Mohon tunggu...
Pieter Sanga Lewar
Pieter Sanga Lewar Mohon Tunggu... Guru - Pasfoto resmi

Jenis kelamin laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mari Membangun Habitus Ekologis

12 Juli 2020   15:37 Diperbarui: 12 Juli 2020   15:27 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Segelintir elite dan konglomerat menguasai menguasai segala sumber daya alam, bermodal untuk mengembangkan industri, dan mengendalikan pasar bebas. Mereka mencari keuntungan optimal bagi dirinya sendiri dan membiarkan jutaan manusia kehilangan lahan dan lapangan kerja; jutaan manusia dibiarkan hidup melarat di tengah eksploitasi dan konsumerisme yang memboroskan sumber daya alam.

Ternyata, krisis ekologis adalah krisis ketidakadilan antara manusia dengan manusia, manusia dengan makhluk ciptaan lainnya, dan  manusia dengan sumber daya alam. Tidak ada kesetaraan relasi antara yang kuat (berkuasa, bermodal, berakal,) dan yang lemah (rakyat, miskin, tak berakal); yang ada hanyalah hubungan dominatif sebagai strategi menyelubungi kekerasan simbolik.

Habitus Ekologis

Karena eksploitasi alam yang sembarangan, manusia mengambil risiko merusak alam dan pada gilirannya menjadi korban degradasi ini. Banjir, tanah longsor, dan angin puting beliung yang melanda sebagian Tanah Air pada awal tahun 2020 merupakan degradasi alam yang membawa korban. Oleh karena itu, dibutuhkan perubahan radikal dalam perilaku umat manusia terhadap alam lingkungan hidupnya. Walaupun kemajuan ilmiah  sangat luar biasa, kemampuan teknis sangat menakjubkan, pertumbuhan ekonomi sangat mencengangkan, bila tidak disertai dengan perkembangan gerakan sosial dan moral yang otentik, akhirnya semua dampak kemajuan itu akan berbalik melawan manusia.

Gerakan sosial dan moral yang otentik itu  dapat disejajarkan dengan konsep habitus Pierre Bourdieu (Haryatmoko, 2016), yaitu prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang dipraktikkan; bentuk moral yang diinteriorisasi dan tidak mengemuka dalam kesadaran, tetapi mengatur perilaku sehari-hari;  cita-cita, selera, sikap, kecenderungan dalam memersepsi, merasakan, melakukan dan berpikir yang diorientasikan oleh individu berkat kondisi objektif eksistensi dan dunia sekitarnya. 

Dengan demikian, habitus ekologis dapat dipahami sebagai prinsip-prinsip atau nilai-nilai tindakan manusia terhadap lingkungan hidup yang tidak hanya dilakukan sebagai pelaksanaan norma-norma tersurat, tetapi juga sebagai disposisi terhadap survival manusia dan makhluk-makhluk hidup lain.  

Sebagai prinsip atau nilai tindakan, habitus ekologis "menyerukan" pertobatan ekologis global, yaitu kesadaran untuk melihat keutuhan ciptaan dalam "keharusan" adanya interaksi (interaction), saling ketergantungan (interdependence), keanekaragaman (diversity), keharmonisan (harmony), dan kemampuan berkelanjutan (sustainability).  

Selama ini hampir tak ada usaha untuk menjaga syarat-syarat moral itu bagi suatu ekologi manusiawi yang otentik. Padahal, penghancuran lingkungan manusia merupakan perkara sangat berat, bukan hanya karena Sang Pencipta telah mempercayakan dunia kepada manusia, tetapi karena hidup manusia itu sendiri merupakan anugerah yang harus dilindungi dari berbagai bentuk degradasi.

Pertobatan ekologis itu mengejawantah dalam tindakan-tindakan manusia. Pertama,  mengumpulkan dan memilah sampah untuk dilakukan pengurangan (reduce), penggunaan kembali (reuse), dan daur ulang (recycle); tidak membuang sampah ke pinggir jalan, got, sungai, dan laut. Kedua, secara drastis mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan perlu menggantikannya dengan energi baru dan terbarukan (air, panas bumi, matahari, angin). Ketiga, reforestasi atau penghutanan kembali lahan-lahan gundul dan kritis. Keempat, rekayasa lingkungan daerah aliran sungai melalui normalisasi atau pun naturalisasi.

Di samping itu, habitus ekologis "dilahirkan" untuk menyanggah batas-batas kekerasan demi pelestarian lingkungan hidup. Artinya, habitus ekologis menuntut pelaksanaan norma-norma yang  tersurat,  seperti Piagam Rio de Janeiro (1992) dan UUPLH Nomor 23 Tahun 1997. Demi kelestarian lingkungan hidup perlu ditetapkan batas-batas penggunaan sumber daya alam, volume dan cara produksi, kebebasan pasar, dan kewajaran konsumsi. 

Manusia harus menerima pembatasan dalam hal mengalihgunakan habitat fauna dan flora yang terancam menjadi wilayah pertambangan, perkebunan monokultur, peternakan masal, penangkapan ikan yang berlebihan, perumahan, dan usaha-usaha yang memberi keuntungan cepat kepada segelintir konglomerat yang terus membujuk masyarakat untuk hidup konsumtif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun