Aku adalah cinta pertamanya. Yang pertama kali berani menjemputnya dari depan rumahnya, memperkenalkan diriku sebagai calon anggota keluarga baru pada kedua orang tuanya. Aku mengenal Khaleesi di bangku SMP, ketika kami sedang belajar mengenal cinta. Begitulah, sampai kami akhirya tumbuh dewasa dan sadar bahwa kami lebih dari saling mencinta, tapi kami saling ketergantungan.
"Les, jadi ngelanjutin kuliah ke ITB?" tanyaku waktu itu.
"Iya, jadi. Entar daftar SPMB barengan, ya." sahutnya dengan lembut. Khaleesi bahkan tak punya bakat untuk menjadi galak.
"He emm..."
Seperti yang aku bilang, kami saling ketergantungan. Aku selalu mendukung apa pun rencananya. Dia pun begitu. Kami selalu berpikir bahwa setelah menjadi sarjana nanti, kelak kami akan bekerja sungguh-sungguh untuk bisa menabung membeli rumah tempat kami menua bersama kelak.
***
"Dit,,, lihat deh..... Ini kamar kostku. Cukup nyaman buat aku sendiri. Ada kamar mandi juga di dalam kamarnya. Tempatnya juga bersih, kan. Dan yang paling penting, tepatnya hening, Dit. Aku suka kamar ini. Di sini nanti aku bisa fokus belajar sambil fokus bayangin kamu juga." Ucap Khaleesi dari layar hp-ku. Dia sedang mengajakku touring virtual kamar kostnya.
"Jaga diri kamu ya, Les. Jaga kesehatan kamu." Pesanku cemas dan aku melihat Khaleesi mengacungkan jempolnya secepat kilat.
Kami memang berjauhan. Saling merindu, saling mendoakan dan melepas rindu lewat video call sampai kami tertidur adalah ritual rutin bagi kami. Terkadang aku sering membiarkan mataku bermanja-manja menatap wajah teduh Khaleesi yang tertidur. Bertanya-tanya sambil menebak-nebak seberapa berat hari yang dilaluinya di sana tanpa saudara sekali pun. Sudah sebulan belakangan dia sering bercerita tentang Boy yang mulai terang-terangan menunjukan perhatiannya untuk Khaleesi. Dan aku mulai cemas karena itu. Aku taku dia berpaling, meninggalkanku dan cita-cita kami.
***
"Jadi bagaimana rasanya, Dit. Aditya, S.Psi. Aku bangga kamu lulus duluan, Dit. Aku selalu bangga punya kamu. Sudah sejak awal."