Mohon tunggu...
Nurul FiqriyatulIslamiyah
Nurul FiqriyatulIslamiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Semester 2 Pendidikan Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hobbi nonton film

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Benarkah Hukum di Indonesia Semengerikan itu?

24 Juni 2022   18:06 Diperbarui: 24 Juni 2022   18:06 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Awal kemerdekaan Republik Indonesia, sang proklamator bangsa Ir. Soekarno dalam pidatonya mengungkapkan bahwa demokrasi yang akan diterapkan oleh negara kita Indonesia berupa demokarasi penuh. Salah satu indikator yang wajib terpenuhi oleh negara terhadap warganya dalam sistem demokrasi penuh yaitu sejauh mana warga negara diperlakukan sama di hadapan hukum. Selain itu, Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tetapi, pengimplementasian sesungguhnya yang terjadi saat ini nyatanya ketidakpuasan masyarakat yang tak kunjung dipuaskan oleh pemerintah menjadi pertanda lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Bahkan tagar #PercumaLaporPolisi sempat tranding beberapa waktu lalu terbukti ketidakpercayaan masyarakat karena kinerja salah satu penegak hukum tersebut.

Hukum yang pada dasarnya adalah proses mencari keadilan bagi masyarakat sebaliknya justru rasa ketidakadilan, diskriminasi dan tumpang tindih yang tersalurkan ke masyarakat kalangan bawah. Hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah kalimat yang sangat familiar di Indonesia. Sebenarnya tidak salah, akan tetapi merugikan bagi kalangan bawah dan meguntungkan kalangan elit masyarakat kelas atas. Hukum memang seharusnya tajam kepada siapapun yang dianggap bersalah tanpa membedakan strata sosial pelakunya. Pemberian hukuman dan sanksi akibat kejahatannya harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Nyatanya, sanksi kejahatan akan "dimudahkan" bagi mereka yang berduit.

Hukum yang bisa dibeli, bukan hanya bualan semata. Kortingan hukuman bagi para terpidana korupsi menjadi buktinya. Contohnya pada kasus Djoko Tjandra yang awalnya divonis 4,5 tahun penjara menjadi 3 tahun 6 bulan penjara karena terbukti menyuap Irjen Napoleon dan Brigjen Prasetijo dalam kasus red notice. Ia juga terbukti menyuap Pinangki Sirna Malasari, jaksa di Kejaksaan Agung soal upaya permohonan fatwa MA. Kasus jaksa Pinangki juga mendapat kortingan vonis dari yang 10 tahun menjadi 4 tahun. Seorang jaksa pun yang harusnya memberatkan vonis para pelaku justru dengan mudahnya disuap.

Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2019-2020 terdapat 134 terdakwa korupsi dibebaskan atau dipangkas hukumannya melalui kasasi atau peninjauan kembali di Mahkamah Agung. ICW juga merata-ratakan vonis yang diberikan koruptor hanya sekitar hukuman 3 tahun 6 bulan penjara, tergolong vonis ringan.

Beda halnya jika masyarakat bawah yang melakukan sebuah pelanggaran. Contohnya pada kasus Asyani perempuan paruh baya, yang divonis satu tahun penjara dengan 15 bulan masa percobaan dan denda Rp 500 juta karena terbukti bersalah dalam pencurian kayu milik Perhutani. Ahli hukum dan mantan hakim konstitusi yang pernah menjadi saksi untuk Asyani, Achmad Sodiki, pun meragukan bukti yang digunakan dalam pengadilan. Ia menyebut kronologi pencurian kayu dan identifikasi kayu masih tidak jelas. 

Asyani juga tidak seharusnya dijerat dengan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Menurutnya, undang-undang tersebut didesain untuk menjerat pelaku perusakan hutan yang masif dan berskala besar, bukan untuk menjerat warga di sekitar hutan yang kerusakannya tak signifikan. Beruntung, Asyani dibebaskan dengan penjamin seorang bupati setelah tiga bulan berada di lapas

Peran lembaga hukum juga turut andil dalam lemahnya penegakan keadilan hukum di Indonesia. Kualitas dan kinerja penegak hukumnya yang minim moralitas, haus akan harta, kejayaan, dan terutama iman yang rendah. Hal tersebut merupakan penyebab profesionalisme penegak hukum kurang dan rentan akan suap menyuap. Para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum dan menjunjung tinggi keadilan malah justru terlibat praktik korupsi. Mereka merasa biasa saja saat kewenangan mereka sebagai penegak hukum digantikan dengan setumpuk uang. Bahkan mereka tak merasa malu. Sungguh ironi keadaan hukum Indonesia.

Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia, menyebutkan bahwa terdapat penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian. Hal itu tergambarkan dalam hasil survei yang dilakukan pada 20 sampai 25 April 2022 menunjukkan adanya penurunan keinginan masyarakat untuk melapor pada polisi ketika memiliki masalah. Kepercayaan masyarakat yang kian menurun pun tidak membuat pemerintah merombak atau sekadar mengevaluasi pion-pion penegak keadilan. Juga tak memberi jera kepada para koruptor yang dengan sadarnya memperkaya diri sendiri dan merugikan bangsa Indonesia.

Kondisi yang terus berulang terjadi menyebabkan rasa keadilan yang tidak dapat tercipta membuat masyarakat yang merasa dirugikan bertanya-tanya, semengerikan inikah hukum di negara kita? Apakah hukum memang bisa terbeli oleh mereka para elit? Atau apakah karena adanya suap menyuap dengan penegak hukum yang melatarbelakangi "penjualan" hukum ini? Penegak hukum dan keadilan ibaratkan bagai aur dengan tebing, tak dapat dipisahkan. Jika sang penegak melenceng dari yang seharusnya maka keadilan pun tak akan tercipta.

Bagaimana Indonesia bisa menjadi negara dengan demokrasi penuh seperti yang direncanakann sang proklamator jika penegak hukum  sendiri bisa disuap? Bagaimana bisa Indonesia menjadi sebanding dengan Norway, Selandia Baru bahkan Belanda jika korupsi masih menjadi budaya dikalangan para petinggi serta pejabat Indonesia? Apakah generasi y di tahun 2030 akan bisa mengatasi permasalahan yang kian melekat di para pejabat?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun