Mohon tunggu...
Piki Darma Kristian
Piki Darma Kristian Mohon Tunggu... Penulis - Direktur Public Policy and Governance Studies (PubLiGO)

Peneliti dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kartini, Cahaya Suar di Balik Ketidakadilan

24 April 2020   18:42 Diperbarui: 25 April 2020   17:51 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Habis gelap terbitlah terang, tepatnya pada hari ini seluruh Indonesia kembali memperingati hari Kartini. Lahir pada 21 April 1879 di Mayong, Jepara. Kartini menempuh pendidikan di Sekolah Belanda yang didominasi anak-anak bupati dan keturunan indo-Belanda . Kartini adalah perempuan yang memiliki kecerdasan dan keberanian yang mungkin tidak terpikirkan perempuan lain pada masa itu. Gagasan nilai yang pembaharuan dalam perjuangan Kartini menjadi bagian terpenting historitas bangsa ini. Tak hanya itu Kartini merupakan sosok emansipator yang menjadi rujukan bagi setiap perempuan masa kini.

Sosok Kartini yang biasanya dipakai untuk menggambarkan perjuangan emansipasi perempuan Indonesia. Kendati demikian, ada juga perempuan yang enggan memuji bahkan menganggap Kartini sendiri terjebak dengan perjuangannya. Goenawan Mohamad menyebut Kartini sebagai tokoh epik sekaligus tragis. Disaat Kartini menggugat ketidakadilan, ketimpangan dan kekerasan atas cengkram tradisi Feodalisme, mengeluhkan tentang Poligami, padahal ia adalah anak dengan dua ibu, sekaligus menjadi istri dari suami yang telah memiliki tiga istri sebelumnya (menikah dengan Raden Adipati dJojodiningrat), sehingga kartini dianggap mendukung poligami. Sisi lainnya adalah penilaian terhadap surat-surat Kartini ada beberapa intepretasi terhadap apa yang dilakukan Kartini penuh perdebatan. Surat-surat yang ditulis Kartini dianggap telah direkayasa demi kepentingan politik etis saat itu.

Sepanjang hidupnya Kartini menghirup atmosfir sebuah masyarakat yang terbiasa menempatkan perempuan pada posisi kedua dalam ruang publik.  Memasuki usia 12 tahun, keinginan untuk menjajaki dunia luar pupus atas kehendak Ayahnya yang menolak keinginan Kartini melanjutkan studinya setelah sebelumnya bersekolah di Europese Lagere School (ELS). Baginya Jepara dan lingkungan tempat dia tinggal merupakan Penjara kecil, sebagaimana tahanan penjara politik macam Pramoedya Ananta Toer.

Dalam kesehariannya menghadapi "belenggu pingitan", dibiliknya kesadaran kritis Kartini tumbuh, pada akhirnya menjadi tempat mengembangkan pikiran-pikiran secara mandiri, membaca beragam buku yang menyampaikan dunia modern dengan keluasan yang mengagumkan, merentang dari karya sastra, sejarah, ilmu sosial dan segala perkembangan yang terjadi di dunia sekitarnya. Kartini begitu terinfluens dengan karangan NY. C. Goekoop yang menguraikan perjuangan Hylda van Suylenderb membela hak-hak wanita di Negeri Belanda. Rupanya buku inilah yang telah mengilhami Kartini untuk memperjuangkan emansipasi bagi kaum wanita Indonesia. Buku lainnya antara lain De Vrouw en Sosialisme (Wanita dan Sosialisme) karangan August Bebel.

Namun disisi lain Gerakan emansipasi perempuan yang dilakukan oleh Kartini, sejujurnya bukanlah sesuatu yang salah. Setelah Kartini meninggal, J.H Abendanon berinisiatif untuk membukukan surat-surat tersebut. Surat-menyurat Kartini dalam kaitan ini menjadi tampungan kisah terhadap kekuatan yang menjadi belenggu kehidupannya. Renungan pribadinya terhadap belenggu itu pula yang membuka pandangan kritis terhadap 'adat' atau budaya feodal masyarakat Jawa tempatnya hidup. Belenggu terhadap kaum perempuan dalam budaya itu pada akhirnya menjadi titik tolak bagi Kartini untuk melihat lagi persoalan lebih luas, bukan hanya sekedar masalah buruknya kedudukan perempuan di dalam sistem adat jawa kala itu, tetapi pengaruh sistem itu terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya. Jauh sebelumnya perjuangan seperti ini telah dilakukan di belahan bumi yang lain. Hal keistimewaan perjuangan Kartini adalah, usaha yang dilakukannya berada dalam konteks ganda yang memang memosisikan perempuan seolah pelengkap saja, termasuk masih mewarisi kekuatan patriarki dalam kehidupan sehari-hari.

Melawan Diskriminasi

Bukan hal yang mudah dalam kondisi terjerat akan kultur jawa yang penuh sopan santun (ketat). Kartini bahkan kerap kontra dengan ibu tirinya Raden Adjeng Moeriam yang menganggap pemikiran Kartini akan bisa merusak tradisi keluarga yang notabene keturunan ningrat. Tak hanya ibu tirinya, kakak tertuanya Slamet juga mengekang pemikiran Kartini, Alasannya jelas, Kartini adalah keturunan ningrat di mata bupati-bupati sekawasan. Bisa-bisa nama keluarga akan menjadi pertaruhan, karena pemikiran Kartini yang bertolak belakang dengan tradisi Jawa.

Kartini menyambut modernitas itu dalam antusiasme seorang gadis remaja yang melihat dunia baru hadir di lingkungan sekitarnya. Ia pun tumbuh menjadi seorang gadis remaja dalam satu fin de siecle atau penutup abad, yang ditandai dengan gejolak hebat di dalam dunia sosial dan politik di dunia, seiring dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran yang mengusung tema kemajuan dan keadilan sebagai satu keyakinan baru dalam peradaban barat saat itu.

Kartini dalam pendekatan Feminis poskolonial menyuarakan subaltern-nya, sosok perempuan dunia ketiga yang terjerat antara tradisi dan modernitas. Statusnya sebagai perempuan priyayi jawa dan keinginananya menjadi perempuan Eropa yang tidak dipingit dan mampu bersekolah. Di sini Kartini sesungguhnya bukan saja sekedar seorang pembaharu atau pendorong kemajuan perempuan di Hindia Belanda. Ia berbicara sama tajamnya soal ketimpangan kolonialisme yang menindas lelaki dan perempuan, dan rakyat jelata. Begitulah cara Kartini melawan ditengah budaya feodal. Yang membuat saya terkesan dengan pemikiran Kartini. Pelajaran akan kekuatan perempuan, pemahaman akan pentingnya kepekaan terhadap lingkungan sekitar ditengah kehidupan Kartini sebagai anak bangsawan (baca:ningrat)

Jika melihat persoalan perempuan di Indonesia di era globalisasi saat ini semakin menyisakan semangat perjuangan akan keadilan dan kesetaraan.  Di abad 21 ini, peran perempuan semakin krusial. Hal ini disebabkan karena efek globalisasi yang begitu kuat. Dimana efek globalisasi malah memperbesar ruang tekanan bagi perempuan. Disaat Perempuan dituntut mempunyai peran lebih, baik di ruang privat maupun di ruang publik. Perempuan juga semakin dituntut untuk memiliki kompetensi setara dengan laki-laki. Padahal secara substansi apa yang diperjuangkan oleh Kartini terkait feminisme adalah upaya perlawanan kaum perempuan terhadap kekerasan, penindasan dan diskriminasi yang marak kita saksikan hari-hari ini, baik itu di rumah tangga, tempat bekerja dan pada kehidupan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun