Di rumah ini kami memang hanya tinggal berdua. Hanya aku dan Bapak. Sejak mama meninggal, aku bahkan tak pernah melihat Bapak membawa seorang perempuan pun ke rumah. Setiap kali aku bertanya apakah Bapak tak punya niat sama sekali untuk menikah lagi, jawabannya selalu sama. Lahir sekali, hidup juga sekali, mencintai pun hanya sekali.
Otakku jelas tak bisa mencerna pemahaman cinta seperti yang dirasakan Bapak untuk Mama. Jelas tak bisa karena sampai usiaku sekarang, aku bahkan belum pernah menyatakan cinta pada seorang perempuan.
Bapak selalu tidur paling akhir. Dia selalu ingin memastikanku tidur lebih dulu. Walau sering ketika aku terbangun, aku sadar Bapak tak ada di kamarnya. Begitu juga motor tuanya. Aku sering iri padanya. Tuhan memberikan dia semangat yang tak pernah habis. Sementara aku yang masih muda, masih sering begitu cepat patah dan menyerah.
"Pak, Bapak narik ojol lagi, ya? Ini uda tengah malam, Pak." Cariku cemas lewat panggilan telepon.
"Ini uda di jalan mau pulang, Ga. Kenapa kau bangun? Tidurlah lagi. Bapak sebentar lagi sampai."
Betapa kesalnya aku pada Bapak. Apa yang sedang dia pikirkan? Kenapa dia begitu memperhatikanku sampai lupa memperhatikan dirinya sendiri. Hujan bahkan tak berhenti sudah berapa hari ini. Banjir dan pohon tumbang hampir di seluruh kota Medan.
"Belum tidur juga?" Sapanya ketika sampai di rumah dan melihatku menunggunya.
"Motor Bapak mogok, ya?" Tanyaku yang heran tak mendengar suara motor sebelum Bapak tiba.
"Nggak kok. Sengaja Bapak dorong supaya kau nggak kebangun lagi. Ternyata kau malah belum tidur."
Aku percaya begitu saja apa yang diucapkan Bapak tanpa sedikitpun berusaha mencari tahu kebenarannya.
"Ini vitamin C untukmu. Tadi Bapak mampir ke apotek." Bapak menyodorkan sebotol vitamin C ke arahku.