Mohon tunggu...
Piccolo
Piccolo Mohon Tunggu... Hoteliers - Orang biasa

Cuma seorang ibu biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Mantel Hujan untuk Bapak

4 Desember 2020   22:50 Diperbarui: 5 Desember 2020   18:57 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pak, aku ini uda besar. Berhentilah terlalu memperhatikanku seperti anak kecil. Aku bisa urus diriku sendiri. Sekarang biarin aku yang urus Bapak." Jawabku dengan nada bicara sedikit meninggi.

"Minumlah satu. Supaya besok pagi kau bangun lebih segar. Hampir setiap hari kau diguyur hujan."

Aku menurut. Aku tahu, Bapak tak akan pernah membiarikanku sakit. Dia menjagaku lebih dari menjaga dirinya sendiri. Kulangkahkan kakiku ke dapur, membuatkannya teh hangat.

"Pak, minumlah. Setelah itu tidurlah. Nggak perlu nunggu Arga tidur. Besok Arga libur, Arga aja yang narik ojol pakai aplikasi Bapak, ya."

Bapak tak pernah menjawab permintaanku yang satu itu. Dia selalu berpura-pura tak mendengar kata-kataku. Baiklah, aku mengalah. Aku tahu Bapak tak akan tertidur sampai aku tidur. Aku bersiap-siap tidur setelah melihat gelas Bapak kosong.

"Pak, aku tidur duluan, ya."

Bapak hanya menjawabku dengan anggukan. Kulangkahkan kakiku ke kamar. Kutarik selimut lusuhku. Suara hujan makin deras terdengar menghantam seng rumah kami. Dan Bapak masih sibuk dengan panci-pancinya untuk menampung air hujan yang masuk ke dalam rumah kami lewat lubang-lubang kecil dari atas sana.

Aku yakin Bapak sudah tidur. Mengendap-endap aku rayapkan kakiku meninggalkan tempat tidurku. Aku hampiri Bapak di ujung tempat tidurnya. Tubuhnya menggigil kedinginan. Kulapisi selimutnya dengan selimutku. Napas yang terhembus dari hidungnya lebih panas dari napasku. Aku mulai khawatir Bapak akan demam. 

Begitu besar inginku meletakkan tanganku di dahinya, tapi aku takut dia terbangun dan memarahiku. Puas rasanya batin ini menyapa batin Bapak yang aku harap bisa mendengarkanku. Sejak kecil, Bapak selalu berusaha menjadi penjaminku. Menjamin aku harus hidup bahagia walau tak kaya. Dan Bapak selalu berhasil membuatku menjadi anak paling beruntung, paling bahagia.

Aku langkahkan kakiku menuju motor tuanya. Motor yang entah sudah berapa lama mendampingi Bapakku melewati perjalanan mulus dan berbatu. Motor yang dulu selalu dipakai Bapak mengantar jemput aku sekolah. Motor ini, harta Bapak yang paling berharga setelah aku.

Setelah sekian tahun aku tak lagi naik motor tua Bapak, malam ini aku sadar satu hal. Bapak bahkan tak punya mantel hujan untuk melindunginya ketika hujan datang. Hanya ada polybag ukuran besar yang dibolongi supaya mirip mantel hujan. Dan plastik kantongan seukuran kepala manusia. Hatiku hancur. Begini cara Bapak memperjuangkan hidup kami. Bahkan ketika aku sudah bekerja. Bapak tak pernah sekali pun menurut waktu aku minta dia beristirahat di rumah. Dan benar, motor tua Bapak mogok. Entah sudah berapa jauh Bapak mendorong motornya dibawah hujan deras dan bajir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun