Mohon tunggu...
Vika Klaretha
Vika Klaretha Mohon Tunggu... PNS Pemkot Surakarta -

Melihat, mendengar, merenung dan belajar pada alam

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Akankah Kopi Aroma Menjadikan Saya Pecandu Kopi?

30 Mei 2015   22:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:26 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14329985291268603093

Saya bukan penggemar kopi, apalagi pecandu yang tidak bisa tidak minum kopi setiap hari. Kopi hitam belum tentu saya minum sebulan sekali. Terkadang saat jajan saya memesan kapucino, dengan rasa yang saya tidak yakin benar-benar diolah dari biji kopi, mungkin sekadar esens rasa kopi, diproses dalam blender hingga berbuih dan menebar kesan dibuat dari krim susu yang kental dan mahal.

Soal rasa kopi yang lezat, jangan tanya saya. Saya buta dan tidak tahu. Bagi saya kopi terlezat itu Frappucino atau Caramel Machiato yang dibeli di gerai keren seperti Starbucks, Coffee Bean dan Excelso. Bukan karena benar-benar enak, lebih karena harganya yang mahal, benar-benar 'lintah darat' dan berkesan eksklusif. Saya terpaksa memerintahkan lidah saya untuk menganggapnya lezat, sebelum saya jatuh pada jurang kekecewaan. Toh gerai mahal selalu identik dengan tempat yang nyaman. Dan di masa modern ini, tempat yang nyaman meningkatkan percaya diri, mengubah rasa lumpur menjadi lezat tiada tara. Begitulah saya merekonstruksi lidah saya, untuk merasa sesuai apa yang diperintah kepala saya. Ketidakjujuran sederhana pada panca indra...

Tapi sejujurnya, dibalik pengetahuan dan pengalaman terbatas saya tentang kopi, saya merasa punya tautan yang erat dengan kopi. Merasa kopi adalah bagian hidup saya juga. Bapak dan Ibu saya, serta semua penghuni rumah saya penyuka kopi. Meski berasal dari Jawa Tengah, Bapak-Ibu bukan penikmat teh manis kental dengan rasa sedikit sepet seperti umumnya orang Jawa Tengah. Mungkin karena lama di Palembang, Bapak-Ibu jadi pecandu kopi, jenis kopi Lampung yang ditanam di lereng Gunung Dempo, Sumatra Selatan. Entah itu termasuk robusta atau arabika. Bapak-Ibu meminumnya paling sedikit dua kali sehari. Dan saya pun, ikut menikmati saat-saat kopi diseduh. Aromanya haruuuuuum sekali. Tiap kali orang rumah menyeduh kopi, saat air mendidih dituangkan ke bubuk kopi di cangkir....saat itulah saya menikmati wangi kopi yang khas. Haruuuuum....

Kali lain, saat ikut Ibu belanja di Pasar Cinde Palembang, saya suka berlama-lama di deretan kios penggiling kopi. Melihat penjualnya menyangrai kopi. Menaruh sedikit mentega pada wajan besar, menuangkan biji kopi dan mulai menyangrai. Baunya sungguh harum. Jauh lebih harum daripada kopi yang diseduh di rumah. Harum gurih mentega yang menyatu dengan harum biji kopi bagi saya kecil sungguh memabukkan. Dan saya sangat suka menikmati harumnya.

Kemudian saya pindah ke Solo, harum kopi diseduh bukan lagi keseharian hidup saya. Bude saya, dimana saya tinggal, hanya minum teh. Sesekali membeli kopi instan yang harumnya tidak melenakan. Namun pernah suatu ketika, saat Bude mengajak saya ke rumah saudara di Tulungagung, saya bertemu lagi dengan aroma kopi yang kuat dan harum. Di Jawa Timur ternyata orang membeli kopi dalam bentuk biji, menyangrainya sendiri, sesaat sebelum diseduh. Dan aromanya.......hhhhhmmmm harum. Persis seperti kopi di rumah Bapak-Ibu.

Bertahun-tahun kemudian, Bapak-Ibu pensiun dan pulang ke Solo. Harum khas kopi diseduh hilang dari keseharian rumah saya, meski Bapak-Ibu tetap pecandu kopi. Mungkin karena yang diseduh sekarang bukan kopi Lampung lagi. Dan kopi lain bagi saya bukanlah kopi, harum yang berbeda.
Sejak itu, meski saya tetap bukan penikmat kopi, saya jadi menyukai semua kisah dan ulasan tentang kopi. Terutama karena saya ingin mencari aroma kopi yang harum khas seperti kopi Lampung di masa kecil. Pernah seorang teman memberi kopi Aceh, ternyata harumnya tidak sama. Meski aromanya sama-sama kuat. Saya seperti mencium bau gurih kacang tanah goreng, meski samar. Sedang kopi Toraja menurut saya harumnya terlalu spicy. Seperti wangi kapulaga, jintan, atau entah rempah-rempah apa. Aroma yang nikmat, meski tidak membangkitkan kenangan masa kecil. Begitulah pengindraan subyektif hidung saya.

Suatu ketika teman saya menawarkan Kopi Aroma dari Bandung. Kopi legendaris, yang konon diproduksi dengan penuh kesabaran. Harus diperam bertahun-tahun. Diolah dengan cara yang 'oldskool' yang tentu saja tidaklah ekonomis untuk takaran bisnis masa kini. Tawaran ini tentu saja tak akan saya tolak. Saya tidak sabar untuk mencium aromanya, mencecap kenangan indah masa kecil kembali...
Pagi ini, kopi Aroma saya seduh sendiri. Dengan terlebih dulu mendidihkan air, menuangnya pelan-pelan, dan bersiap mencium aromanya. Hhhhmmmmmm......

Ternyata kopi Aroma tidak wangi semerbak seperti kopi Lampung. Saya sedikit kecewa. Ya sudah, sambil saya tiup agar panasnya hilang, perlahan saya cecap rasanya....

Omaigot....

Ini kopi terlezat yang pernah saya rasakan. Rasanya benar-benar pas untuk lidah 'awam' saya. Lembut dan tidak pait tajam seperti kopi Lampung. Tidak ada jejak rasa asam seperti kopi instan. Dan juga tidak berasa rempah seperti kopi Toraja. Ada seperti rasa vanili yang saya suka. Mengingatkan pada permen jadul bermerek Chelsea kesukaan saya yang kini sudah punah. Hanya dengan satu sendok teh gula, kopi Aroma terasa manis.

Hari ini saya sudah menyeduh kopi Aroma dua kali. Kelihatannya sebentar lagi saya akan menyeduh kopi untuk ketiga kalinya. Akankah kopi Aroma mengubah saya jadi pecandu kopi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun