Mohon tunggu...
Darliana Kartamiharja
Darliana Kartamiharja Mohon Tunggu... -

Mantan Widyaiswara PPPPTK IPA. Tinggal di Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kualitas Isi Buku IPA SMP Kelas 7 Kurikulum 2013

25 Juli 2013   23:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:02 5607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seperti yang dituliskan dalam kata pengantar dalam buku guru dan buku siswa Kurikulum 2013, yaitu "Buku ini menjabarkan usaha minimal yang harus dilakukan siswa untuk mencapai kompetensi yang diharapkan", dengan pernyataan itu tampaknya Kemdikbud tidak mewajibkan guru melaksanakan pembelajaran yang tepat sama seperti pada buku siswa dan buku guru. Oleh karena itu, pembelajaran dalam buku guru dan buku siswa dapat ditingkatkan kualitasnya dan dikembangkan sendiri oleh guru. Tulisan berikut ini berisi kelemahan isi buku siswa dan buku guru, serta cara mengatasi kelemahan itu untuk meningkatan kualitas pembelajaran aktif di sekolah. Mudah-mudahan bermanfaat bagi rekan-rekan guru yang memerlukannya.

Setelah dipelajari berdasarkan pertimbangan perkembangan intelektual siswa SMP kelas 1, secara garis besarnya kualitas isi buku IPA SMP kelas 7 Kurikulum 2013 untuk siswa dan guru adalah sebagai berikut.

A.    Kelemahan dan Saran Buku IPA untuk Siswa


  1. Buku IPA SMP untuk siswa masih merupakan buku pelajaran tradisional, karena isi buku masih didominasi oleh pengetahuan yang harus dihafal oleh siswa. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya sudah ada dalam pengetahuan yang diuraikan sebelumnya. Itu berarti pelajaran IPA masih menjejali siswa dengan banyak pengetahuan yang harus dihafalnya. Pembelajaran aktif sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013 seharusnya menghindari pelajaran menghafal, seperti yang dilaksanakan di negara-negara yang pembelajarannya sudah maju, misalnya di China, Korea, dan Jepang.  Sebaiknya format buku siswa yang lebih cocok untuk buku referensi itu diganti dengan format buku pelajaran yang cocok untuk pembelajaran aktif.
  2. Kegiatan siswa yang dituliskan pada buku siswa menggiring siswa untuk berpikir mengikuti algoritma (prosedur khusus untuk penyelesaian masalah tertentu) yang dalam buku siswa dituliskan sebagai langkah-langkah pemecahan masalah. Algoritma seharusnya dihindari. Pembelajaran aktif yang kualitasnya tinggi adalah pembelajaran yang memberi kesempatan pada siswa untuk berpikir mendalam dan fleksibel, bukan digiring dengan algoritma. Dalam ebook Panduan Lesson Study Bebasis MGMP dan Berbasis Sekolah, Tim akhli JICA (2009) menyatakan bahwa tugas bagi para siswa di Amerika biasanya berbentuk soal hitungan untuk latihan menerapkan algoritma. Akibatnya, skor prestasi aritmatika siswa Amerika lebih rendah daripada siswa Jepang dan Taiwan.
  3. Bagian jawaban siswa yang dituliskan untuk kegiatan siswa banyak yang merupakan bagian LKS yang hanya meminta siswa mengisi titik-titik dalam kalimat pernyataan atau dalam diagram. Tim akhli JICA (2009) menyatakan: "Mari kita berhenti mengunakan LKS yang hanya meminta siswa mengisi titik-titik, LKS semacam itu sama sekali tidak merangsang siswa untuk berpikir".
  4. Metode ilmiah untuk siswa SMP bukan untuk dihafalkan, karena itu uraian mengenai metode ilmiah dalam buku untuk siswa sebenarnya tidak perlu dituliskan, tetapi dilatihkan langsung pada siswa. Metode ilmiah di SMP dan SMA untuk digunakan oleh siswa, bukan untuk dihafalkan. Di samping itu, menuliskan terlalu banyak topik pengetahuan dalam buku siswa hanya akan membuat siswa kabur dalam mempelajari apa yang penting baginya.
  5. Presentasi siswa setelah siswa melakukan kegiatan bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam berkomunikasi, diskusi dengan sesama temannya dalam kegiatan kelompok dan mengajukan pertanyaan atau jawaban secara lisan merupakan cara yang lebih efektif dalam meningkatkan kompetensi siswa dalam berkomunikasi. JICA (2009) menyatakan bahwa sebagian  guru  salah  mengartikan  bahwa  mereka  harus  meminta  siswa menyampaikan  presentasi  pada  akhir  kerja  kelompok.  Pemikiran  ini  keliru.  Selama  tujuan pembelajaran  tercapai,  presentasi  siswa  tidak  selalu  menjadi  satu  kewajiban.


B.     Kelemahan dan Saran Buku IPA untuk Guru


  1. Peningkatan budi pekerti tidak cukup dengan hanya keteladan guru. Dalam pembelajaran, walaupun pembelajaran IPA, peningkatan budi pekerti siswa dapat dilaksanakan dengan cara-cara tertentu yang merupakan bagian dari pembelajaran. Keteladan guru memang diperlukan tetapi bukan merupakan bagian pembelajaran, karena di luar pembelajaran pun guru harus tetap menjadi teladan. Pembelajaran yang disarankan dalam buku guru seharusnya menjelaskan bagian pembelajaran yang meningkatkan budi pekerti dan juga minat belajar siswa yang terintegrasi dalam pembelajaran IPA. Ada dua cara meningkatkan budi pekerti dan minat belajar siswa, yaitu dengan tata-tertib belajar dan cara guru memperlakukan siswa. Itulah yang seharusnya dituliskan dalam buku untuk guru.
  2. Dalam buku guru seharusnya dijelaskan bahwa pada setiap interaksi, tanya-jawab, dan kegiatan guru dan siswa akan selalu ada kompetensi-kompetensi tertentu yang sedang ditingkatkan pada siswa. Guru seharusnya mengetahui apa yang sedang ditingkatkan pada siswa pada setiap saatnya selama pembelajaran berlangsung. Jika guru tidak mengetahui kompetensi apa yang ditingkatkan pada siswa pada setiap saatnya, bagaimana guru dapat meningkatkan kompetensi siswa? Kompetensi guru dalam mengetahui kompetensi apa yang sedang ditingkatkannya pada siswa merupakan kompetensi utama bagi setiap guru yang akan  membuat pembelajaran yang dilaksanakannya efektif dan berkualitas. Aspek-aspek yang penting dalam melaksanakan pembelajaran itu seharusnya dijelaskan dalam buku guru, karena guru tidak akan memperolehnya dari teori-teori pembelajaran.
  3. Dalam buku guru dituliskan peningkatan kompetensi siswa dalam menginfer, tetapi tidak jelas bagaimana menginfer itu dilaksanakan. Menginfer sebenarnya adalah menerapkan konsep untuk menjelaskan apa yang telah atau sedang terjadi. Keterampilan menginfer memerlukan keterampilan mengidentifikasi obyek dan fenomena yang dipermasalahkan, mengidentifikasi variabel-variabel dan konsep-konsep yang berlaku pada obyek dan fenomena yang dipermasalahkan, mengidentifikasi hubungan variabel-variabel berdasarkan obyek dan fenomena yang dipermasalahkan, dan mengintegrasikan variabel-variabel itu dengan menggunakan konsep-konsep yang berlaku untuk menyusun penjelasan (menjawab masalah). Dalam buku guru seharusnya dijelaskan bagaimana proses menginfer itu dilaksanakan pada setiap topiknya, agar guru dapat membimbing siswa melalui pertanyaan-pertanyaan prosedural yang berlaku umum tersebut. Ini akan lebih baik daripada menggunakan algoritma.
  4. Pengetahuan IPA yang sama dengan yang dituliskan dalam buku siswa seharusnya tidak dituliskan dalam buku guru, karena pengetahuan itu merupakan pengetahuan yang sudah dimiliki guru. Lebih baik menuliskan aspek-aspek lain yang lebih penting untuk dituliskan dalam buku guru.


C.     Pembelajaran Aktif yang Disarankan dalam Buku untuk Guru

Berdasarkan buku untuk siswa dan untuk guru, pembelajaran aktif yang disarankan untuk kurikulum 2013 merupakan pembelajaran aktif yang kualitasnya rendah (mungkin ini yang dimaksud dengan pembelajaran minimal). Rendahnya kualitas pembelajaran aktif tersebut karena pembelajaran aktif tersebut mengandalkan LKS dalam meningkatkan kompetensi siswa dan adanya aspek kompetensi yang diabaikan, padahal penting untuk ditingkatkan pada siswa.

Jika menggunakkan LKS, siswa harus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tertulis dalam LKS itu. Agar dapat dijawab oleh siswa, pertanyaan-pertanyaan dalam LKS harus dibuat semudah mungkin, karena itu dibuatlah algoritma dan titik-titik dalam kalimat-kalimat jawaban atau diagram. Pertanyaan-pertanyaan dan cara menjawab pertanyaan dengan mengisi titik-titik atau digiring oleh algoritma menyebabkan rendahnya kompetensi yang ditingkatkan pada siswa. Dengan LKS tersebut siswa hanya dapat memahami pengetahuan yang dangkal dan lemah dalam peningkatan keterampilan berpikir dan psikomotor siswa. Tim akhli JICA (2009) menyebutnya sebagai pendekatan dangkal.

Pembelajaran klasikal dialog mendalam, yang banyak digunakan di negara-negara yang pendidikannya sudah maju seperti di Jepang, menggunakan pertanyaan tingkat tinggi dan terbuka yang menuntut siswa bergulat dengan pemikiran-pemikirannya. Pertanyaan-pertanyaan susulan yang diajukan guru selanjutnya merupakan pertanyaan-pertanyaan spontan yang mengejar jawaban siswa, sehingga siswa berpikir lebih mendalam. Pertanyaan tingkat tinggi dan terbuka, serta pertanyaan-pertanyaan yang mengejar jawaban siswa itu tidak mungkin dapat dituliskan dalam LKS, karena pertanyaan-pertanyaan dalam LKS merupakan pertanyaan yang statik yang harus dijawab oleh siswa dalam kelompoknya.

Melalui LKS siswa diberitahu mengenai variabel apa yang harus diamati dan dicatatnya, cara merangkaikan alat, melakukan percobaan, sampai pengolahan datanya, karena dengan LKS mereka harus bekerja sendiri dalam kelompoknya. Dalam kegiatan pembelajaran dialog mendalam, siswa belajar mengidentifikasi variabel, membentuk gagasan untuk merangkaikan alat, sampai cara mengolah datanya, sehingga kompetensi siswa dalam keterampilan berpikir dan psikomotor benar-benar ditingkatkan. Karena itu pembelajaran dialog mendalam sebelum praktik meningkatkan kreativitas siswa lebih tinggi daripada menggunakan LKS yang serba memberitahu siswa.

Dengan pertanyaan-pertanyaan dialogis penguasaan konsep siswa mendalam, keterampilan berpikir dan psikomotornya ditingkatkan lebih tinggi dan lebih baik daripada pembelajaran aktif yang menggunakan LKS. Pertanyaan-pertanyaan dialogis seperti itu tidak dapat digunakan dalam pembelajaran aktif yang menggunakan LKS, karena dengan LKS pertanyaan-pertanyaan dibuat tertulis dan siswa harus bekerja sendiri dalam kelompoknya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam LKS. Itulah sebabnya mengapa pembelajaran di negara-negara maju selalu menggunakan pembelajaran dialog mendalam. Di Jepang, kegiatan pembelajaran klasikal dialog mendalam selalu dilaksanakan lebih dahulu. Setelah kegiatan dialog mendalam selesai barulah siswanya melaksanakan kegiatan praktik kelompok. Dalam kegiatan kelompok pun siswa hanya diberi satu atau dua pertanyaan, karena itu tidak menggunakan LKS.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun