"Ini rumah siapa, ma?" Aku bertanya dengan nada bingung ketika memasuki rumah asing yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya.
"Kita masuk dulu, yok. Masa ngobrolnya di pintu begini." Jawaban mama semakin membuatku bingung dan takut.
"Jangan, Ma. Yang punya rumah aja nggak ada. Nanti kita disangka pencuri." Sahut Laura sedikit ketakutan.
Mama sama sekali tak menghiraukan ketakutanku dan Laura, adik perempuanku. Tangannya yang sudah mulai keriput menuntun langkah kaki kami ke dalam rumah mungil bernuansa vintage rustic itu.
"Mama minta maaf ya. Mungkin mama telat kasih ini buat kita." Mama menaruh anak kunci di atas telapak tanganku.
Kami memang tak punya banyak waktu untuk bersama. Iya! Mamaku memilih bekerja di luar kota untuk menjauhi laki-laki yang nyaris membuat mama bunuh diri. Mama memilih mengambil alih tugas sebagai tulang punggung dan melupakan kodratnya sebagai perempuan agar aku dan Laura bisa menyelesaikan pendidikan kami hingga magister. Entah terbuat dari apa hatinya.
Kami menatap setiap sudut ruangan di rumah itu dengan penuh haru dan rasa syukur.
"Tenor berapa tahun ini, Ma?" Adikku selalu berhasil membuat suasana menjadi cair dengan leluconnya.
"Cash!!" Jawab mamaku dengan senyum penuh haru.
Aku tak pernah ragu dengan ketegaran dan kebesaran hati perempuan yang melahirkanku. Ketika seluruh dunia mengatakan hal buruk tentangnya, itu bahkan tak mengurangi sedikitpun kekagumanku pada mama.
Mama bahkan menyiapkan tiap detail ruangan dengan sangat ajaib. Iya! Semua tentang mama adalah hal ajaib yang tak terpecahkan pikiranku. Tentang cara ajaib mama menangkap radar ketika kami tidak baik-baik saja. Tentang cara ajaib mama merasakan kesedihan yang kami rasakan bahkan diantara jarak ribuan kilometer. Tentang cara ajaib mama memeluk kami ketika kami tidur karena lelah menangis. Semua tentang mama adalah hal ajaib bagiku.