Kekuasaan kelompok elit ini mempengaruhi arah politik, bahkan menentukan siapa yang akan dipilih oleh masyarakat. Di satu sisi, posisi ini membuat Jokowi menjadi inferior di hadapan Megawati. Jika koalisi PDIP-Gerindra terjadi, maka ini adalah pembuktian teori tersebut, bahwa elit partai seperti Megawati punya pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan arah koalisi.
Berarti bener dong kt bung @Fahrihamzah kl jokowi mgkn gak dapat kartu utk maju?
Tp saya py asumsi lain. Pak Prabowo itu agak lemah kl disentuh rasa nasionalismenya, meskipun itu hy basa-basi.
CMIIW--- Armansyiahir Akbar (@Akbar_Ltd) June 8, 2018
Namun, jika ditinjau dari cara Jokowi mengelola keseimbangan kekuasaan dengan elit politik lain -- misalnya lewat Golkar dan Demokrat -- harus diakui, pria kelahiran Solo itu sedang memainkan bidak-bidak caturnya secara jenius. Ini ibarat Lionel Messi atau Mohamed Salah yang "meliuk-liuk" taktis di hadapan garis pertahanan lawan dalam sebuah pertandingan sepakbola. Lawan terkecoh, gol terjadi.
Kemampuan Jokowi ini tentu saja akan sangat membantu dirinya memenangkan kontestasi Pilpres 2019, sekaligus lepas dari belenggu elit dalam tajuk "petugas partai" yang selama ini disematkan padanya. Jokowi tentu saja akan berhadapan dengan elit lain, namun dengan posisi yang lebih setara -- katakanlah, ia tak harus mencium tangan SBY ketika bertemu.
Pada akhirnya, jika PDIP berbalik ke Gerindra, maka ini memang mengindikasikan adanya "pengkhianatan politik" terhadap Jokowi. Namun, itu hal yang lumrah terjadi dalam dunia politik.
Selentingan tentang belum adanya SK dari Megawati boleh jadi memang benar. Yang jelas, seperti kata Arthur Miler di awal tulisan ini, pengkhianatan adalah hal yang melekat dengan politik. (S13)
Artikel ini pertama kali tayang di Pinterpolitik.com