Sudah tiga malam ini Nerfia melihat gugus bintang itu menghiasi langit. Titik-titik benderang yang jika dihubungkan satu sama lain akan membentuk gambar yang lebih besar. Sebuah kapal dengan layar-layar raksasa. Dalam penglihatan imajiner, nampak kapal itu sedang berlayar gagah menyusuri langit malam.
Dari jendela apartemen, raut wajahnya menunjukkan kecemasan. Tidak disangsikan lagi, ini pertanda dari negeri para peri. Mereka menyebut gugus bintang itu Daruman, yang dalam bahasa peri berarti kapal. Sudah 152 tahun Nerfia tidak melihat gugus bintang seperti itu di langit.
Apa yang sedang terjadi?
Kegundahan hatinya sejenak hilang oleh dering handphone-nya, panggilan dari Arman.
Ah, lelaki itu.
Rona manis kembali menghias wajah Nerfia sesaat sebelum menjawab panggilan itu.
“Bagaimana pamerannya? Sukses?” tanyanya setelah mereka saling menyapa.
“Sukses, Fi. Aku tidak menyangka banyak yang tertarik dengan foto-foto bertema sunset. Hampir semua diborong pengunjung,” sahut Arman dengan suara baritonnya.
“Wah, bagus dong. Bisa dapat traktiran,” goda Nerfia.
“Justru itu, aku dari tadi nyariin kamu. Kok tidak datang?”
“Kan, kemarin sudah.”