Ada beberapa alasan yang mendasari perlunya manajemen guru terpusat. Pertama, nasionalisasi kualitas implementatif guru terhadap kurikulum yang berlaku. Otonomi daerah telah menimbulkan persepsi distingsif terhadap peningkatan kualitas guru melalui pelatihan berkelanjutan atau pendampingan yang kolaboratif. Masing-masing daerah otonom selalu menanggapi kepentingan peningkatan kualitas guru berdasarkan kepentingan ekopolitis daerah yang bersangkutan. Akibatnya, kualitas guru di suatu daerah otonom berbeda dengan daerah otonom yang lain.
Dengan adanya manajemen guru terpusat, kualitas implementatif guru terhadap kurikulum berada dalam kondisi yang relatif sama. Guru yang ada di Papua atau di Aceh, melalui program latihan terintegrasi secara nasional, mendapatkan awareness building (pembentukan kesadaran) yang sama tentang kurikulum, meningkatkan self-reliance (kepercayaan diri) dalam pembelajaran, dan mengoptimalkan profesionalisme guru yang terbaca dalam kompetensi pedagogik, profesional, personal, dan sosial.
Kedua, menghindari sejauh mungkin intervensi politik praktis daerah otonom dalam pelaksanaan profesi guru. Sudah jamak terjadi bahwa mutasi guru atau kepala sekolah sering dikaitkan dengan kepentingan politik praktis di daerah otonom, khususnya guru yang berstatus pegawai negeri sipil daerah (PNSD). Ketika ada kesadaran kritis yang bertentangan dengan kepentingan pejabat daerah otonom, guru dengan mudah diberi cap “tidak taat atasan” atau “indisipliner”.
Sentralisasi pengelolaan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia bukanlah sebuah dosa yang harus dihindari. Namun, demi adaptasi dan transformasi perubahan ke arah kebaikan dunia pendidikan nasional, sentraliasi merupakan sebuah keniscayaan yang in herent dengan pembangunan manusia Indonesia yang berkarakter dan berjiwa nasional.