Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Taman Bungkul Destinasi Wisata Muda Mudi Masa Kini

20 Juli 2018   14:40 Diperbarui: 20 Juli 2018   15:45 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menikmati malam pertama di kota Surabaya begitu banyak perubahan, terutama sejak dibawah kendali Risma Trimaharini, sebagai Walikota Surabaya. Kota Pahlawan ini tertata apik dan aman dari ancaman premanisme.

dok.pribadi
dok.pribadi
Sudah rahasia umum bahwa dahulu Surabaya merupakan sarang penyamun bagi pendatang. Pasalnya kapan pendatang yang belum tahu jalan akan "dipaksa" mengeluarkan sesuatu yang mereka inginkan.

Tidak lupa saya dan kedua anak saya diantar dua adik ipar mengabadikan icon kota Surabaya Provinsi Jawa Timur ini berupa  dua patung hewan buas yaitu, Sura dilambangkan sebagai hewan hiu putih dan buaya. Disana kami berpotret bersama mengabadikan momen yang belum tentu akan terjadi lagi.

dok.pribadi
dok.pribadi
Dirasa cukup  adik ipar saya menganjurkan  mengabadikan momen di salah satu taman idaman anak-anak muda berpacaran, orang tua dan keluarga  berpose di Taman Bungkul Surabaya, pada Rabu, 18 Juli 2018.

dok.pribadi
dok.pribadi
Di taman bungkul tersebut tersimpan rapi sebuah sejarah tokoh Islam besar berupa makam Mbah Bungkul atau Sunan Bungkul. Keberadaannya tersembunyi dibalik keramaian Taman Bungkul.

dok.pribadi
dok.pribadi
Letak komplek Bungkul menyimpan misteri kesejarahan yang tak mudah diungkap. Sebuah hikayat menyebutkan Mbah Bungkul atau Sunan Bungkul adalah Empu Supa, seorang tokoh masyarakat dan agama pada masa kerajaan Majapahit di abad 15.

Ia adalah tetua desa Bungkul, yang sekitar 600 tahun lampau pernah disinggahi Raden Rahmat atau Sunan Ampel kala menempuh perjalanan dari Trowulan Majapahit menuju Kalimas di Ampel Denta. Ki Supa kemudian memeluk agama Islam dan berganti julukan menjadi Ki Ageng Mahmudin. Karena menghuni desa Bungkul, Ki Supa akhirnya lebih dikenal dengan Sunan Bungkul.

Hubungan kedua sunan itu pun berlanjut hingga kemudian Sunan Bungkul menjadi mertua Raden Rahmat. Karena ikatan itu pula, upaya Sunan Ampel menyebarkan agama Islam menjadi lebih cepat berkembang, terutama di wilayah Surabaya Selatan.

Mbah Bungkul pun kini diyakini sebagai salah satu wali besar di Surabaya. Peziarah yang berkunjung ke makam Ampel pasti terlebih dahulu akan berkunjung ke komplek makam yang berada di Jalan Progo ini. Bukan ke komplek Makam Sunan Ampel baru ke Makam Sunan Bungkul, itu menurut juru kunci makam yang juga diamini petugas parkir taman bungkul Surabaya.

dok.pribadi
dok.pribadi
Sebelum pulang saya iseng bertanya kepada juru kunci makam, "dimana saya bisa  dapatkan sejarah Sunan Bungkul, setidaknya brosur, sebagai oleh-oleh dirumah." Kuncen atau juru kunci tersebut menjawab, "Sejarahnya sudah tidak ada mas, dibawa Pemerintahan Belanda." Saya pun akhirnya, kehabisan kata-kata dan permisi pulang. Guna melengkapi ziarah, saya meminum air putih didalam kendi yang disediakan kuncen Makam, bagi para peziarah.

Usai lelah mengitari Taman Bungkul juga ziarah makam Sunan Bungkul, kami mencicipi kuliner khas Sidoarjo, yang diberi nama Lontong Kupang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun