Mohon tunggu...
Reza Pamungkas
Reza Pamungkas Mohon Tunggu... Jurnalis -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Jokowi di Balik MRT

18 Juli 2018   17:21 Diperbarui: 18 Juli 2018   17:25 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Artikel ini tayang pertama kali di Pinterpolitik.com

Sejak tahun 2016, Jokowi telah enam kali mengunjungi proyek MRT. Ternyata Jokowi punya agenda politik yang tersembunyi, apakah itu?

Jakarta adalah salah satu kota terbesar di Asia yang tidak memiliki Mass Rapid Transit (MRT). Sebagai salah satu jenis transportasi umum, MRT diyakini mampu mengurangi problem kemacetan di Jakarta selama ini. Jakarta memang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Terpusatnya modal di Jakarta, telah membuat banyak orang di Indonesia untuk datang mengadu nasib di kota yang dulu dikenal dengan nama Batavia.

Terpusatnya modal dan segala hal di Jakarta sekaligus telah memicu istilah Jakarta-sentris. Jakarta-sentris adalah peninggalan Hindia Belanda, dan hingga kini elite-elite politik di Indonesia masih saja menjadikan Jakarta sebagai Ibukota negara yang penuh dengan problematika terutama masalah kemacetan.

Pembangunan MRT adalah bagian dari solusi negara untuk mengurangi problematika tersebut. Tapi, tak banyak orang yang berpikir bahwa proyek ini sekaligus menjadi agenda politik Jokowi.

Lantas, pernahkah masyarakat bertanya-tanya, apa yang membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap gencar dalam pembangunan proyek Mass Rapid Train (MRT)? Padahal merosotnya nilai rupiah terhadap dolar tentu membebani alokasi anggaran untuk proyek yang menelan sekitar 1,5 miliar dolar AS tersebut. Misalnya saja, impor bor dari Jepang yang dipasok oleh perusahaan Japan Tunnel System Corporation (JTSC).

Selain bor, pemerintah juga mengimpor batu alam andesit yang digunakan untuk jalur pedestrian di stasiun MRT koridor Jalan Jenderal Sudirman hingga Jalan MH Thamrin. Ini belum ditambah dengan jumlah impor tenaga kerja untuk mengerjakan proyek tersebut.

Secara keseluruhan, besarnya porsi impor Indonesia dapat dilihat dari kondisi neraca perdagangan per Januari-Mei 2018 yang tercatat mengalami defisit sebesar 2,83 miliar dolar. Alih-alih menunjukan langkah antisipatif, pemerintah malah tampak tidak mempermasalahkan gejolak tersebut.

Data menunjukkan, impor yang begitu masif ternyata tak berbanding lurus dengan penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Tercatat, serapan tenaga kerja pada tahun 2015 sebesar 7,72 juta jiwa atau sekitar 6,39 persen. Tahun 2016 sebesar 7,71 persen atau turun 0,01 jiwa, sementara pada 2017 sektor ini hanya menyerap 7,16 juta jiwa. Artinya dalam periode 2015-2017 tenaga kerja di sektor konstruksi menyusut 0,56 juta orang.

Lantas, apa yang membuat pemerintah tak begitu peduli terkait fenomena ekonomi saat ini?

Ada tiga kemungkinan, pertama karena sudut pandang yang terbentuk bahwa gejolak ekonomi saat ini merupakan akibat dari instabilitas ekonomi global sehingga pemerintah tak perlu ribut-ribut atau dengan kata lain meyerahkan saja situasi ini pada mekanisme pasar.

Baca juga :  Indonesia Evaluasi Keanggotaan di Organisasi Internasional

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun