Mohon tunggu...
Pieter Sanga Lewar
Pieter Sanga Lewar Mohon Tunggu... Guru - Pasfoto resmi

Jenis kelamin laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Quo Vadis "Watak" Pendidikan Nasional?

12 Juli 2020   14:29 Diperbarui: 12 Juli 2020   14:39 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun pelajaran 2020/2021 membagi seleksi penerimaan peserta didik menjadi 4 jalur, yaitu zonasi (50%), prestasi (30%), afirmasi dan inklusi (15%), dan perpindahan tugas orang tua atau anak guru (5%). Permendikbud itu pun menegaskan bahwa PPDB dilakukan dengan prinsip nondiskriminatif, objektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Namun, mengapa masih saja terjadi kekisruhan dalam PPDB jalur zonasi, khususnya di DKI Jakarta? Apakah Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta gagal paham terhadap isi Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 atau masyakarat Jakarta yang galau terhadap petunjuk teknisnya?

Tanpa niat menyalahkan pihak tertentu, kekisruhan PPDB di DKI Jakarta hanyalah sebuah “puncak gunung es” dari semangat UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang menyerahkan pengelolaan pendidikan kepada pemerintahan daerah. Kewenangan pengelolaan pendidikan yang diserahkan kepada pemerintah daerah dapat menimbulkan “pembangkangan” birokrat pendidikan di daerah terhadap kebijakan Pemerintah atau Kemdikbud.  “Pembangkangan” dalam derajat  “gagal paham” semacam  itu merupakan  kataklisme sosio-edukatif yang akan membawa malapetaka bagi dunia pendidikan. Pendidikan bukan lagi dipahami sebagai proses pemanusiaan manusia muda ke taraf insani (pinjam istilah Driyarkara) melainkan “ruang” eksplorasi kekuasaan birokrat atas nama otonomi daerah. Kepala dinas pendidikan di daerah dengan tongkat kekuasaan akan mengultimatum kepala sekolah dan guru untuk setia pada kebijakannya, yang belum tentu bijaksana.

“Pembangkangan” model Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta  akan terus terjadi jika pengelolaan dunia pendidikan tetap  menjadi kewenangan daerah otonom.  Kepala dinas pendidikan di daerah merasa tidak bertanggung jawab terhadap kebijakan instansi vertikalnya (Kemdikbud) karena ia diangkat oleh kepala daerah. Jika posisi kepala daerah adalah jabatan politik, maka tindakan kepala dinas pendidikan mau tidak mau mempertimbangkan juga “aroma” politik daerah yang bersangkutan. Alhasil, pengangkatan kepala sekolah dan mutasi guru tidak lepas dari “kewajiban” kalkulasi kepentingan politik, bahkan berselimutkan kolusi, nepotisme,  diskriminasi, dan kepentingan finansial.   Segmentasi pengelolaan pendidikan seperti itu akan menghasil segregasi implementatif  kebijakan dalam dunia pendidikan. Padahal, pendidikan di Tanah Air ini berwatak nasional, bukan kedaerahan. 

***

Pada hakikatnya pendidikan di Indonesia berkaitan erat dengan konteks pembangunan nasional. Dalam konteks itu, politik pendidikan nasional mempunyai fungsi pemersatu bangsa, penyamaan kesempatan, dan pengembangan potensi diri. Artinya, pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memberi kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan memungkinkan setiap warga negara mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal.

 Sementara itu, UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan dan reformasi sistem pendidikan nasional, secara jelas memuat visi, misi, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional, serta strategi pembangunan pendidikan nasional. Bahkan, di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa manajemen pendidikan dilakukan dengan penerapan manajemen berbasis sekolah. Tidak ada sama sekali frase pendidikan daerah atau manajemen berbasis dinas dalam undang-undang tersebut.

Berdasarkan UU Nomor 20 tahun 2003 itu, yang tentu mengacu pada Pancasila dan UUD 1945, pendesentralisasian urusan pendidikan ke tingkat daerah otonom merupakan tindakan regresi politik pendidikan nasional, bahkan inkonsitusional. Padahal undang-undang tersebut menegaskan bahwa negara dan pemerintah (secara nasional) berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Hal itu menunjukkan bahwa negara dan pemerintah berhak dan berkewajiban  menentukan kebijakan pendidikan yang berlaku secara nasional tanpa pengecualian apa pun, termasuk kebijakan PPDB tahun pelajaran 2020/2021. Oleh karena itu, model “pembangkangan” daerah yang selama ini terjadi perlu dihentikan dengan melakukan resentralisasi pengelolaan pendidikan dasar dan menengah di Tanah Air tercinta ini. Alasannya adalah “pembangkangan” daerah otonom dapat mengakibatkan standar layanan minimal pendidikan belum berkategori baik. Contoh kasus, hasil pemetaan Kemendibud terhadap 40.000  sekolah di Indonesia pada tahun 2012 menunjukkan bahwa 75% sekolah tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Akibat lanjutannya adalah akses  dan mutu pendidikan pada tahun 2013/2014 berada pada urutan 40 dari 40 negara pada pemetaan The Learning Curve-Pearson. 

Hal ini berarti urusan pendidikan, karena berkaitan dengan kepentingan pembangunan nasional, sudah selayaknya “diaruskan” dari titik pusat yang sama sehingga harmonisasi kebijakan pendidikan nasional tidak mendapat “pembangkangan” atas nama otonomi daerah. Di samping itu, delapan standar nasional pendidikan (standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah  Nomor 19 Tahun 2005 dapat diimplementasikan secara baik, benar, adil, dan merata di seluruh wilayah NKRI.

***

Persoalan “watak” nasional pendidikan tercermin juga dalam manajemen pengelolaan guru. Jika guru adalah ujung tombak atau garda depan kemajuan dunia pendidikan, maka sudah seharusnya manajemen guru dikelola secara terpusat, tidak diserahkan kepada urusan daerah otonom. Semua kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan, termasuk guru, dikeluarkan dan diawasi oleh Kemendikbud dan pengelolaan administrasi kependidikan dilaksanakan dengan tanggung jawab vertikal kepada Kemendikbud dari dinas kabupaten/kota se-Indonesia. 

Ada beberapa alasan yang mendasari perlunya manajemen guru terpusat. Pertama, nasionalisasi kualitas implementatif guru terhadap kurikulum yang berlaku. Otonomi daerah telah menimbulkan persepsi distingsif terhadap peningkatan kualitas guru melalui pelatihan berkelanjutan atau pendampingan yang kolaboratif. Masing-masing daerah otonom selalu menanggapi kepentingan peningkatan kualitas guru berdasarkan kepentingan ekopolitis daerah yang bersangkutan. Akibatnya, kualitas guru di suatu daerah otonom berbeda dengan daerah otonom yang lain.

Dengan adanya manajemen guru terpusat, kualitas implementatif guru terhadap kurikulum berada dalam kondisi yang relatif sama. Guru yang ada di Papua atau di Aceh, melalui program latihan terintegrasi secara nasional, mendapatkan awareness building (pembentukan kesadaran) yang sama tentang kurikulum, meningkatkan self-reliance (kepercayaan diri) dalam pembelajaran, dan mengoptimalkan profesionalisme guru yang terbaca dalam kompetensi pedagogik, profesional, personal, dan sosial.

Kedua, menghindari sejauh mungkin intervensi politik praktis daerah otonom dalam pelaksanaan profesi guru. Sudah jamak terjadi bahwa mutasi guru atau kepala sekolah sering dikaitkan dengan kepentingan politik praktis di daerah otonom, khususnya guru yang berstatus pegawai negeri sipil daerah (PNSD). Ketika ada kesadaran kritis  yang bertentangan dengan kepentingan pejabat daerah otonom, guru dengan mudah diberi cap “tidak taat atasan” atau “indisipliner”.

Sentralisasi pengelolaan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia bukanlah sebuah dosa yang harus dihindari. Namun, demi adaptasi dan transformasi  perubahan ke arah kebaikan dunia pendidikan nasional, sentraliasi merupakan sebuah keniscayaan  yang in herent dengan pembangunan manusia Indonesia yang berkarakter dan berjiwa nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun