Mohon tunggu...
Piccolo
Piccolo Mohon Tunggu... Hoteliers - Orang biasa

Cuma seorang ibu biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surga yang Kusentuh dengan Doamu

21 September 2020   22:44 Diperbarui: 21 September 2020   23:28 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ndak perlu terlalu ribet pembahasan kita tentang mama. Ndak perlu kalian jelaskan satu per satu kondisi kalian. Aku yang bakal urus mama. Aku yang bakal jemput mama dari rumah Ryo."
"Tapi kamu kan ndak kerja, Nin. Suamimu juga ndak kerja. Gimana kondisi mama nanti  kalau mama tinggal sama kalian?"
"Kalau ngomong itu jangan sesekali mendahului kuasa Gusti toh Mas."
Nindu menarik napas dalam selepas mengakhiri percakapannya dengan Surya. Semua beban kini menumpuk di pundaknya. Sudah sejak awal pandemik di negeri ini, Nindu kehilangan pekerjaannya. Segala usaha sudah dilakukannya. Bahkan beralih profesi menjadi tukang masak di pasar malam yang penghasilannya hanya dua ratus ribu per minggu. Suami Nindu hanya seorang freelancer di bidang entertainment. Belasan tahun Nindu mengambil alih tanggung jawab sebagai tulang punggung.
"Mas, tadi Kak Surya nelpon. Kondisi hubungan mama dengan Ajeng makin memburuk, Mas." Nindu memulai diskusi dengan Cokro, suaminya.
"Lalu?" Sahut Cokro datar.
"Mama sudah ndak mungkin tinggal di sana. Dan yang paling dekat itu kita. Jadi....."
"Jadi Mama mau tinggal dengan kita toh. Begitu maksudmu?" Cokro memotong kalimat Nindu.
"Tapi kamu kan tau kondisi kita sekarang." Sambung Cokro ketus.
"Mas, seburuk apa pun kondisi kita, toh aku juga yang mencari kan. Aku juga yang kerja." Suara Nindu meninggi.
"Jadi kamu mau ungkit-ungkitan sekarang?"
Nindu mencoba mengalah. Dia selalu mengalah. Cokro akan selalu menang di setiap pertengkaran mereka walaupun salah.
"Aku cuma minta tolong kamu jemput Mama hari Sabtu nanti. Soal dananya, nanti aku yang atur." Nindu menurunkan nada bicaranya.
"Lalu makan kita nanti apa? Kamu ndak kerja, aku ndak kerja. Kita masih harus tetap bayar uang sekolah anak-anak."
"Aku janji aku bakal cari kerja tambahan, Mas." Suara Nindu gemetar.
Batinnya pedih. Dia seorang istri. Tapi dia tak pernah tau rasanya diperjuangkan. Dia tak pernah tau rasanya diberi nafkah.
"Ma, Eyang mau tinggal di sini bareng kita ya?" Rupanya Esra mendengar percakapan orang tuanya.
" Iya, Nak." Jawab Nindu singkat.
" Eyang nanti tidur sama Esra aja ya, Ma. Biar Eyang tidur di kasur, Esra bisa kok tidur pakai tikar di lantai."
Nindu membelai lembut rambut Esra yang panjang terurai sampai ke pinggang. Esra sudah remaja, naluri empatinya sudah terbawa sejak dia masih kecil.
Pekerjaan Nindu sebagai tukang masak di pasar malam dengan gaji yang hanya dua ratus ribu per minggu itu jelas tak mungkin bisa menutupi kebutuhan mereka. Sudah bukan satu atau dua, tapi puluhan surat lamaran baik online mau pun offline sudah dia kirimkan ke dalam mau pun luar kota. Tapi belum ada satu pun panggilan interview. Pandemik ini memang sudah menghancurkan banyak mimpi. Entah sudah berapa banyak perusahaan bangkrut, entah sudah berapa banyak pengangguran baru yang lahir. Nindu bersyukur, walau hanya bekerja sebagai tukang masak, setidaknya dia masih bisa menghasilkan sedikit uang.
Sebelum pandemik, Nindu bekerja sebagai seorang catering manager di salah satu perusahaan catering dengan skala nasional. Penghasilan bisa dibilang mencukupi. Jauh sebelum Nindu menikah dengan Cokro, Nindu sudah menikmati hasil kerja kerasnya. Dia sudah memiliki rumah yang sekarang dia tinggali bersama suami dan dua anaknya.
Menikahi Cokro mungkin adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Cokro termyata tak sungguh-sungguh mencintai Nindu. Dia hanya memperalat Nindu. Nindu memang pekerja keras, dan sudah memiliki asetnya sendiri. Buruknya kondisi rumah tangga Nindu sempat membuat Nindu terpuruk. Bertahun-tahun Nindu bergantung dengan psikolog dan psikiater. Trauma Nindu sangat dalam. Bahkan ketika Nindu menyampaikan niatnya untuk berpisah dengan Cokro, Ibunya dengan keras melarang.
"Ma, Mama yang betah ya di sini. Sekarang ini Nindu kerjanya cuma seperti ini. Tapi Mama jangan takut, Nindu pasti bakal dapat kerjaan secepatnya."
Nindu bingung. Dia tak tau harus senang atau sedih dengan kondisinya sekarang.
"Tak ada pekerjaan yang buruk. Hanya orang-orang yang tak pandai bersyukur yang memburukkan pekerjaannya, Nduk"
Nindu mengantarkan Ibunya ke kamar, merapikan pakaian Ibunya dan menyusunnya di lemari pakaian Esra.
"Mitha kapan pulang, Nduk?"
"Mitha lagi karantina dulu, Ma. Dia kan habis dari red zone."
"Rumah tanggamu, gimana?"
Pertanyaan Gaudri membuat Nindu terdiam beberapa detik. Dia yakin Ibunya bertanya bukan untuk mendapatkan jawaban. Hanya sekedar meyakinkan nalurinya.
"Ditanya kok malah diam, Nduk." Ulang Gaudri.
" Sudah toh, Ma. Nanti Esra dengar pembicaraan ini kan jadi ndak enak."
"Esra itu sudah remeja, Nduk. Setiap kali kalian bertengkar, Esra selalu cerita ke Mama."
"Ndak semu yang diceritakan Esra itu benar, Ma. Dia pasti menceritakan dari kacamata dia, bukan sesuai apa yang terjadi. Sudah Mama ndak perlu cemas. Istirahatlah. Besok-besok kita masih punya banyak waktu untuk ngobrol."
"Lalu bagaimana hubunganmu dengan Arya?"
Nindu meninggalkan Ibunya sendirian tanpa jawaban. Mematikan lampu kamar lalu menutup pintu.
Arya satu-satunya laki-laki yang dicintai Nindu dengan segenap jiwa raga. Bahkan hingga Nindu memiliki dua anak dari pernikahannya dengan Cokro. Arya adalah sahabat kecil Nindu. Mereka tak pernah berucap cinta layaknya anak millenial. Batin mereka saling mengikat sejak kecil. Tapi almarhum ayah Nindu tak pernah membenarkan hubungan mereka. Nindu dijodohkan dengan Cokro.
"Esra, kamu kok belum tidur, Nak. Sana masuk kamar temenin Eyang tidur." Nindu menegur Esra yang masih menonton hingga jam sebelas malam.
Tak ada perlawanan dari Esra. Dia anak yang manis. Tapi tidak pada Cokro.
"Kamu sudah dapat kerjaan baru?" Cokro mulai menahih janji Nindu.
"Masih belum ada panggilan, Mas. Sabar sedikit lagi ya."
"Lalu biaya hidup Mamamu di sini bagaimana?"
"Mas, tolong aku ndak mau bahas ini. Mama baru sampai hari ini."
"Kalau gitu besok aku telpon kakak-kakakmu ya. Jangan seenaknya ngomong pura-pura susah ndak ada duit."
"Mas, aku lagi ndak mau ribut sama kamu. Kalau Mama dengar Mama pasti sedih. Aku mau tidur." Nindu bergegas meninggalkan Cokro sendiri .
Sudah seminggu Gaudri tinggal bersama Nindu, tapi tak satu pun dari kakak atau adik Nindu yang bertelepon sekedar bertanya kabar. Jauh di dalam hati Nindu menyimpan marah pada kakak adiknya yang lain. Tidak penting lagikah kabar Mama untuk mereka? Batin Nindu.
Bunyi Hp mengagetkan Nindu. Ada pemberitahuan whatsapp dari nomor tak dikenal. Panggilan interview. Rona bahagia jelas terlihat dari wajah Nindu.
"Ma, besok Nindu ada interview. Doain Nindu ya, Ma."
"Pasti, Nduk. Doa Mama ndak pernah putus buat anak-anak Mama." Gaudri meraih pipi Nindu.
"Mama besok semangat ya. Buat Eyang, buat Esra, buat Kak Mitha" Esra tak ketinggalan memberikan semangat untuk Nindu.
Selain demi mereka, Nindu tak punya alasan untuk bertahan hidup. Baginya tak penting bahagia atau tidak, asalkan bisa tetap melihat senyum Ibu dan anak-anaknya, Nindu sudah sangat bersyukur.
Pagi sekali Nindu sudah bangun menyiapkan sarapan dan makan siang nanti untuk seisi rumahnya. Dia khawatir interview hari ini akan lama. Dia tak ingin meninggalkan rumah tanpa makanan dan membiarkan seisi rumahnya kelaparan.
"Hati-hati dijalan ya, Nduk. Serahkan semua sama kuasa Tuhan." Gaudri membelai rambut Nindu ketika Nindu pamit mencium tangannya.
Hatinya penuh harap. Semua demi orang-orang tercintanya. Nindu memang dilahirkan untuk menjadi kuat. Berhenti dan menyerah pada keadaan bukanlah pilihan untuknya.
Dua hari sudah berlalu sejak interview dengan General Manager tapi belum juga ada kabar baik yang Nindu terima. Nindu mulai berkecil hati. Mungkin ada kandidat lain yang lebih baik darinya.
"Gimana hasil interview kamu kemarin?" Cokro menanyakan dengan nada ketus.
"Belum ada kabar, Mas."
"Kamunya kali yang ndak beres waktu interview. Makanya hasilnya ndak bagus."
"Kamu ini apa-apaan toh, Mas? Kalo kamu memang bisa kerja, sana cari kerjaanmu sendiri." Nindu sudah tak bisa lagi menahan sesak di hatinya.
"Loh kok kamu malah nyalahin aku. Kita sekarang ini lagi bahas kamu, loh. Bukan bahas aku." Bentak Cokro.
"Mas, cukup ya! Aku ini seorang istri. Tugasku utamaku bukan menafkahimu. Kalau kamu yang gagal, jangan lempar kegagalanmu padaku." Nindu murka kali ini.
Dia sudah tak bisa menahan sesak di dadanya. Selain karena anak-anaknya, dia tak punya alasan untuk mempertahankan rumah tangga yang sudah merusak mentalnya selama ini.
"Bisamu apa selain menyalahkanku? Bisamu apa selain menjadi parasit di rumah ini?" Nindu melanjutkan amarahnya.
Pertengkaran tak bisa dielakkan. Esra yang biasa bersembunyi tiap kali orang tuanya bertengkar, kali ini memilih untuk terlibat.
"Keluar kamu dari rumah ini." Usir Cokro.
"Papa yang keluar dari rumah ini." Esra menarik Cokro kearah pintu.
Esra tersungkur akibat dorongan kuat Cokro. Kepalanya mengeluarkan darah. Kondisi seketika berubah jadi tak terkendali. Nindu mencoba tetap tenang dan mencari Hp-nya. Susah payah dia menggendong Esra masuk ke dalam mobil.
Tepat sebelum mereka berangkat ke rumah sakit terdekat, Mitha pun tiba.  Tanpa banyak tanya,ktha sudah bisa meraba apa yangg terjadi.
"Mitha ikut, Ma."
"Kamu dirumah aja ya, Mit. Temenin Eyang." Sahut Nindu dari dbalik jendela mobil.
Mitha menurut. Dia bergegas ke dalam rumah. Beberapa detik langkahnya terhenti hanya untuk mentapa penuh marah pada Cokro. Dia tak ingin berdebat dengan ayahnya. Dia hapapl betul tabiat ayahnya.
"Eyang yang salah. Kalau aja dulu Eyang ijinkan Mamamu cerai dengan Papamu, pasti ndak beginj jadinya."
"Eyang, ini bukan salah siapa-siapa. Mending sekarang kita berdoa supaya Esra baik-baik aja, ya."
Kejadian kali ini sungguh sudah tak termaafkan oleh Nindu. Dia menelpon Leon, sahabatnya yang juga seorang pengacara.
"Bro, aku mau ngobrol. Bisa ketemu?" Sapa Nindu lewat telpon genggam.
"Always-lah. Mau ngobrol dimana?"
"Rumah Sakit Sukma."
"Siapa yang sakit, Nin. Ada apa? Kenapa bisa...." Leon mencecar Nindu dengan sederet pertanyaan.
"Aku jelasinnya di sini aja, ya."
Tanpa jeda Leon bergegas menuju Rumah Sakit. Kepalanya sudah dipenuhi pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya itu.
Dari kejauhan Leon sudah bisa melihat Nindu yang terduduk lemas di depan ruang ICU. Kepanikan dan gelisah terlihat jelas di wajah Nindu.
"Siapa? Kenapa?" Tanya Leon dengan hati-hati.
"Esra. Didorong Cokro." Air mata Nindu tumpah sejadi-jadinya.
"Lalu maumu apa sekarang? Apa yang bisa aku bantu?"
"Buatkan laporan untuk kejadian ini, Le. Dan tolong proses gugatan ceraiku untuknya."
Leon terdiam beberapa saat. Dia bingung bagaimana harus merespon Nindu. Apakah harus senang atau sedih. Sebagai pengacara, Leon jelas paham celah yang bisa dipakai untuk mempidanakan Cokro. Tapi Nindu selalu menahannya. Nindu bertahan demi Mitha dan Esra. Dia tak mau kedua putrinya tumbuh dari keluarga broken home. Tapi dia pun sadar. Rumah tangga yangg tak sehat juga kelak akan meracuni perkembangan mental anak-anaknya.
"Pasti. Segera ya, Nin."
"Tolong pastikan dia diproses secara hukum. Sudah kutanggung lukaku selama ini. Tapi kali ini, Esra yang jadi korban."
"Kamu perlu sesuatu lagi sebelum aku buatkan laporan untuk Cokro?"
Nindu hanya menggeleng. Pipinya masih basah dengan air mata.
Lelah menangis dan dokter pun tak kunjung keluar dari ruang ICU, Nindu tertidur. Arya yang tiba hanya menatap Nindu dengan dalam. Dia tak ingin mengganggu Nindu yang tertidur karena lelah. Ujung matanya masih sesekali meneteskan air mata.
Nindu terbangun menderak suara pintu ICU berderik. Arya pun dengan refleksnya ikut berdiri menghampiri dokter.
"Esra gimana, dok?" Tanya Nindu penuh cemas.
"Hasil scanningnya ndak ada masalah. Cuma ada beberapa jahitan di kepalanya. Istirahat semalam di sini besok baru pulang, ya."
Nindu dan Arya mengikuti Esra yang dipindahkan perawat ke ruang rawat inap. Mereka hanya saling diam. Nindu sudah bisa menebak kenapa Arya bisa sampai di rumah sakit. Tapi Arya tak penting sekarang. Nindu hanya berharap Esra segera sadar.
Bunyi telepon gengam Nindu mengagetkannya. Nama Mitha tertulis di layar HP-nya.
"Ma, tadi ada polisi yang bawa Papa. Papa ditahan, Ma." Mitha berusaha menyembunyikan rasa bahagianya.
"Mama tadi minta tolong Om Leon, Nak."
"Ma, akhirnya Mama berani ambil keputusan yang benar buat kita semua. Kita bakal baik-baik aja kok, Ma. Mitha sama Esra sama Eyang, kita bakal baik-baik aja tanpa Papa." Mitha berusaha meyakinkan Ibunya.
Nindu masih tak ingin menyapa Arya sejak sadar akan kehadirannya di ruang runggu ICU tadi. Mulutnya memang tak berucap, tapi hatinya menjerit-jerit seolah ingin menceritakan semua yang sudah dia alami.
"Semua bakal baik-baik aja, Nin. Semua bakal baik-baik aja." Arya membuka percakapan.
Nindu menatap Arya penuh arti. Air matanya tumpah. Cintanya untuk Arya tak pernah berubah.
"Terima kasih." Nindu menyahut datar.
"Leon bilang kamu sekarang lagi cari kerjaan, ya? Ada temanku sedang butuh posisi Manager Operasional untuk F&B departemen. Sesuai passion kamu, kan?" Arya menawarkan bantuan untuk Nindu.
"Rasanya aku tak punya energi untuk bekerja sekarang, Ya. Aku masih harus urus perceraianku dengan Cokro."
"Nin, aku tau kamu perempuan yang kuat. Walau pun kamu pernah patah sampai depressi. Tapi aku yakin kamu kuat. Kamu harus lanjutin hidupmu. Tak boleh berlama-lama terpuruk. Kamu dan anak-anakmu perlu biaya untuk melanjutkan hidup. Aku, bisa saja dengan suka rela membiayai kalian, tapi itu pasti melukai harga dirimu."
"Segera setelah Esra membaik, aku temui temanmu itu." Nindu luluh. Arya benar.
"Aku ganggu momen kalian, ya?" Goda Leon melihat Nindu dan Arya sedang berbincang.
"Cokro uda diamankan. Gugatan ceraimu sudah aku urus." Leon melaporkan hasil kerjanya.
"Tapi aku tak bisa membayarmu, Le."
"Aku yang akan membayarmu karna sudah mengambil keputusan paling benar seumur hidupmu." Leon lagi-lagi menggoda Nindu.
"Ma..." Suara Esra terddngar lemah.
Secepat kilat Nindu menghampiri Esra. Memegang tangan anak bungusnya.
"Mana yang sakit, Nak? Mana yang sakit? Bilang sama Mama mana yang sakit?"
"Esra ndak apa-apa, Ma." Esra mencoba menenangkan Ibunya.
"Hai Om Leon. Hai Om Arya." Esra melambaikan tangannya menyapa Leon dan Arya.
"Esra sudah sadar. Kalian pergilah dulu cari makan. Aku sudah makan sebelum kesini."
Nindu memang belum makan sejak siang tadi. Rasa laparnya tiba-tiba hilang melihat kondisi Esra.
"Makan di kantin bawah aja, yok, Nin." Ajak Arya.
Nindu tak menolak.
"Titip Esra sebentar, Le."
Sepanjang jalan menuju kantin Nindu lebih memilih untuk menelepon Mitha, mengecek kondisi rumah. Mitha baru saja tiba dari luar kota. Tapi sudah disambut kejadian seperti ini. Nindu cemas mental anak sulungnya itu terganggu.
"Nin, makan. Nanti makananmu dingin." Suara Arya mengagetkan Nindu.
"Aku tau semua ndak mudah buatmu. Kamu kehilangan pekerjaan, rumah tanggamu harus jadi seperti ini, Esra harus jadi korban, ditambah lagi sekarang kamu harus merawat Mama di hari tuanya. Tapi semoga semua cepat membaik, ya." Perhatian Arya masih sama seperti dulu untuk Nindu.
"Aku tak merasa terbebani dengan keadaan ini. Satu-satunya yang jadi pikiranku sekarang adalah Mama dan anak-anakku."
"Aku percaya Bu Gaudri cukup bijak untuk bisa menyikapi masalah rumah tanggamu. Dan anak-anakmu juga sudah cukup umur untuk bisa memahami kondisimu."
"Nin, sudah cukup kamu menghindariku bertahun-tahun. Kota tinggal di kota yang sama. Kali ini tolong biarkan aku dan Leon menolongmu."
Nindu tak tau harus menjawab apa. Mereka sama-sama sadar tetang perasaan mereka. Bertahun lamanya Nindu menjalani rumah tangganya dengan Cokro hanya demi berbakti pada Almarhum Ayahnya. Dia simpan pedih luka batin yang dalam.
Nindu memilih tak hadir di sidang mediasi hingga putusan cerai. Dia hanya meminta Leon sebagai pengacaranya untuk mewakilinya. Pipinya basah oleh tangisan. Tangisan lega karena pada akhirnya dia bisa punya keberanian untuk mengambil keputusan yang tepat.
Nindu melihat pesan singkat dilayar Hpnya. Panggilan kerja. Nindu diterima bekerja, dengan posisi dan gaji yang lebih baik dari pekerjaan sebelumnya.
"Ma, terima kasih. Doa Mama dikabulkan Tuhan. Nindu sudah diterima kerja lagi, Ma." Nindu memeluk Ibunya.
"Allah Maha baik, Nduk."
"Kalau bukan karena doa Mama, rasanya mustahil Nindu dapat pekerjaan yang lebih baik di era pandemik seperti ini." Nindu mencium tangan Gaudri. Perempuan yang sampai sekarang tetap menganggap Nind seperti anak kecil.
"Mama tinggallah di sini. Nindu dan anak-anak yang akan rawat Mama. Mama ndak perlu pusing lagi gimana kita harus bertahan hidup." Nindu membujuk Gaudri.
"Mama ndak pernah menyangka. Kamu bahkan lebih kuat dari apa yang Mama bayangkan, Nduk. Kamu bahkan rela kerja sebagai tukang masak di pasar malam hanya untuk bisa menyambung hidup." Gaudri memeluk Nindu penuh cinta.
Nindu menahan rintih ketika Gaudri menepuk bahunya. Gaudri dipenuhi rasa ingin tau.
"Kenapa kamu kesakitan waktu Mama tepuk bahumu, Nak."
"Ndak apa, Ma. Bukan apa-apa." Nindu mengelak.
Gaudri memaksa Nindu menunjukkan bahunya. Lemas sudah seluruh tubuh Gaudri.  Darah rasanya berhenti mengalir melihat seluruh tubuh Nindu penuh lebam.
"Andai Mama tau beratnya hari-harimu, sudah sejak dulu mama ijinkan kau bercerai dengan Cokro."
"Sudahlah, Ma. Cokro sekarang sudah dipenjara. Dia ndak bisa nyakitin kita lagi"
Laki-laki,
Menang diciptakan dengan otot kuat. Untuk bisa melindung, bukan menyakitkan. Dadanya diciptakan bidang, untuk tempat berpulang yang penuh kehangatan. Bukan mencengkeram penuh rasa takut. Dan cinta, terkadang menjadi begitu rumit. Ada yang saling mencinta, namun tak bisa bersanding hidup seatap. Ada bahkan tak saling cinta, hidup seatap dan saling menyakiti setiap saat.
Cinta, diucapkan atau tidak tetaplah cinta. Diikat atau tidak, tetaplah cinta. Karena ikatan cinta yang sesungguhnya adalah hati dan batin. Kita bisa saja memiliki tubuh siapa pun, tapi belum tentu hati dan batinnya.
Wanita,
Mahluk yang pinta menyimpan perasaannya. Yang akan tetap bangun pagi hari menyiapkan makanan seisi rumahnya sekali pun semalam dia menangis sampai lelah dan tertidur. Hatinya pemaaf, tapi batinnya pengingat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun