Mohon tunggu...
Muhammad ZulfikarYusuf
Muhammad ZulfikarYusuf Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

من لم يذق مر التعلم, تجرع ذل الجهل طول حياته

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebijakan Plin-Plan

15 Juni 2021   19:00 Diperbarui: 15 Juni 2021   19:03 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang diklaim oleh pemerintah masih menjadi pertanyaan publik ditengah situasi pandemi Covid-19 yang kian rumit dengan berbagai ketidakpastian kebijakan yang dihadirkan. Ormas, pakar, pengamat, akademisi, hingga masyarakat akar rumput banyak yang mengkritik berkaitan dengan persoalan kebijakan pemerintah yang plin-plan dan ugal-ugalan. Mulai dari persoalan akar rumput hingga problematika kebijakan masih mewarnai rapuhnya ketegasan dalam mengeluarkan kebijakan.

Misalnya, beberapa waktu lalu pemerintah mencanangkan impor beras 1 juta ton, di mana terjadi miskoordinasi antara Kementrian Pertanian dan BULOG yang menyatakan bahwa stok beras masih surplus dengan Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian yang berencana mengimpor beras. Selain itu, BPS juga telah mengumumkan bahwa Indonesia berpotensi mengalami peningkatan produksi sebesar 26,53 %, sehingga pemerintah seharusnya lebih mengutamakan penyerapan produksi dalam negeri, terlebih dalam masa-masa panen raya.

Wacana impor beras ini tentu tak masuk akal, ditengah meningkatnya produksi beras. Produksi dalam negeri yang seharusnya menjadi prioritas, tetapi terkesampingkan oleh kepentingan politik semata. Belum lagi efek domino yang banyak berdampak kepada para petani. Walaupun kebijakan tersebut ditunda dengan keluarnya pernyataan Presiden Jokowi bahwa tidak ada impor beras hingga Juni 2021, tetap saja isu tersebut sangat berpengaruh terhadap harga gabah yang anjlok dan turun drastis.

Terbaru, rencana pemerintah untuk menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok sebesar 12% yang menuai banyak kontroversi. PPN ini tentu sangat berisiko terhadap pemulihan ekonomi nasional. PPN sembako tentu akan menggerus daya beli masyarakat yang berdampak pada kenaikan inflasi. Ditengah kondisi ekonomi yang belum stabil, pemerintah berencana memperberat beban rakyat melalui pajak. Padahal sejatinya dari pajak itulah negara menghidupi rakyat khususnya masyarakat kelas menegah kebawah, melalui subsidi dan bantuan sosial, bukan menggeneralisir dan membebankan kesemua masyarakat untuk membayar pajak, terlebih sembako yang merupakan kebutuhan primer dan hajat hidup orang banyak.

Lagi-lagi persoalan penting yang harus dipahami policy maker apakah kebijakan yang dikeluarkan sudah tepat sasaran atau hanya semakin memperberat kondisi ekonomi masyarakat. Sebab sembako merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang semua orang diharapkan mampu untuk mengkonsumsi dengan harga terjangkau. Bahkan tersebar meme di sosial media bahwa PPN sembako lebih besar dibanding PPN batubara dan PPNBM.

Termasuk yang menjadi sorotan publik soal pelemahan KPK melalui Revisi UU KPK dan Tes Wawasan Kebangsaan yang dilakukan Pimpinan KPK. Selain melemahkan kinerja KPK, kebijakan tersebut tentu telah mengkhianati amanat reformasi yang misi utamanya memberantas KKN. Asumsi tersebut bukan tidak mungkin, pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN memberi peluang bagi pemerintah untuk melakukan intervensi, selain sebagai subordinat dari pemerintah itu sendiri. Apalagi, orang-orang yang tersingkirkan melalui TWK adalah mereka yang berintegritas, yang salah satunya penyidik senior KPK, Novel Baswedan.

Kasus seperti ini tentu bukan saja menyangkut persoalan pegawai dan institusi KPK, tetapi juga berkaitan dengan ratusan proyek pemerintah yang ditaksir mencapai triliunan rupiah. Dampaknya, anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, justru menjadi lubang akumulasi harta oleh elite oligarki politik dan ekonomi.

Terbukti, hasil survei yang dikeluarkan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah dan juga Institusi KPK menurun setiap tahunnya. Pemerintah harusnya menangkap pesan dari hasil survei tersebut, bahwa para elite politik lebih banyak menghabiskan perhatiannya pada pergumulan politik, terlebih pasca pemilu.

Terbaru, beberapa relawan Jokowi yang ikut berperan dibalik layar Pilpres diklaim mendapatkan jatah komisaris atas usahanya yang lampau. Pengangkatan komisaris tersebut juga mengundang banyak kontroversi. Pasalnya, Menteri BUMN berencana memberikan pelatihan bagi para komisaris dan anggota direksi perusahaan pelat merah. Kebijakan ini tentu menjadi jawaban atas berbagai pertanyaan publik yang meragukan kapabilitas komisaris dan direksi yang diangkat, bahwa mereka yang diangkat bukan karena memiliki kapasitas dan kapabilitas, tapi karena tapi karena adanya conflict of interest.

Bukan tidak mungkin, pada saat yang sama banyak masyarakat akan merasakan ketidakpuasan atas hasil kinerja pemerintah, yang akan mendorong keresahan sosial dan kriminalitas di akar rumput, dan sewaktu-waktu dapat menimbulkan krisis politik. Karena itu, pemerintah harus memahami bahwa persoalan kebijakan ekonomi dan politik haruslah dilihat secara matang dan tepat sasaran, dengan tetap mengedepankan orientasi kesejahteraan dan keadilan sosial. Good governance harus menjadi prinsip dan dasar dalam merumuskan arah kebijakan negara. Jangan sampai habis manis sepah dibuang, habis pemilu ora urusan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun