Mohon tunggu...
pintukata
pintukata Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis Bebas.

-

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Paras Ideologi

15 Juli 2020   12:30 Diperbarui: 15 Juli 2020   12:27 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bercak merah tumpah di atas kanvas.
Ku memilih beledu
untuk mengungkai kain itu
yang aras beruluk salam :

Asalkan tak menikam leher ini,
ku rela menepak-nepak paha
agar kau melinggis liang sidratul muntaha
yang beset tiap malam.

Darah yang berkucur
di selangkangan dunia
menghablurkan pekat hati
setimpal daging gelatik
yang dikukus kemarin petang.
Ku masih menyekat napas
bau busuk tak berbangkai
menyumbat ereksi pucuk cintamu
yang mengacung alif
mengiris derita lindu.

Ku singkap pakaianmu, suara-suara
memekik penggalan puisi
berkelim dua, tiga, empat
yang tak lekang di bibir
memimpinmu telanjang sekali lagi.

Sekali lagi, kau hanya terkapar
sehabis deras turun sendiri
kemudian mati dicatuk katak berkepanjangan
sedangkan bah kapal tak hanyut,
ini pula kemarau panjang.

Tuan, ini lendir kau mau apakan lagi?
sedangkan panas setahun
dihapuskan oleh hujan semalam
sungguh, kejam membabi buta
yang menomorsatukan paras ideologi
belaka.

Changchun, 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun