Mohon tunggu...
Pieter Sanga Lewar
Pieter Sanga Lewar Mohon Tunggu... Guru - Pasfoto resmi

Jenis kelamin laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Novel Belenggu: Manusia Free Rider dalam Simulacrum Amoralitas

12 Januari 2022   10:32 Diperbarui: 12 Januari 2022   10:35 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Novel Belenggu, yang terbit pertama tahun 1940 oleh Pustaka Rakyat, sudah mengalami beberapa kali cetak ulang. Ulasan ini bersumber pada novel Belenggu cetakan kedelapan belas oleh PT Dian Rakyat tahun 2000. Novel ini terdiri dari 150 halaman dan bergambar kulit seorang wanita yang berpakaian kimono (pakaian tidur), dan rambutnya berkonde dengan kedua tanggannya memalang di dada. Tulisan belenggu berada di persilangan kedua tangannya secara horisontal.

Secara garis besar, novel Belenggu bercerita tentang romantika persoalan cinta tiga tokoh utamanya, yaitu Dokter Sukartono, Tini, dan Yah. Dokter Sukartono beristrikan Tini. Perjalanan hidup perkawinan mereka terasa datar saja. Suasana keluarga tidak mendukung keharmonisan hubungan mereka karena masing-masing sibuk dengan kegiatannya sendiri dan jarang sekali berkomunikasi secara intensif. Sebagai seorang dokter, Sukartono sibuk melayani atau mengunjungi pasiennya. Sementara itu, Tini senantiasa menghabiskan waktunya di luar rumah dengan keterlibatan yang luar biasa dalam kegiatan kewanitaan.

Dalam kondisi rumah tangga yang demikian, Dokter Sukartono terseret asmara dengan pasiennya yang bernama Yah. Dokter Sukartono merasa bahagia berada bersama Yah. Hubungan kedua insan ini akhirnya diketahui juga oleh Tini. Tini kemudian bertemu dengan Yah. Tini mengakhiri hubungan perkawinannya dengan Dokter Sukartono. Tini berangkat ke Surabaya. Yah kemudian mengambil keputusan untuk meninggalkan Dokter Sukartono dan pergi ke Nieuw Caledonie. Dokter Sukartono tinggal seorang diri, sibuk dengan dunianya sendiri. Dua wanita yang hadir dalam hidupnya telah pergi, entah kapan kembali. Dokter Sukartono tetap terbelenggu pada rasa dan pikirannya sendiri. "Pintu kemanakah itu!"

Landasan Berpikir

 Hakikat material sebuah karya sastra adalah kata. Kata-kata yang dilahirkan pengarangnya membentuk suatu dunia manusia (human world) yang penuh dengan ragam makna. Menurut Culler (1975: 188), kata-kata harus disusun dengan cara sedemikian rupa sehingga melalui kegiatan membaca akan muncul suatu model dunia sosial, model dunia kepribadian yang individual, dan model interaksi antara individu dan manusia lain. Hal ini ditegaskan pula oleh Wellek & Warren (1989: 109) bahwa melalui bahasa yang digunakan, karya sastra menyajikan suatu model kehidupan manusia dan kehidupan itu pun sebagian besar tergantung dari kenyataan sosial serta dapat meniru alam sekitar dan dunia manusia.

"Memfotokopi" hakikat kehidupan manusia dari sebuah karya sastra, khususnya novel, ke dalam realitas kehidupan manusia adalah nisbi. Karya sastra adalah tulisan yang tidak langsung berkaitan dengan kenyataan, bersifat rekaan, dan secara implisit atau eksplisit dianggap mempunyai nilai estetik (Teeuw, 1988: 21-23). Sebagai karya seni sejati, karya sastra (khususnya berjenis prosa) menggelarkan kemiripan realitas manusiawi melalui konstruksi bahasa yang dinamisbukan kenyataan statis yang terisolasidari tradisi dan proses komunikasi (Gustav Spet dalam Fokkema, 1998: 29).

Namun demikian, setiap karya sastra prosa dapat memberikan gambaran yang kreatif terhadap hakikat eksistensi manusia. Sebagai tradisi dan proses komunikasi, karya sastra mengandung nilai-nilai kehidupan yang mungkin berada di luar perhatian manusia yang bukan pengarang. Nilai-nilai itu perlu dikomunikasikan kepada pembaca karena luasnya rentang gerak kehidupan manusia yang melingkup kehidupan masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Karya sastra sebenarnya merupakan pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa (Darma, 1984: 52). Sebagai karya seni, sebuah karya sastra dilahirkan dan bersumber pada kehidupan yang bertata nilai tertentu serta pada gilirannya sastra dapat memberi sumbangan bagi terbentuknya tata nilai kehidupan manusia karena, menurut Suyitno (1986: 3), sebagai produk dari daya olah pikir manusia, karya sastra mengandung nilai-nilai sosial, religi, filosofis, moral, dan budaya.

Di samping itu, sebuah karya sastra tidak sekadar menggambarkan kelemahan, kekalutan, keterasingan, kekuatan, atau keindahan, tetapi juga mendramatisasikan kehidupan manusia. Artinya, mengubah prinsip yang dipikirkan pengarang menjadi suatu kehidupan atau tindakan (Mustopo, 1983: 37). Dengan kekuatan imajinasinya, pengarang menerobos kenyataan faktual, merefleksikannya, dan menyajikannya kepada pembaca.

Berdasarkan pertimbangan teoritis di atas, pokok persoalan yang mendapat perhatian khusus dalam ulasan ini adalah hakikat kehidupan manusia yang bagaimana yang direflekiskan Armijn Pane dalam novel Belenggu. Manusia macam apakah yang menjadi "oase" permenungan Armijn Pane sehingga menggumpal dalam alur novel Belenggu? Bagaimana manusia dalam novel Belenggu memahami kemanusiaan dan menghidupkan kehidupannya?

Deskripsi Singkat Penokohan

Tidak dapat dipungkiri bahwa kata belenggu yang dijadikan judul novel ini menimbulkan kesan pertama tentang kehidupan tokoh-tokohnya yang terbelenggu dalam situasi tertentu. Tokoh Dokter Sukartono, Tini, dan Yah terjebak dalam belenggu perasaan yang tidak ada jalan keluarnya, kecuali melarikan diri dari persoalan hidup Masing-masing tokoh "bermain" dalam kenikmatan perasaan dan pikirannya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun