Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Mengejar Matahari

28 Januari 2016   21:53 Diperbarui: 29 Januari 2016   05:07 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kapal tak bernama itu kini merapat ke sisi barat dermaga. Di senja seperti ini, haluan kapal meninggalkan bayang-bayang suram yang membuat suasana dermaga tua semakin mencekam.

Pada hari-hari tertentu, tak ada penduduk desa nelayan yang berani beraktivitas di sekitar dermaga tua,  termasuk hari ini. Tapi tak semua penduduk. Seorang tetua desa yang biasa dipanggil kakek Yamen dengan tenangnya melabuhkan pantat di salah satu tepi dermaga kayu. Dengan rokok terselip di jemari kiri dan ujung gagang pancing di tangan kanan, kakek Yamen berniat mengakhiri hari ini dengan kegiatan  favoritnya itu.

Dari ujung kapal turun seorang pria bertubuh tegap. Dia berjalan gagah meninggalkan kapal di ujung dermaga. Mestinya dia seorang yang tampan, sayang kepalanya tertutup tudung, seluruh badannya pun tertutup jubah hitam pekat. Hanya sorot mata dinginnya yang menandakan dia memiliki kepentingan besar di tempat itu.

Pria itu berhenti tepat di belakang kakek Yamen.

Awalnya seperti kakek Yamen tidak menyadari kehadirannya. Dengan santai dia kembali menghisap rokoknya dan membiarkan asapnya menari-nari bersama angin laut.

“Kamu datang tepat waktu….”

Pria dibelakang kakek Yamen berdehem.

“Aku selalu tepat waktu. Aku telah menepati janjiku, kini giliranmu, kakek tua…,” sahutnya dengan suara seberat guntur saat badai tiba.

Kakek Yamen terdiam membiarkan angin laut berbisik sepuasnya. Setiap senja selalu menghadirkan kesenyapan. Tapi dia merasa senja kali ini alam begitu hening. Bahkan sudah berjam-jam kailnya tidak tesentuh seekor ikan pun. Kakek Yamen pun menyadari, dia juga manusia biasa yang bisa gentar menghadapi maut.

“Katakan El, katakan padaku,” tutur Kakek Yamen dengan suara bergetar. “Bagaimana rasanya dikecup maut?”

“Aku tidak punya banyak waktu bercerita, kakek tua…”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun