Wacana koalisi PDIP-Gerindra ini memang paling kuat dihembuskan oleh Partai Gerindra sendiri. Secara politik, tentu ada maksud untuk membuat masyarakat bingung terkait manuver politik tersebut, yang diharapkan akan menaikkan citra politik partai berlambang kepala burung itu. Namun, jika wacana koalisi ini terbukti benar adanya, maka ini tentu akan menjadi manuver politik yang cukup mencengangkan untuk diamati.
Ketua DPP Gerindra, Desmon Mahesa misalnya menyebutkan bahwa jika menemukan kecocokan, pertemuan Puan dan Prabowo berpeluang mengulang kisah "asmara politik" Gerindra dan PDIP seperti pada Pilpres 2009 lalu.
Sikap politik elit Gerindra yang kini mendukung koalisi PDIP-Gerindra ini sangat bertolak belakang jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada April 2018 lalu. Saat itu, petinggi-petinggi partai tersebut secara meyakinkan mengatakan bahwa koalisi PDIP-Gerindra tidak akan mungkin terjadi lagi di tingkat nasional. Tengok saja pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Ferry Juliantono yang menyebut partainya enggan berkoalisi dengan PDIP lagi.
Alasannya, selain karena sebagian besar kader Gerindra masih "dendam" atas pengkhianatan PDIP terhadap perjanjian Batu Tulis terkait dukungan kepada Prabowo untuk Pilpres 2014, ada sikap menghormati posisi PKS sebagai partai "partner in crime" -- tentu bukan dalam makna sebenarnya -- yang berpotensi menjadi pasangan Gerindra pada Pilpres 2019.
Namun, belakangan ini, posisi PKS memang mulai terlihat goyah dalam hal koalisi dengan Gerindra, seiring keengganan Prabowo mengambil cawapres-cawapres usulan PKS, serta makin dekatnya Gerindra dengan PAN.
Lebih jauh, Wakil Ketua Umum DPP Gerindra, Arief Poyuono bahkan mengatakan bahwa pihaknya yakin PDIP belum memberikan Surat Keputusan (SK) penugasan sebagai capres kepada Jokowi, sehingga peluang mendukung pasangan lain masih terbuka lebar.
Pernyataan ini tentu menimbulkan tanda tanya besar, apakah benar PDIP belum pasti akan mendukung Jokowi pada Pilpres 2019 mendatang?
Jika menganalisis sikap PDIP belakangan ini, memang terlihat elit partai tersebut, terutama Megawati, belum lagi berbicara tentang dukungan terhadap pencapresan Jokowi. Terakhir kali, hal itu diungkapkan ke hadapan publik pada Rakernas III partai banteng itu Februari lalu.
Faktanya, jika diamati secara seksama, "perebutan" kekuasaan di koalisi pendukung Jokowi terlihat "panas-panas terselubung". Apalagi, beredar selentingan yang mengatakan bahwa Megawati ingin "memaksakan" Budi Gunawan (BG) menjadi cawapres pendamping Jokowi -- hal yang tentu saja membuat partai-partai lain keberatan.
Bahkan di beberapa media sosial, ada selentingan yang muncul dan menyebutkan bahwasanya jika elektabilitas Jokowi telah menyentuh angka 60 persen, maka PDIP akan memaksakan BG menjadi cawapres sang petahana.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!