Mohon tunggu...
Reza Pamungkas
Reza Pamungkas Mohon Tunggu... Jurnalis -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Penumpang Gelap di Pilpres 2019

4 Juni 2018   10:53 Diperbarui: 5 Juni 2018   09:24 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Artikel ini tayang pertama kali di pinterpolitik.com

Seiring menguatnya tensi politik menuju Pilpres 2019 dan meningginya isu politik berbasis identitas belakangan ini, perdebatan tentang "penumpang gelap" kembali muncul ke permukaan. Tangan-tangan "gaib" yang mempengaruhi demokrasi di negeri ini, akankah kembali muncul di 2019 nanti?

"Sometimes democracy must be bathed in blood."

:: Augusto Pinochet (1915-2006), diktator Chile ::

Ini memang bukan kisah tentang Konstantin Agung yang berhasil meyakinkan Licinius untuk berperang melawan Maxentius dan menyatukan seluruh Romawi di bawah panji ke-Kristenan. Setelah Maxentius kalah, Konstantin berbalik dan mengalahkan Licinius, lalu menjadikan seluruh Romawi di bawah kekuasaannya.

Ini juga bukan kisah tentang Raden Wijaya yang berhasil memperdaya tentara Mongolia untuk berperang melawan Jayakatwang yang menghancurkan Kerajaan Singasari. Setelah Jayakatwang kalah, Raden Wijaya berbalik menghancurkan ekspedisi laut Mongolia dan mendirikan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur.

Ini adalah kisah tentang Masinton Pasaribu, politisi PDIP yang menyebut bahwa demokrasi Indonesia telah disusupi oleh para "penumpang gelap". Ketiga kisah ini memang tidak dipaksakan untuk terlihat mirip, namun semuanya punya satu persamaan, yakni bahwasanya tidak ada musuh dan kawan yang abadi dalam politik. Konstantin telah menunjukkannya, Raden Wijaya telah menggunakannya, dan Masinton telah membenarkannya.

Anggota DPR dari Komisi III itu mengatakan bahwa demokrasi Indonesia yang membawa kebebasan, sesungguhnya telah disusupi oleh mereka-mereka yang punya agenda tersendiri. Pada Mei 1998, semua pihak seolah terlihat sehati sesuara ingin menurunkan pemerintahan otoriter Soeharto yang menyengsarakan. Namun, setelah negara ini memasuki reformasi, terlihat bahwa masing-masing pihak punya kepentingannya sendiri-sendiri, bahkan tidak sedikit yang kemudian saling menjatuhkan.

Para penumpang gelap memanfaatkan kebebasan yang ditawarkan dalam demokrasi untuk menjalankan agenda mereka. Menurut Masinton, dalam konteks kekinian, mereka-mereka ini menyebarkan informasi-informasi yang tidak benar alias hoax dengan tujuan untuk menebarkan kekacauan. Bahkan lebih jauh, ia juga mengatakan bahwa kelompok ini ingin mengganti Pancasila dari posisinya sebagai dasar negara Indonesia.

Memang, sejak Indonesia memasuki era kebebasan dalam tajuk demokrasi, persoalan-persoalan politik dan kebangsaan nyatanya menjadi jauh lebih kompleks. Kompleksitas itu membuat satu fenomena lokal seringkali tidak bisa berdiri sendiri, bahkan tidak sedikit yang melibatkan kekuatan-kekuatan asing -- apa yang oleh Masinton disebut sebagai para penumpang gelap tersebut.

Tentu saja pernyataan Masinton ini menimbulkan perdebatan. Siapa para penumpang gelap ia maksud? Apa yang akan mereka lakukan pada Pilpres 2019 nanti?

Penumpang Gelap, Politik "Tangan-Tangan Gaib"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun