Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makna Kupat 'Ngaku Lepat' di Hari Raya

23 Juni 2017   16:36 Diperbarui: 24 Juni 2017   07:56 1398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumen pribadi/subhan

(Dokpri/Subhan)

Bulan suci Ramadhan akan meninggalkan kita, khususnya umat muslim sedunia. Atau justru kita yang tidak akan pernah bertemu dengan Ramadhan tahun ini untuk selama-lamanya. Biarlah itu menjadi hak prerogatif sang Pencipta.

Hari kemenangan menjelang yang artinya fitrah kita kembali suci seperti bayi baru lahir. Takbir, Tahlil, Tahmid berkumandang pertanda kesyukuran kita atas kemenangan menahan makan, minum, hubungan suami istri hingga waktu maghrib berkumandang.

Menyedihkannya, meski bulan ramadhan terkadang kejahatan selalu ada, itu wajar karena manusia diciptakan Alloh SWT memiliki hawa nafsu akan sesuatu. Nafsu menjadi baik ketika iman seseorang itu mumpuni, nafsu menyesatkan ketika iman sedang ditenggelamkan. Keistimewaan bulan suci ramadhan selain menahan nafsu, para iblis syetan juga terbelenggu hingga ramdhan rampung. Walhasil di akhir ramadhan inilah Idul Fitri menyambut kita semua.

Tentu saja perayaan kemenangan tersebut sangatlah dinanti umat muslim seluruh penjuru dunia. Dengan berbusana baru, wangi semerbak mensyukurinya dengan sholat idul fitri secara berjamaah di masjid, lapangan, hingga jalan raya sesak lautan manusia berujud membesarkan Asma-Mu. Usai sholat tidak lupa digelar khotbah idul fitri yang dibawakan oleh penceramah sebagai penutup ritual sholat idul fitri.

Sudah barang tentu lebaran sangatlah identik dengan namanya ketupat atau kupat. Tidak afdol rasanya tanpa suguhan kuliner satu ini. Ketupat juga menjadi ikon pada kartu ucapan lebaran, dimana ada kartu ucapan selamat idul fitri, pasti ada gambar ketupat. Apakah ketupat ini hanya sekedar pelengkap hari raya saja ataukah ada sesuatu makna di dalamnya?

Di Pulau jawa Ketupat memiliki filosofi mendalam dan kini seiring perkembangan zaman perlahan namun pasti sakralitas mulai tergerus. Sejarah panjang ketupat pertama kali diperkenalkan oleh Wali Songo terutama Sunan Kalijogo pada masyarakat Jawa. Sunan Kalijogo membudayakan dua kali lebaran, yaitu Lebaran Idul Fitri dan Lebaran Ketupat. Budaya lebaran ketupat atau kupat hanya marak di tanah Jawa saja. Di luar pulau Jawa tradisi lebaran kupat jarang kita temui.

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, ini lantaran setiap daerah mempunyai perbedaan kemasan ketupat sebagai hidangan lebaran. Lazimnya di pulau Jawa ketupat bungkusnya dari janur/daun kelapa muda, beras sebagai bahan utama. Tidak demikian di Kota Makassar, masyarakatnya lebih menyukai ketupat berbalut daun pandan. Alasannya selain harum ketika direbus, hasilnya gurih dan lebih pulen.

Selain kudapan ketupat, yang tak kalah penting adalah tradisi sungkeman/bersalam-salaman sesama manusia seiman. Agama lain diperkenankan melebur dalam kemenangan hari raya idul fitri, sebagai tanda tolerasi antar umat beragama. Kupat sendiri menjadi implementasi ngaku lepat (mengakui kesalahan) bagi masyarakat Jawa melalui ritual sungkeman. Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan dari orang lain, khusunya orang tua.

Dalam filosofi Jawa, ketupat bukan hanya sekedar hidangan khas hari raya lebaran. Ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa dari kata Ngaku Lepat . Ngaku lepatartinya mengakui kesalahan. Bahkan ada beberapa daerah di Pulau Jawa yang hanya menyajikan ketupat di hari ketujuh sesudah lebaran saja atau biasa disebut lebaran Ketupat. Pulau Jawa khususnya di pelosok desa kupat atau Ngaku Lepat menjadi ritual sakral, menjadi pemandangan tidak biasa ketika kita merayakannya di kota Metropolitan.

Meski Indonesia terkepung perkembangan teknologi informasi, peranan para Wali Songo dalam memperkenalkan agama Islam dengan menumbuh kembangkan tradisi budaya sekitar, seperti tradisi lebaran dan hidangan ketupat masih menjadi tradisi dan budaya hingga saat ini.

Makassar, 23 Juni 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun