Hampir sepekan namanya beken sekali di media social. Ya Ratna Sarumpaet sukses besar mengambil perhatian publik hingga namanya menjadi tren di Twitter. Begitu ngetren-nya Ratna, hingga muncul tagar-tagar yang membuat gemas atau jadi pengen nyinyir. Ada yang sudah bosan dengan wajah ibu ini yang selalu muncul di layarmu?
Namun, dari kasus Ratna Sarumpaet ini dapat kita pahami bahwa berita bohong ataau hoaks masih menjadi senjata yang sangat kuat bagi masyarakat terutama bagi para pengguna sosial media.
Pasca pengakuan Ratna yang menyatakan bahwa dirinya berbohong, ia lalu ditangkap oleh Jatanras Polda Metro Jaya di Bandara Soekarno Hatta saat hendak terbang ke Chile, saat ini Ratna resmi menjadi tersangka. Tidak hanya itu, sederet tokoh politik pada akhirnya ikut terlibat dalam kasus Ratna Sarumpaet ini. Mulai dari Prabowo Subianto hingga anggota DPR Rachel Maryam, total ada 16 orang yang terancam dipolisikan.
Kalau kalian merasa apakah kasus ini murni mengalir begitu saja?
Belajar dari kemenangan Trump yang kini menjadi Presiden Amerika Serikat , terungkap salah satu skandal politik kontroversial dalam sejarah AS pasca terbongkarnya skandal Cambridge Analytica dan Facebook yang dianggap telah membantu propaganda digital Trump.
Terungkapnya kasus ini membuat kehebohan global sekaligus mengungkap fakta bahwa hoaks dan propaganda dihasilkan dari industri yang besar.
Di Indonesia sendiri, pada tahun 2017 terbongkarlah sindikat Saracen yang memiliki industri hoaks yang terorganisir. Mereka diduga aktif menyebarkan hoaks bernuansa SARA di media sosial. Dari hasil penyelidikan forensik digital pun terungkap Saracen menggunakan grup Facebook di antaranya Saracen News, Saracen Cyber Team dan Saracennews.com untuk menggalang lebih dari 800.000 akun.
Dalam konteks politik Indonesia, kemunculan digital dictatorship mungkin saja terjadi jika melihat saat ini hoaks telah menjadi alat yang paling manjur untuk menggiring opini, mempropaganda, mempengaruhi pemilih.
Dan peristiwa Ratna Sarumpaet ini apakah menjadi sebuah peringatan bahwa adanya "kekuatan yang tak terlihat"?
Artikel selengkapnya dapat dilihat di Pinterpolitik.com
Sumber: Ratna Sarumpaet dan Digital Dictatorship