Ibu Ida mulai mengikuti jejaknya. Saat ini ada sekitar 11 orang perempuan termasuk 2 orang remaja yang aktif menganyam tikar pandan bersama Ibu Ida di rumahnya. Bahkan ada seorang wanita bernama Ibu Vina, berhenti menjadi penambang pasir dan batu untuk bergabung dengan kelompok Ibu Ida. 

Di tahun 2016 ini rata-rata penghasilan dari masing-masing pengrajin yang ada di kelompok Ibu Ida atau “Ida Craft” adalah sebesar Rp.1,500,000/ bulan dari penjualannya kepada pemerintah, selain juga beberapa tas anyaman dari pandan dipesan dari pengrajin untuk gawean (acara) Sail Karimata 2016.

Menurut F. Wendi Tamarariska, Program Manager, Sustainable Livelihood dari Yayasan Palung sekaligus  pendamping pengrajin HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) mengatakan:  “Bekerjasama dengan Pemerintah Daerah merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh pengrajin, dan melalui kerjasama yang terjalin sejak tahun 2012 hingga saat ini, pengrajin pandan di sekitar Taman Nasional Gunung Palung bisa merasakan manfaat ekonominya melalui penjualan rutin setiap bulan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kayong Utara. Dalam data penjualan yang terakhir pada bulan Agustus 2016, 31 orang pengrajin pandan di Kabupaten Kayong Utara telah menjual sebanyak 1.089 pcs produk anyaman pandan dan menerima pemasukan sebesar Rp.82,285,000 dari penjualan tersebut. Hal ini yang kemudian menjadi motivasi dan semangat bagi para pengrajin pandan ditempat kami untuk tetap bersemangat dalam mempertahankan tradisi menganyam ini”. 

Selain itu, menurut pria yang sehari-harinya disapa Wendi tersebut mengatakan; Dalam data penjualan pengrajin pandan, sejak bulan Februari 2016 hingga Agustus 2016 (penjualan selama enam bulan) kelompok pengrajin telah memproduksi sebanyak 1,089 pcs tas pandan dengan desain, kualitas dan ukuran yang sama dan bisa diterima dengan baik oleh pembelinya yaitu DEKRANASDA KKU. Sebagai pembeli, DEKRANASDA KKU memiliki beberapa syarat kualitas, desain dan ukuran, sehingga ada sekitar 70 pc tas pandan sempat ditolak karena tidak sesuai dengan desain, kualitas dan ukuran yang diinginkan oleh DEKRANASDA (Dewan Kerajinan Nasional dan Daerah), Kabupaten Kayong Utara, tuturnya lagi. 

Nilai sejarah, nilai budaya, keunikan, kerapian, dampak dan manfaat lingkungan merupakan poin penting dalam menilai kualitas dari sebuah produk. Seni rakyat diciptakan dengan ‘hati’, kesetiaan, ketekunan dan kesabaran.  Ada banyak cerita disetiap produk yang dihasilkan oleh kesenian rakyat karena kesenian rakyat merupakan identitas suatu budaya dalam masyarakat. Maka disitulah letak kualitas terbaik dari sebuah produk yang diciptakan oleh kesenian rakyat.

Petrus Kanisius-Yayasan Palung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun